Sekilas kita menyaksikan dan membaca arahan Presiden Jokowi saat pertemuan dengan para penjabat kepala daerah se-Indonesia, Senin, 30 Oktober 2023, di Jakarta. Ada enam hal yang disampaikan Presiden, diantaranya: Pertama, Presiden meminta Kepala Daerah untuk mengendalikan inflasi dengan menjaga stabilitas harga barang kebutuhan pokok di daerah masing-masing.
Kedua, Presiden meminta para penjabat Kepala Daerah untuk tetap waspada terhadap dampak dari fenomena Super El Nino, terutama terhadap penurunan produksi komoditas. Ketiga, terkait reformasi birokrasi, Presiden mendorong penyederhanaan prosedur dan tata kelola khususnya dalam hal pelayanan perizinan bagi investor.
Presiden menekankan bahwa investasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Keempat, Kepala Negara juga mendorong pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk stimulus ekonomi dan bantuan sosial kepada masyarakat.
Kelima, Presiden mendorong pemerintah daerah untuk memberikan dukungan terhadap program prioritas pemerintah. Keenam, Presiden menekankan peran Kepala Daerah dalam mendukung kesuksesan agenda nasional Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2024.
Presdien meminta agar para Kepala Daerah terus memberikan dukungan kepada KPUD dan Bawaslu tanpa melakukan intervensi apapun, serta memastikan netralitas ASN terjaga. Bagian terakhir yang berkaitan dengan netralitas Kepala Daerah, tidak ikut menjadi tim sukses menjadi framing pemberitaan. Di wtahsApp, media sosial, dan media massa dipublikasikan hal itu, dimana Presiden Jokowi memerintahkan Pj Kepala Daerah tidak cawe-cawe dalam politik praktis.
Peristiwa politik yang menghibur rakyat selain netralitas pejabat publik yang dilampirkan dengan ancaman mengganti Pj Kepala Daerah yang main-main politik praktis, adalah pemandangan akrab, akur, dan penuh kerukunan yang ditampilkan ketika Presiden Jokowi makan siang dengan tiga Capres 2024.
Balik ke konteks awal. Apa motifnya hingga Megatwai dan Jokowi bertengkar? Dalam sudut pandang politik, perbedaan pendapat, bahkan perbedaan pilihan politik merupakan hal yang wajar dalam konteks demokrasi. Hanya saja, kita dibatasi atau diatur dengan hal etika kesopanan publik. Balas budi, serta adab.
Jikalau relasi politik dan pertarungan kepentingan murni yang kita bicarakan, bagi saya tak jadi soal. Hari ini berkawan dalam politik, besoknya lagi berlawanan itu sesuatu yang biasa. Ketika politik diartikan sebagai game (permainan), maka yang harus dijunjung tinggi adalah sportifitas. Tak boleh bersikap curang dan culas.
Semua stakeholder atau aktor yang terlibat dalam panggung politik mesti memerankan perannya secara sendiri-sendiri, tanpa saling mengintervensi. Misalnya, Ketua Umum parpol berperan pada ranahnya. Presiden juga Wakil Presiden, penyelenggara Pemilu, pejabat publik (Menteri, Kepala Daerah), seperti itu pula dengan rakyat harus semua berperan sesuai arena dan areanya.
Dengan cara itu, maka ketertiban demokrasi, kedamaian dari proses politik akan kita temukan. Lalu hasil yang kita harapkan yakni demokrasi berkualitas, jujur, adil, berintegritas, dapat terwujud. Yang bahaya ialah bila komponen-komponen individu yang terlibat tidak menjalankan peran dengan baik dan bertanggungjawab.
Ada pejabat publik yang berperan ganda. Ada wasit dalam proses demokrasi, game politik yang bertindak curang berperan sebagai pemain, ada instrumen penyelenggara negara yang dimobilisasi, dan seterusnya untuk memenangkan kepentingan politik kelompok tertentu. Ini yang tidak boleh. Sudah pasti itu berpotensi merusak.