Penuh bangga, jiran saya itu membagikan sebuah artikel berbahasa Arab. Bisa saya pastikan di WhatsApp group itu tak seorang pun mampu membacanya apalagi mengerti isi artikel aksara Arab gundul itu. Tulisan Arab tanpa tanda baca makin menyulitkan saya dan anggota WhatsApp group RT tersebut.
Untung dia memberi sedikit keterangan dalam lampiran link website tersebut. Keterangan yang menyertai link web tersebut, "Beruntunglah orang yang merokok, perokok bebas dari virus covid 19. Tembakau obat untuk corona".
Seketika, ingin kubantah unggahan tetangga itu. Urunglah niat untuk meluruskan informasi hoax tersebut. Tak enak hati mematahkan orang yang lagi bersemangat membagi informasi. Apalagi si abang ini perokok berat. Tentu  juga untuk menjaga kondusifitas group tak usahlah saya membantahnya. Dengan harapan ada orang yang meluruskan informasi tersebut.
Aku yakin betul infromasi tersebut hoax karena di group berbeda sudah ada yang sebar hal serupa. Namun langsung ada yang membatah. Lengkap dengan menyertakan artikel tersebut termasuk dalam list hoax seputar virus corona.
Untungnya tak ada yang merespon postif. Cuma, saya khawatir ada yang percaya. Makan mentah-mentah informasi tersebut. Soalnya info tersebut disertakan lengkap dengan link webite berbahasa Arab. Tau sendiri kalo sebagian masyarakat kita jika ada tulisan Arab, sudah di judge benar. Layak dipercaya. Padahal, isinya entahlah.
Di saat-saat seperti ini, orang begitu mudah termakan desas-desus. Setiap ada yang sharing informasi tentang obat virus covid 19, masyarakat langsung bergerak cepat. Berburu barang yang konon obat virus covid 19 tersebut.
Tentu masih ingat, waktu kali pertama Kementerian Kesehatan merilis kasus virus covid 19 di Indonesia disaat bersamaan ada informasi yang tersebar jika virus asal Wuhan itu bisa sembuh dengan  mengkonsumsi jahe merah. Tanpa komando, masyarakat memborong jahe merah di pasaran. Bukan harganya saja yang naik namun jahe merah sempat hilang di pasaran.
Ditengah kepanikan global seperti ini berita dan informasi hoax tumbuh subur. Kepanikan pupuk daripada informasi hoax.  Berdasarkan informasi dari Polda Metro Jaya, sejak corona tiba di tanah air, jumlah berita hoax naik signifikan. Sementara dari  keterangan Kementerian Komunikasi dan Informatika per 12 Maret 2020, jumlah hoax seputar virus covid 19 mencapai 196 hoax.
Hoax seputar virus covid 19 ini beragam jenis. Mulai dari konten terkait virus tersebut. Konten yang memuat kekeliruan dan tak berdasarkan ilmu medis. Yang lebih berbahaya, hoax yang mengandung unsur SARA. Menyulut kebencian pada kelompok dan etnis tertentu.
Yang membuat hati meringis penyebaran hoax ini tak kenal tingkat pendidikan. Kelompok yang menurutku well aducated justru rajin menyebar hoax. Harusnya kelompok ini jadi benteng dalam menjaga dan meluruskan informasi hoax ditengah pandemi seperti saat ini.
Harusnya masyarakat kita lebih bijak dan kritis dalam memilah informasi. Bukan baru kemaren kita menggunakan media sosial. Atau memang masyarkat kita sedang puber dalam bermedia sosial.
Saya menduga karena faktor budaya ketimuran yang menjadi penyebab masyarkat kita begitu mudah menyebar konten hoax. Perilaku  kedermawanan. Suka berbagi pada sesama. Budaya timur yang patut kita banggakan hingga hari ini. Nah, barangkali menyebar informasi itu bagian dari kedermawanan masyarkat kita. Sekalipun itu informasi hoax. Motifnya biar saudara dan temanku tahu.
Dugaan yang agak sinis, jangan-jangan karena masyarakat kita senang mendapat pengakuan orang lain. Pengen dipuji paling up to date. Â Paling luas informasinya.
Terlepas apa motif penyebaran informasi hoax ini. Ada persoalan mendasar ditengah masyarakat kita dalam menggunakan media sosial. Yang sebelumnya satu arah dalam komunikasi publik.Â
Sekarang akses informasi terbuka luas. Setiap orang bukan hanya sekadar konsumen informasi namun juga produsen. Budaya media masyarakat belum sempat menjejaki di tangga melek media, tiba-tiba masyarakat kita memasuki revolusi informasi. Pondasi masih rapuh. Akhirnya, banyak kita temui, gagap media sosial. Salah satu bentuk gagap media sosial tersebut, suka menyebar informasi hoax.
Satu-satunya obat gagap media sosial, literasi media. Dengan era keterbukaan informasi seperti sekarang dan dukungan kemajuan teknologi informasi maka literasi media adalah pengetahuan yang wajib dimiliki. Jika kita tidak memiliki pengetahuan literasi media maka siap-siaplah korban hoax-hoax berikutnya.
Literasi media melingkupi, pertama, akses. Kita memiliki kemampuan melakukan akses terhadap informasi. Saya kira dalam  negara demokrasi dan dukungan teknologi informasi soal akses ini tidak begitu masalah bagi kita. Paling masalah ketersediaan quota internet saja he..he...
Kedua, kemampuan analitik. Setiap hari kita mendapat banyak informasi. Bahkan informasi yang tidak kita butuhkan pun masuk ke ruang privasi kita. Negara demokrasi seperti Indonesia surplus informasi. Dalam banyak riset, surplus informasi bisa merusak mental. Paling sederhana, surplus informasi bisa menyebabkan manusia modern sering gagal fokus.
Nah, kemampuan analitik bisa memilah informasi. Mana informasi yang kita butuhkan. Tidak semua informasi harus kita konsumsi. Pada tingkat yang lebih tinggi, kemampuan analitik ini bisa membaca motif ekonomi, politik, budaya atau latar belakang dari sebuah informasi.
Ketiga, kemampuan evaluasi dan koreksi. Era pasar bebas informasi  wajib hukumnya melakukan koreksi dan evaluasi setiap informasi yang kita terima. Kita harus memiliki filter informasi. Untuk itu setiap informasi yang kita peroleh harus melalui verifikasi. Jangan sekali-kali mengkonsumsi informasi sebelum melakukan verifikasi terlebih dahulu.
Agar kita tidak menjadi pecundang di era surpulus informasi ini maka wajib hukumnya memiliki pengetahuan literasi media. Jangan sampai teknologi informasi maju pesat namun kita hanya mendapat ampasnya. Saya justru khawatir hal ini yang terjadi pada masyarakat kita.
Akhirnya, pada teman-temanku yang masih suka asal sebar informasi. Terlebih informasi itu hoax. Nasehat futurolog Alvin Toffler masih relevan untuk kita renungkan, "The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." (BAS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H