Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies Baswedan, Isu Komunisme dan Radikalisme

4 Agustus 2023   11:04 Diperbarui: 4 Agustus 2023   19:17 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Rasyid Baswedan (Dokpri)

DUA isu yang kerab saling dibenturka disaat Pemilu di Indonesia. Dalam momentum Pilkada, Pileg, hingga Pilpres isu-isu destruktif seperti komunisme vs radikalisme selalu kita dapati.

Ada embel-embel pula seperti terorisme, separatisme, Arabisme, dan stigma buruk politik diskriminasi lainnya dihembuskan. Bagi saya itu bukan sekadar isu klise, melainkan sampah demokrasi. Itu kotoran, dan orang waras pasti tidak menyukainya.

 Media massa juga aktif ikut membentuk dan memperkuat polarisasi tersebut. Dibuatlah peta konflik. Faksi politik dirancang, ada yang toleran vs intoleran Islamisme, Pancasila vs anti-Pancasila.

Agak ekstrimnya lagi, yakni pribumi vs non-pribumi. Dalam ilmu politik, isu hanyalah alat propaganda. Bagaimana politisi atau kelompok politik tertentu yang mau menang, mereka harus mencerna memasak isu, menelaah lalu memproduksinya untuk kepentingan menang. Melemahkan lawan, membuat rivalnya kalang kabut lalu kalah.

Bagaimana dengan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon Presiden 2024?. Figur yang satu ini kerap diganggu, dihadang dengan isu sektarian. Isu-isu yang memicu polarisasi. Sebut saja, Anies dilekatkan dengan gerakan radikalisme dan anti keberagaman. Coba dikonstruksi bahwa Anies hanya mementingkan golongan tertentu.

Segelintir rakyat yang ngaku nasionalis, teriak-teriak paling Pancasilais terkesan khawatir jika Anies Baswedan memimpin Indonesia. Di sisi lain, Anies dipandang atau difamingkan tidak akrab, tidak bersahabat dengan rakyat Indonesia yang non-muslim. Anies dilabelkan sebagai antitesis dari pemimpin yang pro komunis.

Mereka yang dituduh berafiliasi dengan komunisme adalah musuh utama Anies. Sampai sejauh itulah berkelindannya isu politik jelang Pemilu (Pilpres) 2024. Ketika semua pihak hanya berposisi sebagai pemadam kebakaran, percayalah letusan konflik sosial yang diakibatkan dari gesekan isu-isu tersebut akan mencuat.

Kerukunan dan keamanan terancam. Rakyat akan digiring, dimobilisasi pada isu tidak produktif. Permusuhan diciptakan, cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat dikaburkan. Alhasil, dalam suasana tahun politik rakyat kita hanya disibukkan dengan saling bertengkar dan saling membenci antara satu dengan yang lainnya.

Elit dan kader partai politik harus mencegah itu. Jangan sampai terlambat. Di tengah ketegangan isu, saling klaim kebenaran, para politisi yang pikirannya terbuka dan jernih, yang benar-benar mencintai persatuan segera tampil. Ambil bagian mengedukasi rakyat yang plural ini. Tidak boleh disepelekan. Hal ini seperti api dalam sekam.

Bahaya laten komunisme, bahaya laten radikalisme-komunisme menjadi isu yang sensitif. Menabrak dan membongkar persatuan Indonesia yang telah dijaga lama. Karena keduanya memiliki dampak negatif, menghadirkan sentimen buruk bagi publik. Rakyat menghendaki Indonesia maju, beradab, damai, adil, dan saling menghormati.

Kita adalah negara yang heterogen. Jangan karena kepentingan politik cita-cita bernegara itu hilang. Tak kita temukan. Harapan rakyat untuk menikmati hidup bahagia sejahtera aman berkepastian hukum haruslah diberikan negara. Tak boleh membiarkan rakyat dalam situasi resah dan was-was. Rakyat tak boleh cemas di negaranya sendiri.

Anies atau siapapun yang kelak memimpin Indonesia kita memimpikan bisa melanjutkan perbuatan baik yang dikerjakan Presiden Jokowi, dan para Presiden terdahulu. Tidak boleh saling meniadakan peran. Pada titik itu, maka isu politik yang menggeser rakyat untuk berkonflik perlu segera dieliminir. Jangan dikembangkan lagi isu destruktif.

Ada politisi yang bingung tidak keruan karena kebenciannya terhadap kelompok politik lain. Merasa terganggu dengan pendapat orang lain, dan kambuh penyakit over subyektifnya. Selalu merasa paling benar, pihak yang berada di luar diri atau kelompoknya dianggap salah. Fenomena ini terjangkit, menjadi penyakit masyarakat kita.

Yang asal muasalnya datang dari karakter dan perilaku buruk politisi. Kritik diangganya sebagai ketidaksukaan. Paradigma seperti itu sesungguhnya merusak, tidak sehat, tidak relevan dengan konteks keindonesiaan kita yang amat demokratis ini. Rakyat dijebak pada ruang patologi sosial.

Pekerjaan rumah kita selanjutnya ialah memperbaharui, menata ulang, dan menginstal cara pandang para politisi. Mereka politisi yang mabuk kekuasaan lalu merespon kritik publik sebagai amarah, bentuk kebencian, sebetulnya mereka anti demokrasi. Anies berada dalam ranjau itu ataukah tidak?. Tentu Anies yang nanti kita tempatkan sebagai pemimpin publik yang akan kita nilai.

Bukan pribadinya. Dalam konteks publik, Anies bisa dievaluasi rekam jejaknya saat memimpin DKI Jakarta sebagai Gubernur. Silahkan pandangan-pandangan yang berbeda dari rakyat dapat dikomparasikan. Boleh juga dibuat semacam kompilasi, didata apa kebaikan sosialnya. Diidentifikasi pula apa kekuarannya saat diberi amanah oleh rakyat Jakarta.

Standar tersebut akan lebih objektif. Daripada kita menilai, atau kerap menghakimi personalnya. Idel yang kita bahas seorang politisi itu dari sisi peran publiknya. Dia telah berbuat apa ketika mengabdi kepada rakyat. Berapa banyak rakyat yang telah ditumbalkan dari proses pengabdiannya itu. Lalu dari aspek manfaat. Atas kebijakannya siapa saja yang menerima manfaat.

Penilaian yang demikian akan membebaskan seorang politisi atau pemimpin dari sikap menghardik yang cenderung menempatkan penilaiannya pada sandaran universal. Bukan kebencian dan faktor politik tertentu. Apalagi di era transparansi saat ini, semua penilaian terhadap pejabat publik dapat diakses melalui pemberitaan media massa.

Pengalaman panjang para calon Presiden seperti Anies, Ganjar, dan Prabowo sebetulnya membuat publik tidak takut atau khawatir lagi ketika kelak mereka terpilih, kemudian memimpin Indonesia. Anies maupun Ganjar pernah memimpin daerah sebagai Gubernur. Prabowo juga menjadi Menteri yang memimpin bermacam orang dari latar belakang berbeda.

Rasanya tidak ada alasan kita untuk marah kepada Anies, Ganjar, maupun Prabowo. Kebiasaan saling menuding dalam mengembangkan isu politik mesti segera dihentikan. Yakinlah tak ada satupun pemimpin atau rakyat di republik ini yang menginginkan Indonesia dikuasai komunis, dan juga dikuasai kaum radikal-teroris.

Antek asing yang menyamar atau mau mengendalikan Indonesia wajib kita waspadai. Jangan karena alasan menyusupnya kelompok luar ke Indonesia, lalu kita menciptakan permusuhan sesama anak bangsa, ini juga tidak tepat. Malu kalau sesama anak bangsa bertikai. Isu komunisme dan radikalisme memang isu tahunan yang ini sebetulnya bagi saya adalah proyek politik.

Bagi saya, musuh kita semua ialah politik uang. Inilah musuh bubuyutan demokrasi. Karena politik uang akan merendahkan, menghancurkan harga diri rakyat. Kebebasan politik menjadi terbonsai, dikamuflase atau dipaksa untuk tidak digunakan secara sadar. Rakyat diracuni dengan iming-iming dan pemberian uang.

Sehingga cara berfikir rakyat menjadi tidak jernih. Rakyat menjadi malas berfikir panjang. Pilihan yang paling buruk sekalipun, yakni memilih pemimpin korup akhirnya mereka lakukan. Lagi-lagi karena godaan uang. Sedih kan kita semua akhirnya kalau melihat realitas politik seperti itu.

Dengan segala upaya keras kita harus mengakhiri dominasi politik uang tersebut. Rakyat tidak boleh dibiarkan, lalu kita tidak mengedukasi mereka. Mari kita didik rakyat untuk membentuk barikade perlawanan terhadap praktek politik uang. Tak apalah rakyat dipersiapkan menjadi polisi moral untuk membentengi sesamanya dalam melawan praktek politik uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun