Menjadi 'katalis' dalam polarisasi politik. Saling menghasut menghiasi panggung politik kita. Praktek politik harusnya membuat rakyat sejahtera. Malah terjadi sebaliknya. Mengkondisikan kesadaran rakyat, membuat rakyat rentan berkonflik. Jauh dari cita-cita bersamanya. Jangan sampai rakyat dijadikan alas kaki bagi politisi rakus dan atek oligarki. Rakyat jangan dibodohi. Drama saling menghujat sesama politisi ayo diakhiri saja.
Politisi tidaklah etis masing-masing kalian merasa paling benar. Berpegang pada prinsip, pilihan, dan alasan masing-masing. Karena dampaknya hanyalah polarisasi. Rakyat tidak mau itu. Menurut rakyat politisi itu pewaris Nabi. Pihak atau individu yang bisa dijadikan teladan dalam mengurus negara dan dalam pergaulan sosial. Bersikaplah menginspirasi.
Tiap politisi merasa paling benar, itu fakta yang terpotret. Paling pintar sejagat raya. Situasi itulah yang memicu, serta melanggengkan perpecahan. Merasa paling idealis, paling berhak bicara soal negara dan toleransi maupun dalam urusan memperjuangkan kepentingan publik. Jelang Pilpres 2024, media massa menyajikan warna-warni pemberita itu.
Saling triki, saling hujat. Bahkan menyerang personal, begitu fulgar dipertontonkan politisi. Seakan-akan tak ada malunya pada rakyat. Mereka pikir rakyat semuanya bodoh, pikun atas kesombongan, inkonsistennya. Sedih, tapi begitulah realitasnya. Politisi menempatkan rakyat sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting. Rakyat penting disaat tahun politik. Selebihnya, menjadi beban.
Kondisi-kondisi yang menyayat hati itu turut mendorong eskalasi politik 2024 terseret pada ruang perpecahan. Padahal, rakyat kita butuh realitas politik yang lebih berkualitas. Yang tidak membuat mereka muak, atau muntah. Saling menghujat di media sosial seakan menjadi rutinitas, dan tradisi di era post-truth.
Sementara pemerintah yang kita harapkan memproduksi masyarakat yang diridhai Allah SWT, masih tengah berjuang di persimpangan. Potret masyarakat yang makmur 'baldatun thayybatun wa rabbun ghafur', harusnya hadir. Jalan terbaiknya melalui konsolidasi masyarakat sipil, politik polarisasi diakhiri. Rakyat di tempatkan pada posisi, ruang, level yang setara. Tidak ada pembedaan atau distingsi.
Negeri ideal yang didampakan rakyat, wajahnya menyejukkan. Keadilan diterapkan secara adil. Negeri yang bebas dari penyakit, yang terjamin keamanan warganya. Rakyat tidak diseret pada dunia materialistik. Begitu rakyat tidak saling dibentarkan pada kepentingan sesaat. Politik pecah-belah tidak dipelihara. Negeri yang para politisinya saling hormat, tidak saling fitnah. Tidak merasa sok jagoan.
Bagaimana mewujudkan negeri dambaan dan impian semua rakyat, jika elit politiknya doyan gaduh. Mengembangkan sifat saling menghujat. Merawat sentimen antar sesama. Yang satu merasa benar, lalu kubu yang satunya lagi merasa paling benar. Tidak mau kalah, tidak mau berkolaborasi.
Lalu, spirit toleran yang diucapkan dalam lisat, hanya selesai dalam ucapan. Tapi gagal diimplementasikan. Politisi kita sebagian besarnya berlagak suci di depan panggung dan layar kaca Televisi, atau media massa. Di belakangnya mereka hanya mementingkan diri sendiri. Standar ganda.
Bahkan, mirisnya toleransi, kerukunan, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, keberpihakan hanya menjadi dagangan politik. Dugunakan dalam perang-perang politik secara verbal. Panggung politik digeser menjadi tontonan dagelan politik. Kadang menjadi pentas dan pameran kesolehan. Namun sejatinya saling perang kepentingan tanpa heti.
Ya, politisi mestinya menjadi komunikator profesional. Menjadi magnet, pemberi solusi. Buat pemancing kerusuhan dan kegaduhan. Mampu menjembatani rakyat yang bertikai, menjadi pelita penerang bagi rakyat. Melahirkan ketenangan dalam menghadapi permasalahan. Bukan malah menyulut emosi publik, untuk kemudian memperparah pertikaian. Politisi harusnya menjadi negarawan.
Jangan menjadi politisi bermental simpatisan, partisan. Hanya menjadi follower. Melainkan hadir sebagai corong, sebagai duta-duta dalam kampanye yang mencerahkan publik. Harus tuntas dari dirinya sendiri soal manajemen konflik, tidak elot, tidak etis politisi yang identik dengan negawaran berfikiran sektarian dan dikotomis.
Tidak pantas politisi memikirkan soal dirinya, kepentingannya sendiri. Lalu mengorbankan, menjadi rakyat sebagai tumbalnya. Lahirnya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemimpinnya menjadi medan yang didinamisasi politisi. Jauh dari sikap menghasut dan saling fitnah, politisi itu.
Begitupun cara-cara intimidatif dari politisi yang sok menjadi hero tidak akan ada. Rakyat diliterasi melalui perkataan dan perilaku berpolitik yang santun. Saling menghargai posisi. Saling menghargai adanya perbedaan pandangan.
Praktek politik diharapkan membawa dampak yang impresif. Mengajak publik untuk berfikir terbuka dan sportif. Bukan menghasut, membuat rakyat terkondisikan dalam konflik kepentingan elit. Akhirnya, publik atau konstituen bertengkar saling serang. Sungguh ironis. Situasi yang demikian harus ditransformasi. Jangan terus-menerus kita biarkan.
Politisi harus satu padu, segera menggeser paradigma dan pola berpolitiknya. Sebab, kondisi demikian hanya akan memperbesar segregasi sosial. Rakyat sulit dipersatukan. Konsekuensi terburuknya kerusuhan masalah akan lahir, karena rakyat memelihara dendam. Emosi publik gampang disulut. Keteladanan pemimpin juga tereduksi dengan kondisi-kondisi tersebut.
Tema, percakapan, dan keseriusan semua pihak untuk mendorong terlahirnya rekonsiliasi harus dilakukan. Jangan lagi elit politik terjebak, membuat kamuflase politik, sehingga menjadikan rekonsiliasi politik sebagai jualan. Kesadaran rasional, kesadaran ideologis perlu diwujudkan. Rekonsilidasi politik menjadi solusi tepat untuk majukan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H