Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenali Para Pembajak Demokrasi

6 Februari 2023   09:35 Diperbarui: 8 Februari 2023   18:33 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RAKYAT perlu diberi suplai informasi yang segar. Juga yang penting dan mendidik. Agar mereka terbebas dari perangkap penjara informasi yang menyesatkan. Jelang tahun politik 2024, di media sosial terutama para hantu demokrasi mulai berkeliaran. Segala cara dilakukan, penuh rekayasa.

Hal utama yang perlu dikenalkan ke publik (rakyat) ialah siapa yang disebut pembajak demokrasi itu. Diantaranya, pertama pemilik modal. Kedua, penyebar isu politik identitas. Ketiga, oligarki, dan terakhir, kelompok yang merasa paling benar. Untuk kelompok yang merasa paling benar telah kita lihat meluas.

Baik yang mengambil posisi bermesra dengan isu-isu politik keagamaan. Merasa paling suci, benar, dan pihak lain dianggap salah. Begitu pula dengan pihak yang menempatkan diri sebagai Pancasilais. Juga ada ketidakadilan yang dipertahankan. Mereka merasa paling Pancasilais, paling nasionalis.

Celakanya, selain mereka, orang lain tidak Pancasilais lagi. Terlebih yang menjadi oposan atau lawan politiknya. Klaim kebenaran antara keduanya cukup kuat. Peluang, kerentanan terjadinya perpecahan sosial akan terjadi jika kedua pihak bertahan dengan posisi merasa paling benar.

Jika ada pihak ketiga ''penumpang gelap'' yang masuk di tengah, maka kedua pihak ini akan bertengkar sangat serius. Lalu disintegrasi politik terjadi. Rakyat terpolarisasi. Jadinya perjalanan demokrasi terhenti. Malah berpotensi mengalami degradasi (kemunduran).

Kembali ke pembajak demokrasi pertama. Kenapa pemodal?, karena dalam tiap hajatan politik di Indonesia pemodal hadir untuk menginvestasikan sahamnya dihampir seluruh kandidat. Baik untuk kontestasi Kepala Daerah, hingga pemilihan Presiden. Bukan lagi rahasia umum di negeri ini.

Yang patut dikhawatirkan, dicarikan solusinya ialah kekuatan pemodal atau pemilik modal dalam mencengkram salah satu kandidat yang dikemudian hari menjadi pemimpin di negara ini. Sudah pasti beresiko. Karena para pemodal tak mau rugi. Mereka selalu mengedepankan logika untung, manfaat.

Ketika menang kontestasi, pasti ada kompensasi atau ganti rugi. Pasti ada komitmen kesepakatan yang dibangun. Umumnya kalau kita periksa, kesepakatan yang dibangun yaitu soal kebebasan para pengusaha (pemilik modal) ini dalam berusaha harus ditunjang. Jangan sampai mereka dipersulit.

Tak hanya berhenti disitu. Biasanya, buah dari kemenangan dan deal yaitu Sumber Daya Alam (SDA). Pertambangan, baik emas, nikel, biji besi, minyak, gas bumi, tembaga, perang, bijih mangan, timah, dan yang lainnya. Tentu menjadi objek mereka untuk dikeruk atau dikuras habis. Rakyat akan dikorbankan.

Kemudian, yang paling membahayakan lagi bila pemodal mengambil bagian, maka demokrasi akan tergadaikan. Praktek jual beli, belanja suara menjadi senjata mereka. Tak peduli itu melanggar hukum atau tidak. Jika tak bisa diintervensi penguasa, dan memungkinkan, penyelenggara bisa dibayarnya.

Kemenangan akhirnya menjadi penuh rekayasa dan mudah. Nilai Luber dan Jurdil dalam demokrasi dikesampingkan. Tidak ada gunanya bagi mereka. Kedua, buruknya kehadiran aktor politik penyebar isu politik identitas dengan mengangkat kandidat yang diperjuangkan, lalu menjatuhkan pihak lain.

Menjadi target dalam benaknya hanyalah menang. Kemudian, memancing kemarahan publik, memprovokasi, mencetak informasi hoax agar rakyat membenci lawan politiknya. Ini sangatlah picik. Sedikit dapat ditolerir, bila politisi mengkampanyekan kandidat pemimpinnya dengan tidak mencaci maki dan merendahkan yang lain.

Sialnya, yang digunakan kebanyakan ialah pola kampanye mempromosi jagoannya. Tapi, disatu sisi menjatuhkan, menghina rival politik mereka. Pembunuhan karakter dikira sebagai sesuatu hal yang biasa dalam politik. Begitu memiriskan. Kalau demokrasi mau maju, hindari hal seperti ini.

Agama akhirnya dipolitisasi. Memilih pemimpin publik seolah-olah digiring ke ruang yang ''sensitif''. Aspek kepemimpinan dikaburkan, yang diangkat, dikenalkan, dan menjadi nilai lebihnya untuk dieksploitasi hanyalah isu-isu kesolehan keagamaan. Memilih karena faktor satu agama. Ini berbahaya.

Mengganggu harmonisasi sosial. Merusak keutuhan dan kebhinekaan kita sebagai anak-anak bangsa Indonesia. Demokrasi menyediakan kita kesempatan untuk memilih pemimpin politik, bukan pemimpin agama. Kesadaran inilah yang harus dikonstruksi. Perlu ada reposisi cara pandang dalam soal ini.

Stop menjalankan politik identitas. Yang dijadikan magnet dan modal untuk mengkapitalisasi suara. Seperti itu puls, perihal indentitas politik secara universal. Jangan dibentur-benturkan. Karena bisa jadi identias ditafsir sebagai sesuatu yang alamiah, tidak bisa diingkari semua manusia. Identitas jangan dipertengkarkan.

Pembajak yang ketiga ini cukup mengerikan. Bagaimana tidak, berbagai fasilitas ada di tangan mereka. Oligarki tak lain adalah kelompok kecil yang berada di pemerintahan dan antek-anteknya. Mereka kuat, memiliki akses mengendalikan pemerintahan, politik, ekonomi, stabilitas keamanan, dan seterusnya.

Jangan main-main dengan mereka. Selain solid, memiliki solidaritas. Yang amat penting dari mereka yakni hasrat untuk terus mempertahankan kekuasaan. Di era dan kepemimpinan belahan dunia ini para oligarki memang kecenderungannya seperti itu. Selalu mau menang, menguasai, dan mengatur.

Ketika ditemukan lawan politik yang sepadan kekuatannya, maka dibujuk rayulah. Kalau tidak diikuti tawarannya, serangan berbagai penjuru akan dilakukan. Merusak ketokohan, menebar fitnah akan dilakukan. Tekanan demi tekanan dilayangkan. Targetnya tentu untuk mengalahkan lawan politiknya.

Tak bisa kompromi, maka konfrontasi dilakukan. Seperti itulah oligarki. Jikalau lawan politik tak mau berkawan, maka akan dihabisi. Pilihannya dunia politik menurut mereka teman atau mitra politik, dan musuh. Jangan bermain di wilayah abu-abu dengan mereka. Ketika menolak berteman, kalian dimusuhi.

Keunggulan lain dari oligarki yaitu mudahnya melakukan intervensi melalui struktur pemerintah. Mobilisasi anggaran negara dapat juga diwujudkan. Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan, tujuannya misi mereka harus jalan. Lawan politik takluk dan tumbang, ikut apa kehendak mereka. Tanpa banyak interupsi.

Oligarki lebih mudah menertibkan kelompok "maha benar" dalam berpolitik. Bagaimana tidak, faksi oligarki memiliki segala sumber daya tersebut. Modal, kekuasaan, relasi, dan instrumen menjadi milik oligarki. Ketika potensi itu digunakan untuk kemaslahatan rakyat secara adil, jujur, dan tulus, yakinlah rakyat pasti sejahtera.

Benturan di tengah-tengah rakyat akan berkurang. Pemerintah juga akan ringan tugasnya, tidak dicurigai. Tak ada prasangka buruk yang dipertahankan rakyat untuk pemeritahnya, jika keadilan itu dijalankan. Kerap kali konflik sosial memicu kemarahan publik, karena mereka merasa belum diperlakukan adil.

Setelah rakyat mengenali 4 pilar benalu perusak demokrasi di atas, maka wajiblah rakyat mewaspadainya. Jangan tertipu. Hindarkan diri, tak boleh suka rela atau dibayar menjadi antek-anteknya. Sesungguhnya perilaku tersebut mengotori, memalukan, dan merendah demokrasi.

Melakukan itu sama saja kita ikut menghancurkan negara Indonesia yang kita cintai ini. Jauhkan diri dari bujukan, tekanan, atau paksaan mereka untuk bersama-sama dalam misi menggadaikan demokrasi. Bangunkan cara pandang positif. Pilih pemimpin karena dinilai amanah dan dapat dipercaya. Bukan pembual.

Akibat dari praktek demokrasi yang amburadul itu melahirkan korupsi. Langgengnya politik dinasti. Tersumbatnya kebebasan berdemokrasi. Ruang strategis di partai politik juga dikendalikan pemodal. Kelompok cerdas tercerahkan dijadikan pelengkap berdemokrasi. Demokrasi dibuat koma menuju ajal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun