Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Komorbid Korupsi, Budaya Flexing Menggerogoti

30 Mei 2023   11:53 Diperbarui: 16 Juni 2023   17:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korupsi jadi momok, ilustrasi (Dok. Kompas.com)

Kesehatan politik kita tidak sedang baik-baik saja. Ada komorbid, pemerintah dan stakeholder terkait perlu menanganinya secara serius. Jangan dianggap penyakit biasa saja. Ini gejala penyakit tumor akut. Seperti kita masuk penyakit kronis kanker stadium akhir. Harus ditangani dengan sungguh-sungguh.

Publik perlu diingatkan, ditunjukkan contoh untuk konsisten menjaga keseimbangan. Menjaga kerukunan, tidak anarkis dalam merespon kondisi politik nasional. Pada entitas lain, elit politik kita mesti bermuhasabah. Memperbaiki sikap. Menjaga ucapan dan perbuatan. Berdoa meminta negara dijaga.

Rakyat lebih maju. Makin sejahtera, harmonis, dewasa, sehingga dalam seleksi kepemimpinan nasional elemen rakyat dapat memilih pemimpin yang mencintainya. Memilih tanpa pamrih. Pemimpin yang tidak korup, dan pemimpin yang memiliki integritas untuk dimenangkan dalam Pemilu 2024.

Pembenahan harus menjadi agenda penting yang diperhatikan para politisi. Termasuk sektor penegakan hukum dan sektor politik, sirkulasi ekonomi, hal ini harus ditata ulang secara humanis. Perlu ada tenunan yang serius, sehingga keretakan sosial tidak terjadi. Keteraturan tercipta, hidup saling berdampingan dan menghormati satu sama lain.

Kemelut korupsi yang menjadi penyakit utama bangsa ini harus dicarikan solusinya. Berhentilah para politisi mengintervensi proses penegakan hukum. Seperti itu pula perlakuan independen yang ditunjukkan para penegak hukum. Tak boleh politisi menggertak-gertak penegak hukum dengan kekuasaan di atasnya.

Terjadi kasus kriminalisasi kepada penegak hukum, praktek penyelesaian kasus yang standar ganda cukup menjadi referensi kita bersama. Dan kedepan tidak bisa sama sekali terjadi. Ada paradoks yang secara kasat mata sudah diketahui dalam proses penegakan hukum. Tapi, seolah-olah kita semua pasrah, tak kuasa melakukan perbaikan.

Terlebih mereka yang diberikan kewenangan (tugas dan fungsi). Menjadi begitu pengecut untuk menegakan keadilan hanya karena ditekan dari kekuasaan yang lebih tinggi. Ruang semacam itulah yang harus disterilkan. Diperbaiki, agar kelak penegakan hukum bisa berjalan bebas merdeka.

Hukum ditegakkan dengan logika dan paradigma hukum, bukan diatur dengan kepentingan politik. Kondisi kesemrautan alur tersebut yang membuat konstruksi hukum kita berlahan mulai diruntuhkan. Mereka yang merasa dekat dengan kekuasaan, atau memiliki modal materi sesuka hati melanggar rambu-rambu hukum.

Dalam benak pikiran mereka, jika bersinggungan dengan hukum, mereka punya koneksi kekuasaan. Atau mereka punya sumber daya, pmemiliki uang yang melimpah sehingga penegak hukum bisa dibeli. Vonis dapat dikondisikan, dipengaruhi dengan faktor-faktor eksternal. Gratifikasi dilakukan.

Bahkan sinyalemen ada praktek buruk dalam proses penegakan hukum juga melibatkan cara-cara gratifikasi seks. Performa hukum digeser pada titik terendah. Tidak sedikit para pelaku koruptor diistimewakan. Mereka para ''garong'' masih bebas berkeliaran di luar penjara.

Akhirnya, korupsi yang berdampak membangkrutkan negara. Perilaku korup malah menggurita. Meluber kemana-mana, ada yang merasa kebal hukum. Lembaga penegak hukum dipergunakan untuk menebalkan kekuasaan eksekutif. Bahkan, kekuasaan legislatif juga dikit-dikit dibartertar. Passwordnya yang penting satu server.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun