Mohon tunggu...
Muhammad Suryadi R
Muhammad Suryadi R Mohon Tunggu... Lainnya - Founder Lingkar Studi Aktivis Filsafat (LSAF) An-Nahdliyyah

Tall Less Write More

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

New Normal dan Kebebalan Kita

11 Juni 2020   01:30 Diperbarui: 11 Juni 2020   01:27 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Coronavirus Disease atau Covid-19 di Indonesia tengah memasuki fase transisi. Setelah menjalani masa PSBB, Indonesia akan memasuki era New Normal. Provinsi DKI Jakarta menjadi Provinsi pertama akan menerapkan New Normal. 

Sepertinya Surabaya akan finish di urutan kedua dalam hal pemberlakuan New Normal. New Normal menjadi kebijakan populis hampir di seluruh belahan dunia. Tak ketinggalan, pemerintah kita turut serta dan telah menyiapkan segala prasyarat untuk menyongsong masa Normal Baru atau New Normal.

Pendisplinan protokol kesehatan akan dijaga ketat. TNI-Polri akan terjun bebas mengawasi pemberlakuan New Normal di semua tempat. Memakai masker, jaga jarak dan rajin mencuci tangan akan menjadi tren baru. 

Tempat cuci tangan akan sering dijumpai di berbagai tempat. Mencuci tangan akan berubah menjadi rutinitas masyarakat kita. Kebiasaan ini akan menjadi beken. Lamat-lamat akan menjadi pemandangan yang lumrah di kalangan kita.

Lantas, apakah dengan gerakan 3 langkah di atas pandemi segera musnah ? Tentu tidak. Barangkali netizen sepakat dengan hal ini. Justru sebaliknya. Kluster-kluster baru justru akan bermunculan. Terlebih, Indonesia telah menduduki posisi yang tidak membanggakan terkait kasus Covid-19. 

Negara kita menjadi salah satu negara terbesar yang paling terdampak wabah ini sejak terinfeksi 2 Maret silam. Sejak masa lockdown hingga pelonggaran PSBB, angka tertular positif Covid-19 semakin menanjak. Data positif Corona yang dikumpulkan gugus tugas penanganan Covid-19 menyentuh hingga ratusan kasus perhari.

Berbagai faktor menjadi sebab. Menurut penulis, salah satu faktor essensialnya terletak pada semakin menguatnya watak kebebalan masyarakat kita. Alasan yang terdengar remeh-temeh dan seringkali dipinggirkan. Mengingat, penyebaran virus SARS-CoV-2 (nama lain Covid-19) ini sangat cepat. Ia (SARS-CoV-2) terbang melayang-layang di udara melintasi batas geografis. 

Sehingga sangat mudah hinggap di tubuh manusia. Kontak fisik sedetik saja akan menyebabkan manusia terjangkit level ringan; PDP. Bahkan yang paling tak terprediksi sama sekali adalah level OTG.

Bukan tanpa alasan Negara kita saat ini bertengger di urutan terbilang tinggi terkait kasus positif Covid-19. Watak bebal masyarakat kita (meski tidak seluruhnya) sering berada di barisan paling depan. Egosime masyarakat kita meronta sangat kuat melampaui pagar besi kolektivisme. 

Himbauan wara-wiri hampir di semua tempat berpengeras suara kerap berujung protes. Penertiban oleh aparat penegak hukum yang acapkali berseliweran di tiap tempat keramaian kadang berakhir ricuh. Tagar dirumahaja, jagajarak dan seterusnya hanya jadi pajangan media sosial tanpa tindakan dan kesadaran sosial.

Maka benar saja, bangsa kita terkesan keropos menghadapi pandemi. Virus mengerikan ini mendapatkan banyak inangnya. Keleluasannya menjangkiti manusia Indonesia semakin terkondisikan dengan realitas masyarakat kita yang terlihat enjoy berdampingan dengan watak bebalnya. 

Akhir-akhir ini, kehidupan masyarakat kita terlihat biasa-biasa saja seperti menganggap Indonesia telah bebas dari virus. Kehidupan terasa kembali normal sebelum normal baru diberlakukan.

Di balik itu, tentu masyarakat kita tak bisa disalahkan secara total. Bahwa watak kebebalan akan selalu ada hingga kiamat dunia tiba. Kebijakan pemerintah mesti tepat sasaran. Ini juga tentu essensial. 

Pemerintah tak perlu banyak gimik yang membingungkan masyarakat, yang dibutuhkan adalah kesigapan dan transparansi-konsistensi pemerintah dari pusat sampai ke daerah dalam menumpas kejahatan dari virus tersebut.

Dalih paling rasional dari tindakan bebal masyarakat kita saat ini tentu adalah ekonomi dan keberlangsungan hidupnya. Di lain sisi, ancaman kesehatan hingga kematian selalu membayangi. Faktor demikian tak terbantahkan. Memang ironis. 

Virus ini tidak hanya membawa krisis tapi juga dilematis. Alasan ini pula yang melatarbelakangi New Normal akan diterapkan. New Normal dipercaya dapat menjaga stabilitas ekonomi sekaligus menyelamatkan nyawa banyak orang dengan catatan masyarakat kita mengindahkan protokol kesehatan yang berlaku.

Meminimalisir ataupun menghindari virus di tengah New Normal kuncinya adalah kesadaran diri. Kesadaran diri adalah oposisi terhadap kebebalan diri. Faktor kesadaran diri di tengah pandemi menjadi sangat krusial. Sebab, kesadaran diri akan membawa kita pada pengarusutamaan keselamatan diri dan secara otomatis akan berdampak langsung pada keselamatan orang lain. 

Michael Foucault dalam bukunya Teknologi-Teknologi Diri mengistilahkan kesalamatan diri dengan epimelesthai sauthou. Foucault menjelaskan epimelesthai sautou sebagai nasihat untuk merawat diri bagi orang Yunani saat itu dalam mengelola kota dan merupakan salah satu aturan utama bagi perilaku sosial dan pribadi.

Dalam konteks pandemi, menanam kesadaran diri saat ini dan di masa mendatang akan menuai hasil berupa insting yang membantu menghindarkan diri dari penularan virus. Ia (kesadaran diri) tak kalah hebatnya dengan vaksin. 

Jika vaksin menyelamatkan diri dari virus secara biologis, maka kesadaran diri menghindarkan diri dari virus dengan membangun kekuatan diri secara psikologis. Sehingga, peran kesadaran diri ini akan sangat berguna.

Sebab, himbauan dan aturan protokol kesehatan---menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan---hanya dapat terlaksana apabila kesadaran diri tertanam dalam diri setiap masyarakat kita.

Sembari menunggu vaksin, tindakan yang paling nyata menghadapi New Normal adalah bersedia membuang jauh-jauh egosime masing-masing kita dan bekerja bersama menjaga diri dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. 

Kita harus percaya wabah pandemi akan segera berlalu. Kita mesti respect dan trust terhadap otoritas yang berwenang menangani Covid-19 ini. Kehidupan akan segera kembali normal tanpa embel-embel New Normal apabila kita mengubur dalam-dalam watak kebebalan kita.

Saya berpandangan bahwa tagar dirumahaja, jagajarak, jagadiri bukan hanya isapan jempol belaka. Tetapi merupakan hasil ijtihad yang digagas para tokoh lintas agama seluruh Nusantara berkolaborasi dengan pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19. 

Sehingga dengan mengkampanyekannya senilai dengan mengucap sumpah setia sebagai warga negara yang baik dan taat dan menjalankannya sama dengan menjalankan perintah agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun