Begitu terbatasnya. Padahal, sejatinya perbedaan identitas itu hal lumrah dalam kehidupan. Apalagi eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, tentu berbeda-beda latar belakang. Cara pandang yang berbeda, hingga sikap yang berbeda mestinya diapresiasi. Masing-masing pihak harus mengerti posisi.
Rubrik demokrasi yang universal, mestinya dihiasi dengan keragaman yang berumutu. Perbedaan yang ada di tengah interaksi berpolitik janganlah kemudian dikonotasikan sebagai pembatas. Lalu, hal itu diubah dalam kondisi saling bermusuhan. Kalau sekedar menjadi kompetitor dalam konteks demokrasi, itu lumrah.
Jika dieksploitasi berlebihan sehingga merusak sendi-sendi pertemanan, tali persaudaraan dibuat putus ini keterlaluan. Salah paham terhadap keberagaman tersebut selayaknya dicarikan solusinya segera. Bermigrasilah kita semua aktor-aktor demokrasi untuk lebih masif mengedukasi rakyat, agar tidak meributkan keberagaman.
Resonansi politik kian tak terkendali. Benturan kepentingan berubah menjadi benturan fisik (konflik horizontal), itu akibat dari keberagaman yang diperselisihkan atau dipertentangkan. Situasi yang demikian sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pemerintah dan seluruh stakeholder aktif memberi bekal pengetahuan demokrasi pada rakyat.
Keberagaman harus disuplay untuk memperkuat rakyat. Ia menjadi nilai, pengikat yang akan berfungsi menambah kekuatan rakyat dalam mewujudkan cita-citanya menggapai kesejahteraan. Keberagam jutga telah dibingkai dalam semboyan bhineka tunggal ika. Bahwa kita berbeda, tapi tetap satu.
Berbeda agama, adat, suku, budaya, berbeda latar belakang ekonomi, strata pendidikan, dan seterusnya perbedaan yang melekat. Namun, kita satu sebagai anak-anak bangsa Indonesia. Kita juga satu sebagai manusia. Satu sebagai warga yang berdomisili, hidup di dunia. Sehingga tidak ada alasan keberagaman membuat kita terpecah-belah.
Kelak kita disandingkan dengan para tokoh anti demokrasi. Tokoh diktator yang begitu fulgar mempertunjukkan kekerasan otoritarianisme. Ketika di era kita keberagaman selalu dipersoalkan. Lantas kita juga pasif, memberikan pembiaran atas itu semua.
Sebab siapapun mereka, baik pemimpin ataupun rakyat jelata yang doyan dengan monopoli dan sentralisme kekuasaan adalah mereka tidak taat pada perintah Tuhan. Mereka yang mengingkari keniscayaan dalam hidup akan gelap dan suram kehidupannya. Akan mengenaskan kematiannya.
Meninggalkan legacy buruk terhadap sejarah peradaban. Mulailah mendidik diri kita, keluarga kita, lingkungan dimana kita tinggal, dan untuk bangsa negara agar lembut, menyatu dengan keberagaman. Tidak harus anti terhadapnya. Karena pada hal terkecilpun, di tubuh kita juga potret dari keberagaman itu sendiri melekat, terkonstruksi.
Sejatinya keberagaman merupakan salah satu ciri khas kita. Belajarlah menghormati, beradaptasi dalam keberagaman itu. Tidak perlu membuat sekat. Membangun tembok besar diskriminasi bernegara. Upaya itu tak ada gunanya sama sekali. Malah membuat gaduh, memantik perpecahan sesama anak bangsa.
Politik menampilkan keberagaman, dan demokrasi mengakomodasi itu. Tak ada soal. Yang perlu kita rawat, kemudian kembangkan ialah narasi agung tentang persatuan semesta. Melalui persatuan kolektif itulah kesejahteraan rakyat akan diperoleh. Para politisi harus mendorong narasi agung tersebut. Bukan menyembelih atau mereduksinya.