Maraknya Politik Tukar Tambah
Dalam situasi Indonesia yang darurat politik transaksional, politik tukar dianggap hal biasa. Kompromi dibangun para politisi tanpa memikirkan dan mempertimbangkan etika, moralitas, serta nilai-nilai kemanusiaan. Kampanye politik lebih menjurus pada saling hasut, ketimbang saling merangkul.
Kemudian, hampir samua politisi merasa paling benar sendiri. Resikonya, saling klaim kebenaran menyeruak di ruang politik. Saling menyerang, bentrok argumen dan retorika politik ramai menghiasi media massa. Nampak, debat yang dimunculkan juga penuh sensasi, daripada isi.
Dialog yang membicarakan ide-ide pembangunan, narasi persatuan rupanya tidak terlalu dirasakan rakyat. Media sosial juga diramaikan dengan komentar dan postingan saling menyerang. Masing-masing pihak merasa paling terbaik. Lantas mereduksi pihak lawan.
Tukar guling kepentingan dianggap hal yang membanggakan. Padahal, pendekatan tersebut bukanlah solusi. Karena yang diandalkan dan jadi modal tukar guling kepentingan ialah kepentingan pribadi, kelompok politik. Yang secara manfaat pada rakyat tidak dirasakan. Politisi lebih nyaman mengamankan kepentingannya sendiri.
Prioritas mereka bukan rakyat. Tak jarang, tukar guling kepentingan melahirkan korupsi berjamaah. Tukar guling kepentingan, bahkan menyeret politisi pada transaksi birahi. Semuanya termotivasi untuk merebut kuasa. Kepentingan rakyat dibarter atau ditukar dengan kepentingan pemodal. Rakyat sekedar menjadi kamuflase bagi politisi akhir zaman. Ini mengerikan, rakyat hanya sekedar menjadi bandul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H