Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Obituary Demokrasi, Sekuens Sejarah yang Patah

22 Mei 2023   12:17 Diperbarui: 23 Mei 2023   11:24 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silahkan memilih (Dok. Muslimahnews.net)

SEJAK Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 hingga Pemilu tahun 2019 masyarakat telah melewati sejarah panjang berdemokrasi. Tercatat 12 kali Pemilu, minimal menjadi pengalaman berharga. Sekaligus sebagai modal kuat bagi masyarakat untuk lebih cermat, selektif, dan mapan memilih pemimpinnya.

Di tahun 2024, idealnya Pemilu kita mengalami progres signifikan. Setidaknya sekuens sejarah demokrasi yang patah, seperti peristiwa salah pilih pemimpin politik. Menjadi pukulan, dan hikmah  bagi masyarakat untuk tidak lagi melakukan hal yang sama. Mesti naik kelas dalam berdemokrasi. Revaluasi menyeluruh harus segera dilakukan.

Masyarakat perlu meng-underline segala kesesalan yang dilewati akibat memilih pemimpin yang tidak sesuai harapan dan kenyataan di lapangan. Perjalanan demokrasi mesti terus maju. Tidak boleh ada upaya memundurkan demokrasi. Pada bagian inilah peranan masyarakat sangat penting.

Jangan Pemilu sekedar ditafsir sebagai rutinitas lima tahunan. Demokrasi harus diperkuat secara struktural dan agensial. Pelajaran yang telah berlalu dalam berdemokrasi perlu dipetik sebagai pengetahuan untuk kita tidak lagi mengulangi kesalahan ''blunder'' yang sama.

Demokrasi tak bisa diletakkan pada posisi under. Namun harus diberi porsi istimewa di hati masyarakat. Ia sebagai jalan mencapai cita-cita keadilan sosial. Sebagai pintu masuk meraih kesejahteraan. Demokrasi menjadi alat dan sarana yang tepat untuk menjawab situasi gundah gulana masyarakat.

Tak boleh masyarakat terjerumus karena cemas. Obituary ''berita kematian'' demokrasi sudah datang menghampiri kita. Wajahnya menyerupai konspirasi oligarki untuk mengukuhkan kekuasaan. Tekan menekan dalam politik dan abuse of power dimunculkan sebagai fenomena memukul lawan tanding.

Silahkan memilih (Dok. Muslimahnews.net)
Silahkan memilih (Dok. Muslimahnews.net)

Sekuens sejarah berdemokrasi memang tidak seindah yang diharapkan masyarakat kebanyakan. Ada flesibilitas, proses sejarah yang fluktuatif membuat masyarakat kadang kalah metih, hilang harapannya untuk memberikan hak politiknya saat tahun Pemilu tiba. Ancaman Golput berpotensi menyeruak.

Publik perlu kejujuran dari para elit politik untuk menginsiasi yang namanya rekonsiliasi sejarah politik. Janganlah panggung politik kita dibanjiri dengan praktek horor, kotor, saling bermusuhan, intrik, dan saling serang dianggap biasa. Politisi kita harus mendidik dirinya untuk menjadi negarawan.

Seluruh politisi menjadi negarawan selayaknya. Bukan hanya segelintir saja. Politisi kita di indonesia ini mesti meninggalkan legacy. Tak etis masyarakat dididik dengan cara berpolitik yang penuh tipu muslihat. Berpolitik yang hanya mengedepankan hasrat berkuasa. Setelahnya kepentingan publik diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun