Sebelum Viewzone meminta saya untuk meneliti arti dari “kewarganegaraan ganda,” Sayabelum pernah mendengar tentang istilah itu.Bagaimana mungkin seseorang menjadi warga dari dua negara pada saat yang sama?Tapi itu karena aku selama ini tidak pernah memperhatikannya. Dual kebangsaan dan kewarganegaraan cukup umum. From my internet research, I learned that in 1997, a French Canadian with a U.S. passport ran for mayor of Plattsburgh, N.Y. He argued that the incumbent spoke French too poorly to be running a city so close to Quebec. He lost. Also in 1997, a retired top American official for the U.S. EPA (Environmental Protection Agency) ran for president of Lithuania. He was inaugurated in February to a burst of fireworks!
Dari penelitian internet saya, saya mengetahui bahwa pada tahun 1997, seorang Perancis Kanada dengan paspor AS maju untuk pemilihan walikota Plattsburgh, NY. Dia berargumen bahwa bahasa Prancis incumbent terlalu buruk untuk mengelola sebuah kota yang begitu dekat dengan Quebec. Dia kalah.Juga pada tahun 1997, seorang pensiunan pejabat EPA (Environmental Protection Agency) Amerika mencalonkan diri sebagai presiden Lituania.Ia dilantik pada bulan Februari dengan ledakan kembang api! In 1996, Dominicans from New York not only could vote in the Dominican Republic’s presidential elections for the first time, they could vote for a fellow New Yorker. Multiple nationalities have become so commonplace that some analysts fear the trend is undermining the notion of nationhood, particularly in the place with the most diverse citizenry on Earth: the United States.
Pada tahun 1996, Orang turunan Dominika dari New York tidak hanya bisa memilih dalam pemilihan presiden Republik Dominika untuk pertama kalinya, mereka juga bisa memilih untuk sesama orang yang tinggal di New Yorke. Beberapa negara telah menjadi begitu biasa dengan hal tersebut sehingga beberapa analis kuatir tren tersebut dapat merusak gagasan kebangsaan, terutama di tempat dengan warga negara paling beragam di Bumi: Amerika Serikat. Debate over the issue intensified in the late 1990s, when Mexico joined the growing list of poor nations that say it’s OK for their nationals to be citizens of the countries to which they have migrated. Under the law that took effect in 1998 Mexicans abroad — most of them in the United States — will be able to retain Mexican citizenship even if they seek U.S. citizenship. And naturalized Americans of Mexican descent will be able to reclaim their original citizenship. The Mexican government stopped short, for now, of giving expatriates the right to vote.
Perdebatan intensif masalah tersebut terjadi di akhir 1990-an, ketika Meksiko masuk kedalam daftar negara-negara miskin yang mengatakan, bahwa tidak apa-apa bagi warga negaranya untuk menjadi warga negara tempat mereka bermigrasi.Berdasarkan hukum yang diberlakukan pada tahun 1998 orang Meksiko di luar negeri - kebanyakan dari mereka di Amerika Serikat - tetap dapat mempertahankan kewarganegaraan Meksiko bahkan sekalipun jika mereka mendapatkan kewarganegaraan AS.Dan orang Amerika keturunan Meksiko karena naturalisasi tetap dapat kembali kewarganegaraan asli mereka.Pemerintah Meksiko menghentikan untuk sementara, untuk sekarang, memberikan ekspatriat hak untuk memilih. Security Issues Since citizenship carries with it a responsibility to be exclusively loyal to one country, the whole concept of dual citizenship and nationality raises questions about which of the dual citizenships have priority. This is extremely important when the two countries have opposing interests. It can be a deadly problem when a dual citizen is in a high position within our American government.
Karena kewarganegaraan disertai dengan tanggung jawab untuk secara eksklusif setia kepada satu negara, seluruh konsep kewarganegaraan dan kebangsaan ganda menimbulkan pertanyaan mengenai yang mana dari dua kewarganegaraan tersebut yang menjadi prioritas.Hal ini sangat penting ketika kedua negara memiliki kepentingan yang berlawanan.Ini dapat menjadi masalah mematikan ketika warga dengan dua kewarganegaraan tersebut berada dalam posisi yang tinggi dalam pemerintahan Amerika kita. Can one imagine a Japanese citizen serving in the Pentagon during WWII? Or how about a citizen of the Soviet Union holding a cabinet position in the White House during the Cold War?
Dapatkah seseorang membayangkan ada warga Jepang yang bekerja di Pentagon selama Perang Dunia II?Atau bagaimana kalau ada warga negara Uni Soviet memegang posisi kabinet di Gedung Putih selama Perang Dingin? Today’s conflicts are centered in the Middle East. America needs to balance foreign policies towards oil producing Arab nations with our goal being peace and stability in the region. This places a burdon on our government to be even-handed in our dealings with the Arab world and Israel. While the Iraq War was waged on lies about Weapons of Mass Destruction and revenge for 911, thereal reasonhas emerged as a well designed global plan to improve the power and leverage of Israel. Added to this policy is yet another potential blow to American interests and security — the impending War with Iran. This war will be waged for the security of Israel and will be paid for by the blood of American soldiers and the hard-earned money of American citizens whose quality of life is inversely tied to the cost of petrolium.
Konflik saat ini berpusat di Timur Tengah.Amerika perlu menyeimbangkan kebijakan luar negeri terhadap negara-negara Arab penghasil minyak dengan tujuan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.Hal ini menjadi beban yang harus dipikul pemerintah kita untuk adil dalam berurusan dengan dunia Arab dan Israel.Sementara Perang Irak dilancarkan berdasarkan kebohongan tentang Senjata Pemusnah Massal dan balas dendam atas 9/11,alasan sebenarnyatelah muncul yaitu sebagai rencana global yang dirancang dengan baik untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh Israel.Tambahan lain pada kebijakan itu adalah potensi pukulan lain terhadap kepentingan dan keamanan Amerika - yaitu perang yang akan datang dengan Iran.Perang ini akan dilaksanakan demi keamanan Israel dan akan dibayar oleh darah tentara Amerika serta uang hasil kerja keras penduduk Amerika yang kualitas hidupnya berbanding terbalik dengan biaya BBM. Recently, in their much lauded paper,The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy, Harvard professor, Stephen Walt, and University of Chicago professor, John Mearsheimer, focused attention on the strong Israeli lobby which has a powerful influence over American foreign policies (seeBBC article). They detail the influence that this lobby has exerted, forming a series of international policies which can be viewed as in direct opposition to the interests and security of the American people. These acts and policies are more often than not carried out by US government appointees who hold powerful positions and who are dual American-Israeli citizens. Since the policies they support are often exclusively beneficial to Israel, often to the detriment of America, it has been argued that their loyalties are misdirected.
Baru-baru ini, dalam tulisan mereka yang mendapat banyak pujian,The Israel Lobby dan US Foreign Policy, profesor Harvard, Stephen Walt, dan profesor University of Chicago, John Mearsheimer, memfokuskan perhatian pada lobi Israel yang kuat dan memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan luar negeri Amerika (lihatartikel BBC).Mereka merinci pengaruh yang lobi ini telah diberikan, membentuk serangkaian kebijakan internasional yang dapat dilihat sebagai suatu kebijakan yang bertentangan langsung dengan kepentingan dan keamanan rakyat Amerika.Tindakan dan kebijakan ini lebih sering dilakukan oleh orang yang ditunjuk pemerintah AS yang memegang posisi kuat dan berkewarganegaraan ganda Amerika-Israel.Karena kebijakan yang mereka dukung sering secara eksklusif menguntungkan Israel, dan sering merugikan Amerika, oleh karena itu sering dianggap berpendapat bahwa kesetiaan mereka salah arah. A few classic examples can be cited here.
Sebuah contoh klasik beberapa dapat dikutip di sini. Jonathan Jay Pollard was an American-Israeli citizen who worked for the US government. He is well known because he stole more secrets from the U.S. than has any other spy in American history. During his interrogation Pollard said he felt compelled to put the “interests of my state” ahead of his own. Although as a U.S. Navy counter-intelligence specialist he had a top-secret security clearance, by “my state” he meant the state of Israel.
Jonathan Jay Pollard adalah seorang berkewarganegaraan ganda Amerika-Israel yang bekerja untuk pemerintah AS.Ia terkenal karena ia mencuri rahasia dari AS lebih banyak daripada mata-mata lain dalam sejarah Amerika.Selama diinterogasi, Pollard mengatakan ia merasa terdorong untuk menempatkan “kepentingan negara saya” di depan kepentingannya sendiri.Meskipun sebagai spesialis kontra-intelijen Angkatan Laut AS ia memiliki rahasia clearance keamanan tingkat atas, padahal yang dia maksud “negara saya” adalah negara Israel. Literally tens of thousands of Americans holding U.S. passports admit they feel a primary allegiance to the state of Israel. In many instances, these Americans vote in Israeli elections, wear Israeli uniforms and fight in Israeli wars. Many are actively engaged both in the confiscation of Palestinian lands and in the Israeli political system. Three examples come to mind:
Secara harfiah ada puluhan ribu orang Amerika yang memegang paspor AS mengakui bahwa mereka merasakan kesetiaan utama mereka pada negara Israel.Dalam banyak kasus, orang-orang Amerika itu ikut memilih dalam pemilihan umum Israel, mengenakan pakaian seragam dan ikut berperang atas nama Israel.Banyak yang secara aktif terlibat didalam perampasan tanah Palestina dan didalam sistem politik Israel.Tiga contoh yang datang ke pikiran saya adalah: One isRabbi Meir Kahane, who founded the militant Jewish Defense League in the U.S. in the 1960s, then emigrated to Israel where, eventually, he was elected to the Knesset. Until he was shot and killed at one of his U.S. fund-raising rallies in 1990, the Brooklyn-born rabbi shuttled between Tel Aviv and New York, where he recruited militant American Jews for his activities in Israel against Palestinians. He claimed to be a “dual citizen” of America and Israel.