BERBAGAI penyimpangan terjadi. Penyelundupan dan penyusutan nilai-nilai Pancasila juga dilakukan telanjang dalam pentas politik. Kamis, 1 Juni 2023 tepatnya hari ini kita merayakan, merefleksikan Hari Lahir atau Harla Pancasila 1 Juni 1945. Tidak sedikit nilai-nilai Pancasila yang murni direduksi.
Terlebih pereduksiannya tumbuh dan terjadi dalam praktek berpolitik. Harla Pancasila kita harapkan tidak sekedar selesai pada Upacara. Bukan hanya sekedar seremonial. Harus lebih dari itu terimplementasikan dalam aktivitas sosial seluruh rakyat Indonesia. Tertanam kuat dalam sanubari kita sebagai warga bangsa Indonesia.
Harla Pancasila tahun 2023 mengambil tema "Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global". Sebuah cita-cita, ekspektasi yang luar biasa. Bahwa semua bersumber dan berlandaskan pada kolektivitas atau gotong royong. Kita harus bersatu, menjaga komitmen persatuan.
Kita telah menyadari betul, dengan semangat persatuan, kerja bareng, maka Indonesia bisa merdeka. Begitupun setelah kemerdekaan diraih. Melalui gotong royong, maka impian bernegara dapat direalisasikan. Tak akan ditemukan keberhasilan meraih cita-cita bernegara, jika rakyat terpolarisasi. Dan benih, titik kumpul polarisasi itu umumnya dimulai dari Pemilu.
Memang rakyat juga tidak boleh dijauhkan, dibuatkan jarang dalam interaksi politik. Rakyat segera melibatkan diri, terlibat aktif dalam berpolitik. Politik dalam artian mengelola dan memanfaatkan kekuasaan untuk kemaslahatan banyak orang. Politik dalam perspektif kerakyatan dan positif.
Bukan politik yang sekedar dibatasi pada tafsir kekuasaan, menargetkan nafsu serakah politisi. Yang kemudian, posisi kekuasaan digunakan untuk menindas rakyat. Bukan seperti itu. Tidak pula politik dalam arti mencari keuntungan (kapitalisasi) personal.
Politik sejatinya adalah jalan menuju kesejahteraan. Bagaimana para politisi menjadikan politik sebagai sarana pengabdian. Berbuat baik, bekerja, berkontribusi bagi banyak pihak. Para politisi harus sadar betul tentang eksistensinya sebagai publik service atau pelayan publik.
Wahai para pemimpin, jangan kalian bermimpi akan membangun peradaban dan pertumbuhan di tingkat global, jika persatuan di internal negara saja masih rapuh. Gotong royong antar sesama politisi lintas parpol saja masih belum mampu diwujudkan. Disinilah cerminan paling minimum. Kalau politisi masih bertikai untuk menuju tahun politik 2024, berarti kurangilah bermimpi.
Belum dalam konteks mengaktualisasikan Pancasila, untuk menjadikannya sebagai energi pertumbuhan Indonesia. Bisa jadi hanya sekedar tagline. Bergeserlah rubah paradigma kepemimpinan. Para elit politik harus memberi contoh atas hal itu. Salah satu cara sederhana ialah melalui manajemen struktur partai politik, dan memperhatikan generasi politik.
Pasti kemusiaan yang adil dan beradab, tidak tercapai. Ideologi bangsa Indonesia, seperti yang diharapkan Ir. Soekarno dalam Pancasila yang berkaitan dengan kebangsaan Indonesia (Nasionalisme). Peri Kemanusiaan (Internasionalisme), dan demokrasi (Mufakat). Kemudian Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa, akan gagal dibumikan.
Kenyataan yang kita saksikan di lapangan, ternyata banyak tantangan. Terlebih dalam urusan politik. Alhasil persatuan rakyat tercerai beraikan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tak kunjung dinikmati. Rakyat seperti diberi banyak janji, harapan palsu yang keluar dari mulut politisi. Suasana saling menabur janji sangat kental kita temui disaat tahun-tahun politik.
Maraknya Politik Tukar Tambah
Dalam situasi Indonesia yang darurat politik transaksional, politik tukar dianggap hal biasa. Kompromi dibangun para politisi tanpa memikirkan dan mempertimbangkan etika, moralitas, serta nilai-nilai kemanusiaan. Kampanye politik lebih menjurus pada saling hasut, ketimbang saling merangkul.
Kemudian, hampir samua politisi merasa paling benar sendiri. Resikonya, saling klaim kebenaran menyeruak di ruang politik. Saling menyerang, bentrok argumen dan retorika politik ramai menghiasi media massa. Nampak, debat yang dimunculkan juga penuh sensasi, daripada isi.
Dialog yang membicarakan ide-ide pembangunan, narasi persatuan rupanya tidak terlalu dirasakan rakyat. Media sosial juga diramaikan dengan komentar dan postingan saling menyerang. Masing-masing pihak merasa paling terbaik. Lantas mereduksi pihak lawan.
Tukar guling kepentingan dianggap hal yang membanggakan. Padahal, pendekatan tersebut bukanlah solusi. Karena yang diandalkan dan jadi modal tukar guling kepentingan ialah kepentingan pribadi, kelompok politik. Yang secara manfaat pada rakyat tidak dirasakan. Politisi lebih nyaman mengamankan kepentingannya sendiri.
Prioritas mereka bukan rakyat. Tak jarang, tukar guling kepentingan melahirkan korupsi berjamaah. Tukar guling kepentingan, bahkan menyeret politisi pada transaksi birahi. Semuanya termotivasi untuk merebut kuasa. Kepentingan rakyat dibarter atau ditukar dengan kepentingan pemodal. Rakyat sekedar menjadi kamuflase bagi politisi akhir zaman. Ini mengerikan, rakyat hanya sekedar menjadi bandul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H