Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengubah Sistem Pemilu, Bukan Problem Krusial

18 Januari 2023   06:52 Diperbarui: 18 Januari 2023   10:27 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


BERBAGAI
alasan diajukan. Argumen pembenaran disampaikan untuk menyanggah kuatkan sistem proporsional tertutup. Secara pribadi, dalam konteks mengemukakan pendapat, silahkan semua entitas rakyat tidak dilarang untuk itu.

Saya memberi komentar, merespon soal spirit mewujudkannya sistem proporsional tertutup terlampau tidak sempurna. Dimana dalam konteks demokrasi, yang memberi ruang kebebasan pada rakyat dalam mengoreksi, mengajukan, bahkan menentukan pilihan politik. Rasayanya tidak sejalan.

Akan ada yang tersumbat dalam mendorong kebebasan berdemokrasi dengan sistem proporsional tertutup. Bagaimana tidak, sistem proporsional tertutup menyeret demokrasi pada ruang sempit kebebasan dan kewenangan yang absolut pada partai politik. Lalu, kebebasan memilih rakyat disembelih.

Tidak, tidak aple to aple. Bila rakyat menghendaki calon pemimpin atau politisi tertentu, lalu mereka memilihnya dan secara mayoritas ia memperoleh suara terbanyak. Namun karena hambatan nomor urut, seseorang politisi itu gagal mendapatkan hal yang secara demokratis menjadi haknya.

Yang ada malah kekacauan. Protes meluas, para politisi saling jegal. Mereka yang suaranya sedikit secara elektoral, tapi menang karena nomor urutnya 1 potensial (strategis). Karena sistem proporsional tidak menjadi antitesa dari sistem proporsional terbuka. Sudah pasti rakyat lebih memilih dan nyaman dengan sistem proporsional terbuka.

Melalui sistem proporsional terbuka, cara menempatkan kebebasan demokrasi benar-benar diberikan pada rakyat. Sistem tersebut mengukur suara mayoritas atau suara terbanyak calon Anggota Legislatif. Sederhananya, meski Caleg itu tidak mendapatkan nomor urut 1, tapi suaranya banyak di Dapilnya, maka dia berhak menjadi pemenang dan memperoleh kursi yang diperebutkan.

Sistem Proporsional Terbuka Membuka Ruang Pasar Bebas? 

Argumentasi untuk mendorong sistem proporsional tertutup ialah mengembalikan kedaulatan partai politik. Kemudian, meminimalisir adanya politik uang. Pasar bebas jual beli suara di tingkat masyarakat dapat dikanalisasi melalui nomor urut. Hanya itu saja?, rupanya masih belum lengkap. Tetap saja ada kebocoran.

Dimana kebocoran itu ditemukan?, seperti buah simalakama disatu sisi elit partai politik mau memutus mata rantai politik uang dengan membuat sistem satu kanal. Sayangnya disisi lain, praktek jual beli kursi juga tak bisa dibendung di internal partai politik. Lalu apa alasannya menghentikan praktek politik uang.

Sebuah metode yang kurang efektif. Itulah yang membuat saya merasa sejauh ini sistem proporsional terbuka sangat layak digunakan. Publik masih tidak rela hak-hak politik mereka diculik elit partai politik. Karena sistem proporsional tertutup dirangkai untuk memindahkan hak politik rakyat ke politisi tertentu.

Yang dipilih rakyat misalnya nomor urut 4, tapi karena suara di Dapil tersebut hanya bisa diperoleh partai politik tertentu satu kursi, maka yang akan menerima kursi atau menduduki posisi tersebut ialah Caleg nomor urut 1. Begitulah kemelutnya. Sistem yang terkesan memaksakan. Yang memangkas hak rakyat.

Akhirnya pertarungan kepentingan antara sesama politisi makin kencang. Rebutan di tingkat rakyat juga akan terjadi. Jangan dikira bahwa sistem proporsional tertutup akan menghilangkan atau mengurangi politik uang di tengah rakyat. Tidak menjadi garansi alternatif itu. Bahkan, watak politik uang makin meraja lela.
Dahulu yang hidangkan ke rakyat ialah politik uang yang dilakukan hampir seluruh Caleg. Saat sistem proporsional tertutup diberlakukan politik uang, gratifikasi, dan jual beli suara tetap saja lestari. Malah yang begitu menyedihkannya, ruang kebebasan demokrasi menjadi dikebiri. Rakyat dipasung.

Dampaknya akan menurunnya partisipasi politik rakyat. Jika kandidat yang dirindukan rakyat mendapat nomor urut yang bontet, tidak menguntungkan, maka politisi tersebut bisa mempengaruhi pemilihnya untuk Golput. Apatisme mengemuka. Kemudian, kecurangan tak terhindarkan juga akan terjadi.

Kompetisi politik selain dipindahkan ke partai politik, bahkan disaat perebutan nomor urut. Disinilah jual beli kursi, politik traksaksional berpotensi dilakukan. Fakta berpolitik di negerai ini sudah memberi kita segudang bukti atas hal itu. Sistem proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia pada era Orde Lama.

Maukah kita mengalami kemunduran dalam berdemokrasi?. Rasanya, tidak semua rakyat menghendaki itu. Bahkan di era Orde Baru sistem proporsional tertutup pernah enam dipakai dalam enam kali Pemilu. Hingga tahun 1999, sistem ini dihentikan. Karena dianggap tidak lagi demokratis. Bergantilah ke sistem proporsional terbuka yang hingga kini diberlakukan.

Jadi sistem proporsional tertutup adalah penentuan calon Legislatif yang terpilih bukan atas dasar suara yang diperolehnya. Melainkan atas dasar perolehan suara partai politik. Selanjutnya, lahirlah Undang-undang Nomor 12 tahun 2003, tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kita terapkan saat ini.

Sejarah berdemokrasi idealnya makin maju. Mengalami progres peningkatan tiap waktu. Bukan malah tarik mundur. Begitulah sejatinya kita bernegara. Yang harus dikoreksi ialah implementasi demokrasi, bukan perubahan sistem. Pada aktor politiklah perubahan-perubahan perlu dilakukan.

Perubahan Sistem Pemilu, Tidak Krusial

Seberapa banyak sistem dirubah, jika mentalitas para pelaksana sistem tersebut tidak terkonstruksi, maka semuanya menjadi percuma. Tidak akan berhasil. Sebetulnya, partai politik perlu membenahi siklus komunikasi internal partai masing-masing. Jangan dulu memikirkan merubah sistem Pemilu, karena itu tidak krusial.

Perbaikan kesejahteraan rakyat yang perlu didorong. Hilangkan mentalitas korup. Jauhkan praktek berpolitik yang mengedepankan uang sebagai strategi jitu memenangkan pertarungan politik. Elit politik harus bekerja keras, mendisiplinkan kadernya, memberi sanksi kepada kader yang terlibat politik uang.

Jangan pelanggaran dalam praktek berpolitik dilimpahkan seluruhnya kepada Bawaslu. Saatnya elit partai politik, baik di pusat maupun di daerah mengambil tanggungjawab tersebut. Berikan hukuman kepada kader yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan politik. Itu yang prioritas.

Dari pada menyibukkan diri dengan merubah sistem Pemilu. Jauh dari kondisi genting sebetulnya hal ini. Ayo bangun kesadaran kolektif, hadirkan kepekaan pada nasib rakyat miskin yang sepertinya kurang maksimal ditangani. Carikan solusi rakyat kita yang masih membutuhkan penanganan serius akibat kemiskinan.

Elit partai politik perlu berinsiatif, tampil memberi contoh dan memastikan bahwa apa yang dilakukan itu diikuti kader-kadernya hingga di daerah. Bila kebaikan, disiplin, dan ketaatan pada aturan diterapkan rutin, dipastikan perubahan besar akan terjadi dalam sistem demokrasi kita. Sehingga yang terpilih dalam dunia politik yakni para politisi yang bertanggungjawab. Yang benar-benar peduli para rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun