Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keberagaman di Panggung Politik dan Narasi Agung

20 Maret 2023   07:54 Diperbarui: 27 April 2023   07:54 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Tuhan berfirman : ''Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di mata Tuhan adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu" (Qs. Al-Hujurt : 13).

Perintah, pesan, atau anjuran Tuhan di atas seperti terdistorsi dalam praktek keseharian kita. Nyaris terabaikan. Terlebih dalam interaksi politik. Pada hampir seluruh momentum kompetisi politik mempersoalkan keberagaman. Disparitas sosial tercipta. Keakraban tergerus.

Apa yang kita sebut disparitas sosial mulai tumbuh, dan kuat. Menjadi beton yang membatasi akses masyarakat. Skenario tersebut membuat publik kehilangan konsentrasi untuk bicara soal keadilan, pemerataan ekonomi. Keberpihakan pemerintah tersembunyi dari mata publik ''media massa''. Keberagaman malah dibuat menjadi biang keributan, begitu menyedihkan.

Penyimpangan seperti inilah yang harus kita lawan. Tidak boleh masyarakat dibodohi dengan trikmen seperti itu. Seharusnya keberagaman yang telah menjadi tuntunan ajaran agama kita masing-masing menjadi penuntut, bukan malah menjadi masalah. Keberagaman merupakan sunatullah.

Belum lagi tantangan kita adalah kesadaran masyarakat yang mulai tergerus. Kebaikan dalam politik yang dinarasikan, sulit sekali diterima. Seolah rasionalitas politik ditutup, dibutakan dengan politik transaksional. Tak jarang, ketika musim kampanye tiba edukasi politik mendapatkan penolakan.

Kalaupun ''terpaksa'' masyarakat mendengarkan kuliah atau pencerahan politik ''literasi'' itu hanya karena ada sesajen berupa rokok dan kue. Masyarakat juga mulai membangun pemahaman tentang adagium tak ada makan siang gratis dalam politik. Inilah tantangan nyata bagi politisi, dan kita semua.

Salah satu alat membungkam kritik ialah dengan cara-cara justivikasi dan stigma buruk. Berbeda dianggap melawan, berbeda atau keberagam dituduh antipati. Sebetulnya dari sisi diksi, maupun interpretasi tak ada masalah. Hanya karena kompetisi politik, para aktor mengambil jalan yang tidak lazim, provokasi dilakukan. Menghancurkan keberagaman.

Insentif politik yang buruk ikut meruntuhkan rasionalitas masyarakat. Politik yang mengedepankan jual beli suara, rekayasa, dan mengambil jalan pintas membuahkan hasil berupa adanya pemilih yang kian pragmatis. Tidak mau ambil pusing dengan persatuan. Tidak menghormati keberagaman.

Jangan memandang keberagaman sebagai problem. Keberagaman selayaknya menjadi kekuatan dan keistimewaan bagi negara Indonesia. Bahkan, mirisnya keberagaman dimaknai seolah-olah menjadi sikap anti demokrasi. Makin sesatlah kita semua kalau begitu cara pandangnya.

Destruksi terjadi pada seluruh dimensi. Baik dalam urusan sosial, politik, ekonomi, penegakan hukum, bahkan mulai ada penyimpangan pesan-pesan agama yang distempelkan karena kepentingan politik semata. Politisasi agama masif dilakukan. Sebetulnya keberagaman membuat kita saling kenal-mengenal.

Bukan saling membenturkan atau bermusuhan. Perbedaan, keberagaman dijadikan elemen pemersatu. Bukan menjadi entitas yang memicu konflik. Makna keberagaman menjadi begitu dangkal akhir-akhir ini, proses pendangkalan itu terjadi kebanyakan karena kompetisi politik yang liberal. Berbeda dianggap musuh.

Begitu terbatasnya. Padahal, sejatinya perbedaan identitas itu hal lumrah dalam kehidupan. Apalagi eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, tentu berbeda-beda latar belakang. Cara pandang yang berbeda, hingga sikap yang berbeda mestinya diapresiasi. Masing-masing pihak harus mengerti posisi.

Rubrik demokrasi yang universal, mestinya dihiasi dengan keragaman yang berumutu. Perbedaan yang ada di tengah interaksi berpolitik janganlah kemudian dikonotasikan sebagai pembatas. Lalu, hal itu diubah dalam kondisi saling bermusuhan. Kalau sekedar menjadi kompetitor dalam konteks demokrasi, itu lumrah.

Jika dieksploitasi berlebihan sehingga merusak sendi-sendi pertemanan, tali persaudaraan dibuat putus ini keterlaluan. Salah paham terhadap keberagaman tersebut selayaknya dicarikan solusinya segera. Bermigrasilah kita semua aktor-aktor demokrasi untuk lebih masif mengedukasi rakyat, agar tidak meributkan keberagaman.

Resonansi politik kian tak terkendali. Benturan kepentingan berubah menjadi benturan fisik (konflik horizontal), itu akibat dari keberagaman yang diperselisihkan atau dipertentangkan. Situasi yang demikian sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pemerintah dan seluruh stakeholder aktif memberi bekal pengetahuan demokrasi pada rakyat.

Keberagaman harus disuplay untuk memperkuat rakyat. Ia menjadi nilai, pengikat yang akan berfungsi menambah kekuatan rakyat dalam mewujudkan cita-citanya menggapai kesejahteraan. Keberagam jutga telah dibingkai dalam semboyan bhineka tunggal ika. Bahwa kita berbeda, tapi tetap satu.

Berbeda agama, adat, suku, budaya, berbeda latar belakang ekonomi, strata pendidikan, dan seterusnya perbedaan yang melekat. Namun, kita satu sebagai anak-anak bangsa Indonesia. Kita juga satu sebagai manusia. Satu sebagai warga yang berdomisili, hidup di dunia. Sehingga tidak ada alasan keberagaman membuat kita terpecah-belah.

Kelak kita disandingkan dengan para tokoh anti demokrasi. Tokoh diktator yang begitu fulgar mempertunjukkan kekerasan otoritarianisme. Ketika di era kita keberagaman selalu dipersoalkan. Lantas kita juga pasif, memberikan pembiaran atas itu semua.

Sebab siapapun mereka, baik pemimpin ataupun rakyat jelata yang doyan dengan monopoli dan sentralisme kekuasaan adalah mereka tidak taat pada perintah Tuhan. Mereka yang mengingkari keniscayaan dalam hidup akan gelap dan suram kehidupannya. Akan mengenaskan kematiannya.

Meninggalkan legacy buruk terhadap sejarah peradaban. Mulailah mendidik diri kita, keluarga kita, lingkungan dimana kita tinggal, dan untuk bangsa negara agar lembut, menyatu dengan keberagaman. Tidak harus anti terhadapnya. Karena pada hal terkecilpun, di tubuh kita juga potret dari keberagaman itu sendiri melekat, terkonstruksi.

Sejatinya keberagaman merupakan salah satu ciri khas kita. Belajarlah menghormati, beradaptasi dalam keberagaman itu. Tidak perlu membuat sekat. Membangun tembok besar diskriminasi bernegara. Upaya itu tak ada gunanya sama sekali. Malah membuat gaduh, memantik perpecahan sesama anak bangsa.

Politik menampilkan keberagaman, dan demokrasi mengakomodasi itu. Tak ada soal. Yang perlu kita rawat, kemudian kembangkan ialah narasi agung tentang persatuan semesta. Melalui persatuan kolektif itulah kesejahteraan rakyat akan diperoleh. Para politisi harus mendorong narasi agung tersebut. Bukan menyembelih atau mereduksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun