Mohon tunggu...
Bung Adi Siregar
Bung Adi Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - BAS

Founder BAS Pustaka Copywriter Independen Pecinta Film Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Corona dan Literasi Media

21 April 2020   11:12 Diperbarui: 21 April 2020   11:25 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya menduga karena faktor budaya ketimuran yang menjadi penyebab masyarkat kita begitu mudah menyebar konten hoax. Perilaku  kedermawanan. Suka berbagi pada sesama. Budaya timur yang patut kita banggakan hingga hari ini. Nah, barangkali menyebar informasi itu bagian dari kedermawanan masyarkat kita. Sekalipun itu informasi hoax. Motifnya biar saudara dan temanku tahu.

Dugaan yang agak sinis, jangan-jangan karena masyarakat kita senang mendapat pengakuan orang lain. Pengen dipuji paling up to date.  Paling luas informasinya.

Terlepas apa motif penyebaran informasi hoax ini. Ada persoalan mendasar ditengah masyarakat kita dalam menggunakan media sosial. Yang sebelumnya satu arah dalam komunikasi publik. 

Sekarang akses informasi terbuka luas. Setiap orang bukan hanya sekadar konsumen informasi namun juga produsen. Budaya media masyarakat belum sempat menjejaki di tangga melek media, tiba-tiba masyarakat kita memasuki revolusi informasi. Pondasi masih rapuh. Akhirnya, banyak kita temui, gagap media sosial. Salah satu bentuk gagap media sosial tersebut, suka menyebar informasi hoax.

Satu-satunya obat gagap media sosial, literasi media. Dengan era keterbukaan informasi seperti sekarang dan dukungan kemajuan teknologi informasi maka literasi media adalah pengetahuan yang wajib dimiliki. Jika kita tidak memiliki pengetahuan literasi media maka siap-siaplah korban hoax-hoax berikutnya.

Literasi media melingkupi, pertama, akses. Kita memiliki kemampuan melakukan akses terhadap informasi. Saya kira dalam  negara demokrasi dan dukungan teknologi informasi soal akses ini tidak begitu masalah bagi kita. Paling masalah ketersediaan quota internet saja he..he...

Kedua, kemampuan analitik. Setiap hari kita mendapat banyak informasi. Bahkan informasi yang tidak kita butuhkan pun masuk ke ruang privasi kita. Negara demokrasi seperti Indonesia surplus informasi. Dalam banyak riset, surplus informasi bisa merusak mental. Paling sederhana, surplus informasi bisa menyebabkan manusia modern sering gagal fokus.

Nah, kemampuan analitik bisa memilah informasi. Mana informasi yang kita butuhkan. Tidak semua informasi harus kita konsumsi. Pada tingkat yang lebih tinggi, kemampuan analitik ini bisa membaca motif ekonomi, politik, budaya atau latar belakang dari sebuah informasi.

Ketiga, kemampuan evaluasi dan koreksi. Era pasar bebas informasi  wajib hukumnya melakukan koreksi dan evaluasi setiap informasi yang kita terima. Kita harus memiliki filter informasi. Untuk itu setiap informasi yang kita peroleh harus melalui verifikasi. Jangan sekali-kali mengkonsumsi informasi sebelum melakukan verifikasi terlebih dahulu.

Agar kita tidak menjadi pecundang di era surpulus informasi ini maka wajib hukumnya memiliki pengetahuan literasi media. Jangan sampai teknologi informasi maju pesat namun kita hanya mendapat ampasnya. Saya justru khawatir hal ini yang terjadi pada masyarakat kita.

Akhirnya, pada teman-temanku yang masih suka asal sebar informasi. Terlebih informasi itu hoax. Nasehat futurolog Alvin Toffler masih relevan untuk kita renungkan, "The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." (BAS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun