TRADISI INTELEKTUAL
Albert Einstein, ilmuan asal Jerman pernah mengatakan. Bahwa pertumbuhan intelektual harus dimulai saat lahir dan hanya akan berakhir dengan kematian. Politisi sejatinya dapat mengembangkan tradisi intelektual.
Publik membutuhkan kekuatan dari kaum intelektul. Dari berfikirlah, kita bekerja. Bukan bekerja, tanpa berfikir atau mengabaikan tradisi intelektual. Seperti itulah insan terpelajar melakukannya.
Dan kehormatan orang terpelajar berasal dari buku. Tapi, apa yang kita saksikan, rasanya para politisi kita masih minim yang terpantau menjadikan buku sebagai ferensi primer dalam bicara.
Kebanyakan hanya mengandalkan ilmu lapangan. Kekurangan literasi. Akibatnya, pernyataannya membuat gaduh publik. Lebih banyak kontroversi ketimbang kerja dan usaha mengkonsolidasikan rakyat.
Belum lagi, adanya kasus para politisi hingga Komisioner Penyelenggara Pemilu yang kutu loncat. Tidak konsisten memilih jalan. Kurang Istiqomah, hal ini juga menyumbang masalah tersendiri. Ketertiban sosial terganggu.
Janganlah politisi atau penyelenggara Pemilu mendowngrade dirinya sendiri. Mereka harus punya insight, dan ketegasan dalam memilih rute. Agar perjuangannya jelas, tujuan dan sasaran yang dicapai tidak mengambang.
Kalau semua mengerti dan mengetahui standing point, maka kemajuan makin mudah dicapai. Kolaborasi terwujud. Benturan kepentingan dapat diatasi. Riak-riak kecil bisa diselesaikan, bukan makin membesar.
Demokrasi tak mesti menjadi market elektoral. Melainkan sebagai tempat untuk saling mendidik dan menguatkan. Menjadikan demokrasi sebagai ruang belajar yang efektif untuk majukan rakyat. Bukan ruang saling memanfaatkan.
Yakinlah melalui proses politik yang baik, dan ditunjukkan politisi intelek, maka kesadaran rakyat akan terbangun. Politisi yang memberi contoh cara-cara beradab. Tidak saling menjelek-jelekkan antar satu dengan yang lain. Sehingga rakyat dapat mengikuti itu.
Beginilah jalan berdemokrasi. Saling rangkul-rangkulan. Terkumpul, terpanggil, terikat, dan bersatu karena ide untuk memajukan Indonesia. Merindukan kebersamaan, menjalanka toleransi, bukan sekedar menjadikan toleransi sebagai bahan kampanye politik semata.