Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Pasar Ide, Bukan Pasar Elektoral

22 Januari 2023   11:45 Diperbarui: 22 Januari 2023   11:55 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


PEMILU (elektoral) selalu identik dengan merebut suara rakyat. Jarang kita menempatkan posisi Pemilu sebagai wadah kompetisi ide atau gagasan. Diatur alurnya dari hulu hingga hilir, yang menghasilkan kesejahteraan rakyat. Keadilan, kesetaraan, kepastian hukum, dan kedamaian bagi rakyat.

Mestinya, Pemilu dimaknai dan dihiasi denga pasar ide. Yang keseluruhan kompetisi diwarnai dengan jualan janji manis. Politik transaksional, uang dijadikan ukuran untuk menang, bukan ide.

Kampanye Pemilu menjadi alur mengatur lalu lintas ide. Bukan bertarung membagi uang. Rebut pengaruh, memberi, serta merayu membujuk rakyat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya dukungan suara.

Untuk menjadikan Pemilu 2024 bermutu, demokrasi seharusnya dijadikan alat pasar ide. Biarlah yang ramai dibicarakan rakyat itu ide-ide membangun daerah, dan ide-ide membangun negara. Politisi dinilai atau dikenali rakyat karena modelitas ide.

Bukan karena ia punya banyak harta atau uang. Seperti yang selama ini terjadi dalam tiap momentum politik. Yang penting diutamakan partai politik juga begitu, mereka politisi yang memiliki konsep, perjuangan politik, dan ide yang otentik, yang kuat perlu diberi porsi

Jangan ditenggelamkan dengan hadirnya politisi yang tajir banyak uang. Elit parpol silahkan mengendorse kader-kadernya yang punya ide. Punya sejuta pengalaman bersama rakyat atau yang terbiasa mengabdi pada banyak orang.

Dari pola hubungan seperti itu membuat politisi menjadi confidence. Bukan menempatkan politisi yang kekurangan, bahkan miskin ide menjadi andalan partai politik.

Ide yang dimaksud ialah ide konstruktif "membangun". Pertarungan seperti ini paling elok dan edukatif. Menggeser persaingan politik uang ke ruang politik ide. Biar politisi bertengkar dengan ide-ide membangun daerah dan membangun negara.

Kondisi yang diharapkan ini memerlukan semacam briefing politik dari elit partai politik. Elit yang tentu menghendaki ada masa depan demokrasi. Kemajuan, kemaslahatan dan keselamatan rakyat.

Karena realitasnya, tidak semua elit partai politik berfikirnya terbuka dan berkemajuan seperti itu. Sebagian mereka malah nyaman dengan cara interaksi oligarki.

Melalui pendekatan tersebut, maka akan muncul pemimpin yang tau dan dapat melindungi hak asasi manusia, dan memenuhi hak warga negara dari seluruh elemen rakyat Indonesia.

TRADISI INTELEKTUAL

Albert Einstein, ilmuan asal Jerman pernah mengatakan. Bahwa pertumbuhan intelektual harus dimulai saat lahir dan hanya akan berakhir dengan kematian. Politisi sejatinya dapat mengembangkan tradisi intelektual.

Publik membutuhkan kekuatan dari kaum intelektul. Dari berfikirlah, kita bekerja. Bukan bekerja, tanpa berfikir atau mengabaikan tradisi intelektual. Seperti itulah insan terpelajar melakukannya.

Dan kehormatan orang terpelajar berasal dari buku. Tapi, apa yang kita saksikan, rasanya para politisi kita masih minim yang terpantau menjadikan buku sebagai ferensi primer dalam bicara.

Kebanyakan hanya mengandalkan ilmu lapangan. Kekurangan literasi. Akibatnya, pernyataannya membuat gaduh publik. Lebih banyak kontroversi ketimbang kerja dan usaha mengkonsolidasikan rakyat.

Belum lagi, adanya kasus para politisi hingga Komisioner Penyelenggara Pemilu yang kutu loncat. Tidak konsisten memilih jalan. Kurang Istiqomah, hal ini juga menyumbang masalah tersendiri. Ketertiban sosial terganggu.

Janganlah politisi atau penyelenggara Pemilu mendowngrade dirinya sendiri. Mereka harus punya insight, dan ketegasan dalam memilih rute. Agar perjuangannya jelas, tujuan dan sasaran yang dicapai tidak mengambang.

Kalau semua mengerti dan mengetahui standing point, maka kemajuan makin mudah dicapai. Kolaborasi terwujud. Benturan kepentingan dapat diatasi. Riak-riak kecil bisa diselesaikan, bukan makin membesar.

Demokrasi tak mesti menjadi market elektoral. Melainkan sebagai tempat untuk saling mendidik dan menguatkan. Menjadikan demokrasi sebagai ruang belajar yang efektif untuk majukan rakyat. Bukan ruang saling memanfaatkan.

Yakinlah melalui proses politik yang baik, dan ditunjukkan politisi intelek, maka kesadaran rakyat akan terbangun. Politisi yang memberi contoh cara-cara beradab. Tidak saling menjelek-jelekkan antar satu dengan yang lain. Sehingga rakyat dapat mengikuti itu.

Beginilah jalan berdemokrasi. Saling rangkul-rangkulan. Terkumpul, terpanggil, terikat, dan bersatu karena ide untuk memajukan Indonesia. Merindukan kebersamaan, menjalanka toleransi, bukan sekedar menjadikan toleransi sebagai bahan kampanye politik semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun