Mendekati bakal calon Presiden RI yang nyata-nyata berbeda haluan politik dengan koalisi yang sedang dijalaninya sekarang. Ada elit politik yang masuk di dalam sistem (Menteri) malah membiarkan kadernya menghajar pemerintah. Politik standar gandang, tidak elok.
Hal itu membuat publik makin tidak teredukasi. Ya, karena ulah elit politik dan elit parpol yang seperti demikian. Tidak menghormati komitmen. Bagaimana memimpin rakyat kalau karakternya seperti itu. Perlu rekonstruksi lagi paradigma berfikir elit.
Tentu tradisi politik dalam konteks konkritnya perlu dibenahi. Sekarang, seumpama kapal yang hendak berlabuh, menuju pelabuhan, kepemimpinan Jokowi-KH Ma'ruf mulai ditinggalkan. Terlihat jelas dari sikap sejumlah elit parpol.
Hasilnya, ada kelompok oposan dan kelompok yang senang mencari-cari salahnya pemerintah saat ini menghajar. Mereka malah membiarkan saja. Tidak ada yang mau membela. Jika ada, itu hanya mereka politisi yang tau etika saja. Selebihnya maunya vested interest.
Politik cari aman dan cari utung yang dilakoni. Sungguh tidak mendidik publik. Memukul lawan sendiri, mulapak komitmen dan membangun komitmen baru tanpa malu merupakan cara berpolitik yang jauh dari tuntutan etika politik. Jangan menjadi politisi yang lupa ingatan.
Politisi yang menggadaikan reputasinya demi meraih kekuasaan. Koalisi Indonesia Maju harus benar-benar dikawal hingga akhir. Jangan ada penghianatan di tengah jalan. Presiden Jokowi harus mengevaluasi ketidakpatuhan warga Koalisi yang berwatak inkonsisten.
Segerakan reshuffle bagi parpol yang mulai balik badan. Buat kader parpol yang berada di Kabinet, mestinya parpol tersebut bertanggung jawab mengawal pemerintahan hingga tuntas. Bukan melompat sebelum "Kapal Koalisi" bersandar di pelabuhan.
Sekarang realitanya, para pimpinan parpol mulai gerak cepat. Takut kehilangan momentum. Mungkin faktor hubungan pertemanan Ketum PDI Perjuangan yang regang dengan Ketum NasDem berpengaruh pada postur Koalisi Indonesia Maju.
Begitu pula fariabel politik lain yang melahirkan polarisasi politik di tengah koalisi. Sehingga secara internal kerukunan, soliditas dan kondusifitas koalisi mulai terganggu. Situasi ini ditambah lagi dengan diinfiltrasinya kepentingan parpol oposisi. Yang mulai bicara bargaining politik tahun 2024.
Mungkin karena desakan bahwa di dalam politik praktis selalu ada opportunity cost. Hal itulah yang membuat para elit parpol pusing tuju keliling, mencari modal. Mengamankan cadangan anggaran dan mencermati siapa kandidat Presiden yang diajukan para pemodal (cukong).
Positioning politik itu yang menjadi kalkulasi elit parpol. Mereka berharap struktur parpol kuat dan dapat menyanggah kekuatan politik (elektoral). Lantas harapannya modal itu dapat menyumbangkan nilai lebih terhadap suara Legislatif (Parlemen). Ketika makin kuat positioning politik parpol, otomatis semakin mahal pula nilai tawarnya secara politik. Begitupun sebaliknya.