BEGITU sederhana para politisi mengkonstruksi retorika politiknya. Di atas panggung politik kekuasaan diobral, mereka membius rakyat dengan optimisme. Tapi tak jarang argumentasi, narasi yang diubar itu tidak sesuai dengan realisasinya.Â
Mahal nihil, harapan tersebut terwujud. Inilah model pemimpin demagog, pemimpin yang pandai menghasut rakyat demi meraih kekuasaan. Mereka mengandalkan retorita politik. Banyak modusnya, rakyat dijadikan alas kaki semata.
Pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya, itu tidak sedikit. Merekalah pemimpin 'demagog', yang mengambil bagian berpaling menerkam kepentingan rakyat. Lalu, menyulap, merekayasan itu, sehingga keuntungannya digunakan untuk kepentingan pribadi. Pemimpin seperti ini senang berkamuflase.
Karena pemimpin demagong, biasanya cenderung provokator. Jarang mereka bicara atau memikirkan integritas maupun reputasi. Yang ada di otak mereka hanyalah kepentingan pribadi. Menang merebut, merampas apa yang hendak mereka targetkan. Tidak peduli dengan nilai moralitas.
Merujuk pada defenisi atau terminologi, demagog merupakan istilah politik yang berasal dari bahasa Yunani 'demos'. Yang bermakna rakyat, dan 'agogos', pemimpin dalam arti negatif. Yaitu pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.
Tampilan seperti inilah yang bisa dikaterogikan sebagai manusia pemangsa manusia. Homo homini lupus, yang disampaikan Thomas Hobbes itu benar-benar terjadi di lapangan. Politisi kita di Indonesia juga banyak terjangkit, tertular penyakit rabies seperti itu. Tidak segan memakan bangkai teman, saudara sendiri. Manusia menjadi bengis karena rebutan kekuasaan.
Demi kepentingan kekuasaan, kelompok, dan pribadi, fitnah saling serang dilakukan. Seolah tak takut dosa, tidak segan-segan menyakiti lawan politik. Pihak yang berbeda kepentingan politik pasti diterkam. Tanpa ada perasaan kasihan, rasa ibah sedikitpun. Politisi demagog terus bergentayangan.
Mereka seperti tidak pernah mati. Selalu tumbuh subur. Mati satu tumbuh seribu, kaderisasi mereka yang acak-acakan, tidak jelas itu tapi menghasilkan pertumbuhan yang pesat. Buktinya begitu, politisi demagog tidak pernah ketinggalan momentum. Mereka menyusup, berada, menyerupai, dan hadir dalam momentum politik yang strategis.
Tidak bermaksud melakukan underestimate pemimpin tertentu. Melainkan dijadikan sebagai renungan, pressing untuk melahirkan kesadaran publik bahwa tidak boleh demokrasi memberi kesempatan untuk terlahirnya pemimpin yang demikina. Pemimpin yang memiliki preferensi merusak peradaban masyarakat. Yang setelah terpilih dari proses elektoral malah mengabaikan rakyat.
Pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan sendiri ''demagog''. Kenapa demikian, masih ada pemimpin bermental penjajah bertebaran, pemimpin yang mengeluarkan kebijakan tidak selaras dengan harapan publik. Itu dikarenakan ruang-ruang demokrasi terlalu dibuka. Demokrasi menjadi pentas pasar bebas.
Mereka calon pemimpin, politisi yang memiliki modal finansial yang membelanja suara-suara rakyat yang terpilih dari proses demokrasi yang ''liberal'' tersebut. Kerang demokrasi yang lebih memberi kesempatan kepada para pemilik modal inilah yang membuat konstituen menjadi pangsa pasar yang menggiurkan bagi pemodal. Suara rakyat dibeli, ditukar tambahkan dengan uang atau paket sembako.
Kebanyakan yang mengambil jalan itu ialah para calon pemimpin demagong. Yang tidak ambil pusing dengan kepentingan rakyat yang bersifat jangka panjang. Model pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya semata. Setelah mendapatkan kekuasaan yang, sang pemimpin demagog ini menutup mata atas derita-derita rakyat.
Mengatasi kekhawatiran publik agar tidak terlahir pemimpin demagong, maka mekanisme demokrasi harus diawasi sejak tahapan Pemilu. Lembaga atau Institusi yang diberi kewenangan mengawasi jalannya Pemilu agar bekerja secara baik dan benar. Tidak berkompromi dengan cara pendekatan-pendekatan melawan hukum.
Ketika kesadaran penegakan hukum ditunjukkan secara serius, serta sungguh-sungguh, maka dipastikan demokrasi akan melahirkan pemimpin yang bermutu. Meraka yang demagong akan tersingkir. Suara rakyat tidak mampu lagi dieksploitasi. Solusinya hanya demikian, yakni meningkatkan pengawasan. Memberi sanksi kepada siapa saja pelaku suap dalam Pemilu.
Yang menyalagi aturan diproses hukum, tanpa ampun. Edukasi demokrasi ditingkatkan. Kampanye perang terhadap politik uang digencarkan. Karena sudah bisa kita deteksi, untuk Pemilu 2024 hanya 2 isu besar yang akan ramai dimainkan. Pertama, politik identitas, dan kedua, politik uang. Yang lain akan menjadi varian atau isu turunan saja.
Dinamika demokrasi idealnya ditarik ke luar dari sekedar kompetisi. Parahnya lagi jika dikunci dalam segmen kompetisi politik transaksional. Rakyat dibuat menjadi pragmatis. Rumus politik untuk melayani publik, dikaburkan. Malah yang ditumbuh kembangkan politik jual beli suara. Ini yang membahayakan. Oleh karena itu, demokrasi wajib diselamatkan.
Jangan dibiarkan demokrasi memelihara kebiasaan politik uang. Jika demokrasi tetap diseret pada lumpur praktek politik uang, yakinlah pemimpin demagog akan tumbuh subur. Pemimpin demagog lebih bersifat licik.Â
Trik jahat dan narasi kebencian tak segan diproduksi demi meraih cita-cita politiknya. Rawannya lagi, bila pemimpin model ini memimpin kita semua. Bersiaplah kita mati berlahan. Kemiskinan yang menganga tetap saja tidak mengusik nuraninya untuk dicarikan solusi.
Muncul dalam benaknya hanyalah kenyamanan, pesta pora, dan kesejahteraan diri sendiri. Itu artinya, berbagai antisipasi perlu dibangun. Rakyat perlu dibentengi agar tidak menjadi korban, tidak dimangsa pemimpin demagog. Karena kalau didiamkan demokrasi menjadi rumah yang nyaman bagi pemimpin jahat. Pemimpin demagog tidak memikirkan keadilan dijalankan. Hukum berpihak pada kelompoknya, dianggap hal biasa. Bukan tabu.
Kalau rakyat punya kesadaran, dan mau keluar dari ancama-ancaman tersebut maka jangan pilih pemimpin politik yang dalam praktek berpolitik dengan membagi uang. Membeli suara atau hak politik rakyat. Pendekatan jual beli suara, sudah pasti ada skandalnya. Kompromi, konspirasi, bargaining politik dibangun.
Ada efek buruknya. Tidak tulus. Yang membeli suara rakyat pasti berfikir bahwa mereka tak punya ikatan emosional lagi, tak punya beban untuk bekerja pada rakyar. Begitu pun yang menggadaikan suaranya, jangan bermimpi untuk memupuk hubungan jangka panjang dengan politisi yang membeli suaranya tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H