Acara ini dihadiri aktivis 98, jurnalis, komika, dan masyarakat yang peduli pada proses demokrasi. Mereka yang tak mau pemimpin yang anti demokrasi memimpin Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan 14 Februari 2024 harus berjalan bersih dan bebas dari kecurangan. Civil society tentu tidak rela demokrasi diobok-obok.
Kemudian, tanggal 9 Februari 2024, 33 organisasi masyarakat sipil menggelar Konferensi Pers untuk mensomasi Presiden Joko Widodo. Mereka membeberkan fakta dan data tentang ketidaknetralan pemimpin di negara ini dalam konteks elektoral. Yang akhirnya marwah demokrasi dihancurkan.
Somasi tersebut berisi protes atas sejumlah kecurangan, pelanggaran yang dilakukan kepala negara sebagai pemegang otoritas moral dan otoritas etik bangsa. Malah memperlihatkan etika politik dan etika kepemimpinan yang gagal meninggalkan legacy pada masyarakat.
Presiden Jokowi dianggap tidak untuk memberi contoh yang baik dalam soal etika dan moralitas, sehingga para aktivis mendorong untuk mengembalikan marwah demokrasi. Adanya intimidasi dalam proses Pemilu 2024 juga diungkap dalam konferensi pers kali ini.
Berikut. Ditayangkannya Film Dirty Vote, dokumenter yang disampaikan tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film tersebut. Dokumenter ini dipublikasikan tanggal 11 Februari 2024. Mereka yang terlibat adalah adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi. Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di demi mempertahankan status quo.
Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara. Serta masih banyak problem lain yang belum ter-capture dalam tulisan ini. Ironisnya, para Guru Besar yang menjaga kewarasan menyampaikan keresahan dan mengingatkan pemerintah malah dituduh partisan dan ikut memprovokasi situasi. Luar biasa.
 Fragmentasi Demokrasi
Terjadi fragmentasi demokrasi akibat praktek politik yang penuh dengan ketidakadilan. Nilai-nilai etika dan moralitas diabaikan. Konstitusi dikangkangi, regulasi yang dianggap menghalangi diubah dalam waktu cepat. Nyaris keteladanan pemimpin di negara ini hilang. Pada siapa lagi masyarakat berharap?.
Pemilu jangan sampai digiring dalam pemaknaan seperti berjudi dengan nasib. Yang dalam konteks tertentu membuat masyarakat sebagai objek dan korban. Jika demikian dilakukan, otomatis dengan mudah memunculkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Â
Cukuplah kabar yang kita dengar bahwa terjadi kerenggangan hubungan di internal Kabinet Indonesia Maju. Elit pemerintah semestinya menunjukkan sikap kenegarawanan, akur, rukun, harmonis, penuh dengan guyub. Hal itu menjadi modal serta indikator penting dalam kita mewujudkan Pemilu yang damai.