Mohon tunggu...
Bung Adi Siregar
Bung Adi Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - BAS

Founder BAS Pustaka Copywriter Independen Pecinta Film Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Gincu

4 Mei 2020   10:35 Diperbarui: 4 Mei 2020   10:34 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pemuda yang memiliki ghiroh keislaman itu, marah bukan main kepada Mohammad Hatta. Mereka menuding dalang intelektual  dibalik dihapusnya Piagam Jakarta adalah Bung Hatta. Diamnya Bung Hatta dituding sebagai bentuk persetujuan penghapusan Piagam Jakarta.

Sehari setelah Indonesia merdeka, panitia 9 BPUPKI memutuskan menghilangkan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," dari konstitusi.

Terkesan tiba-tiba. Penghapusan tersebut dilakukan sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ini sangat mengecewakan kelompok Islam. Bagi kelompok Islam salah satu tujuan perjuangan kemerdekaan untuk menegakkan nilai-nilai keislaman.

Stempel skuler pun disematkan pada sosok Bung Hatta. Para pemuda Islam yang merasa kecewa dihapusnya Piagam Jakarta itu mendatangi Bung Hatta. Mereka protes atas sikap Bung Hatta yang membiarkan hilangnya Piagam Jakarta dari dasar negara.

Mereka membandingkan Mohammad Hatta dengan Mohammad Natsir yang begitu teguh bersuara memperjuangkan Piagam Jakarta pada konstitusi Republik Indonesia.

Dengan gaya khas Bung Hatta, tenang tanpa ekspresi emosi, menjawab tudingan pemuda Islam itu. Begini Bung Hatta menjawab tudingan kelompok pemuda Islam itu; "Perbedaan saya dengan Natsir ibarat segelas air di depan saya ini, yang tampaknya begitu bening dan transparan. 

Nah, cobalah masukkan setetes gincu dan aduk, warnanya jelas berubah namun rasanya tidak berubah. Tetapi, coba masukkan setengah sendok garam dan kemudian aduk, warnanya tidak akan berubah namun rasanya berubah. 

Natsir menganggap Islam seperti gincu, sementara saya menganggap Islam seperti garam. Tanamkan Islam di dalam hati pemuda-pemuda dan mereka akan membereskan seluruh negeri ini. Pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa. Janganlah pakai filsafat gincu, tampak tapi tak terasa."

Dari awal pendirian republik ini, wacana formalisme Islam sudah menguat. Dan hingga sekarang masih ada kelompok Islam yang meyakini jika formalisme Islam maka segala persoalan rakyat akan terselesaikan. Hingga akhirnya fokus pada perjuangan simbol-simbol. Sementara yang substansi nilai-nilai Islam terlupakan.

Bagi Mohammad Hatta dengan menjalankan inti ajaran Islam sudah bagian dari menegakkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berlaku adil dan memperjuangkan kebenaran jauh lebih penting ketimbang sibuk memperjuangkan simbol-simbol keagamaan masuk dalam konstitusi.

Saat ummat Islam menunaikan zakat maka sudah menjalankan konstitusi sekaligus. Dan begitu sebaliknya. Artinya nilai-nilai Islam sudah termaktub dalam konstitusi. "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara." Pasal 34  Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sementara dalam bahasa Al Quran, Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.

Kata Bung Hatta dalam peringatan 25 tahun Indonesia Merdeka di Universitas Syiah Kuala mengatakan zakat ummat Islam bisa dikelola menjadi modal produktif. Tujuannya untuk membekali fakir miskin dalam berusaha. Rukun Islam yang keempat, menunaikan Zakat, terpatri dalam konstitusi Indonesia pasal 34 ayat 1. Apa kurang syariahnya konstitusi Indonesia? Yang kurang justru penegakan konstitusi.

Akhir-akhir ini, saya teringat dengan istilah Bung Hatta, Islam gincu. Kala menemui sekelompok ummat Islam yang masih bersikeras untuk melaksanakan sholat sunnah tarwih berjamaah di Masjid ditengah meluasnya penyebaran Covid-19. Meski sudah keluar fatwa MUI agar ibadah di rumah selama wabah covid-19. Hal tersebut tak bisa mengubah pendirian mereka.

Malah sibuk mempertahankan sikapnya untuk tetap menjalankan sholat tarwih ditengah wabah covid-19. Sementara tetangganya yang kesulitan makan saat wabah ini didiamkan saja. Padahal, membantu orang yang kesulitan makan hukumnya wajib.

 Inikah salah satu penampakan Islam Gincu yang dijelaskan Bung Hatta? Entahlah, yang jelas Kanjeng Rasul bersabda; "Dari Zaid bin Tsabit, dari Rasulullah SAW bersabda, 'Shalat yang paling utama adalah di rumah kalian kecuali shalat maktubah (shalat fardhu),'" (HR Bukhari dan Tirmidzi). Dan tarwih itu sholat sunnah. (BAS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun