Mohon tunggu...
BUNGA DEA RANIA RIZKI
BUNGA DEA RANIA RIZKI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010147

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB | Dosen Pengampu: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak | Universitas Mercu Buana Jakarta | Prodi S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

20 November 2024   17:17 Diperbarui: 20 November 2024   17:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modul Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Modul Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Modul Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Apa Konsep Penyebab Korupsi Menurut Robert Klitgaard dan Jack Bologna?

Korupsi merupakan fenomena yang merusak integritas suatu negara dan menjadi masalah serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Masalah ini tidak hanya menghambat pembangunan, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem hukum. Robert Klitgaard, dalam bukunya Controlling Corruption (1988), memberikan pemahaman yang sangat berguna untuk menganalisis dan menangani korupsi melalui teori CDMA, yang terdiri dari Corruption (korupsi), Dictionary (kerangka konseptual), Monopoly (monopoli kekuasaan), dan Accountability (akuntabilitas). Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena interaksi dari tiga elemen utama: monopoli kekuasaan, rendahnya akuntabilitas, dan insentif yang rendah. Monopoli kekuasaan berarti seseorang atau kelompok tertentu memiliki kontrol berlebihan terhadap suatu keputusan penting, seperti pengelolaan anggaran negara atau proyek pembangunan, tanpa adanya pengawasan yang memadai. Kondisi ini membuka ruang besar bagi praktik-praktik korupsi, seperti penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi.

Selain itu, Klitgaard menyoroti pentingnya akuntabilitas, yakni kemampuan untuk mengawasi dan mengevaluasi tindakan individu dalam sistem pemerintahan. Ketika akuntabilitas rendah atau bahkan tidak ada sama sekali, peluang pejabat atau pengusaha untuk bertindak tanpa rasa takut terhadap konsekuensi menjadi semakin besar. Ditambah lagi, rendahnya insentif atau gaji yang tidak memadai mendorong individu mencari sumber pendapatan tambahan melalui cara-cara ilegal, seperti suap atau gratifikasi, untuk menutupi kekurangan penghasilan. Ketiga elemen ini---monopoli kekuasaan, rendahnya akuntabilitas, dan insentif yang rendah---menyuburkan kondisi yang mendorong terjadinya korupsi.

Sementara itu, pendekatan Jack Bologna melalui teori GONE menyoroti faktor motivasi pribadi dan situasional yang mendorong korupsi. Teori ini terdiri dari empat elemen: Greed (keserakahan), Opportunity (peluang), Need (kebutuhan), dan Exposure (paparan). Keserakahan mendorong seseorang untuk terus mengejar keuntungan tanpa batas, sementara peluang tercipta dari lemahnya sistem pengawasan atau regulasi yang memungkinkan terjadinya korupsi. Di sisi lain, kebutuhan finansial atau tekanan hidup sering menjadi alasan seseorang melakukan korupsi, terutama dalam situasi di mana individu merasa penghasilannya tidak mencukupi. Paparan terhadap lingkungan yang korup turut membentuk pola perilaku yang sama, terutama jika budaya korupsi dianggap sebagai norma dalam masyarakat atau institusi tertentu. Bologna juga menekankan bahwa meskipun seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, keputusan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moral, norma sosial, serta persepsi individu terhadap tindakan korupsi.

Pendekatan Klitgaard dan Bologna sangat relevan untuk memahami dinamika korupsi di Indonesia. Banyak kasus korupsi di negara ini dipicu oleh monopoli kekuasaan dan lemahnya akuntabilitas, di mana pejabat yang memiliki kontrol atas anggaran publik sering kali tidak diawasi dengan ketat. Lemahnya sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, sering kali disebabkan oleh kurangnya independensi lembaga-lembaga pengawasan atau keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Dalam banyak kasus, individu dengan akses terhadap kekuasaan merasa tidak perlu takut akan konsekuensi hukum, karena sistem hukum yang lemah atau mudah dipengaruhi jaringan politik.

Selain itu, norma sosial yang menerima korupsi sebagai hal yang biasa turut memperburuk masalah ini. Dalam beberapa kalangan, korupsi bahkan dianggap sebagai "biaya" yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu dalam dunia politik dan bisnis. Budaya patronase, di mana hubungan antarindividu sering kali dibangun melalui pemberian uang atau fasilitas, menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Praktik ini memunculkan budaya ketidakjujuran dan ketidaktransparanan, yang semakin memperparah masalah korupsi di Indonesia. Norma sosial yang mentoleransi korupsi menjadi faktor yang memperbesar ruang bagi praktik ini berkembang lebih jauh, karena banyak pihak merasa bahwa mereka tidak dapat bertahan dalam bisnis atau politik tanpa mengikuti pola tersebut.

Dengan demikian, korupsi di Indonesia tidak hanya menjadi masalah struktural yang melibatkan monopoli kekuasaan, lemahnya akuntabilitas, dan rendahnya insentif, tetapi juga masalah moral dan budaya yang dipengaruhi oleh norma sosial, etika pribadi, dan harapan publik. Reformasi sistemik yang memperkuat regulasi, meningkatkan akuntabilitas, serta membangun budaya yang menolak korupsi merupakan langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih transparan, adil, dan bebas dari korupsi.

Mengapa Kasus Korupsi Terus Terjadi di Indonesia?

Kasus-kasus korupsi yang terus berkembang di Indonesia dapat dijelaskan dengan melihat beberapa faktor yang mendalam. Salah satu faktor utama adalah struktur birokrasi yang rumit dan tidak transparan, yang menciptakan peluang besar bagi individu untuk menyalahgunakan posisi mereka demi keuntungan pribadi. Korupsi menjadi semacam "jalan pintas" untuk mengatasi kesulitan hidup atau mencapai tujuan pribadi, terutama ketika sistem pengawasan tidak berfungsi dengan baik. Faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam terjadinya korupsi. Gaji yang rendah dan ketimpangan ekonomi yang sangat besar antara pejabat pemerintah dan masyarakat luas sering kali menjadi alasan utama mengapa pejabat merasa terpaksa untuk menerima suap atau melakukan tindakan korupsi.

Selain itu, budaya patronase yang berkembang di Indonesia juga berkontribusi terhadap tingginya angka korupsi. Dalam banyak kasus, pengusaha atau individu dengan kekuasaan politik membangun jaringan yang memperkuat budaya saling membantu melalui transaksi yang melibatkan uang atau fasilitas ilegal. Hal ini membuat praktik korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga didorong oleh struktur sosial dan politik yang ada di masyarakat. Ketidakpastian hukum dan ketidakmampuan sistem hukum untuk secara tegas mengadili pelaku korupsi juga berperan besar dalam memperburuk masalah ini. Banyak individu yang terlibat dalam praktik korupsi merasa tidak ada konsekuensi yang nyata bagi tindakan mereka, mengingat sistem hukum yang lamban dan seringkali tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Korupsi juga kerap kali dianggap sebagai bagian dari "budaya kerja" di lingkungan pemerintahan dan bisnis, di mana setiap orang yang terlibat dalam proses birokrasi atau proyek besar merasa bahwa menerima gratifikasi atau suap adalah hal yang wajar. Pada banyak kesempatan, norma ini diperkuat oleh keyakinan bahwa "semua orang juga melakukannya" dan bahwa tidak ada cara untuk menghindari korupsi dalam sistem yang ada. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, karena para pejabat dan masyarakat sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka.

Korupsi juga kerap kali dianggap sebagai bagian dari "budaya kerja" di lingkungan pemerintahan dan bisnis, di mana setiap orang yang terlibat dalam proses birokrasi atau proyek besar merasa bahwa menerima gratifikasi atau suap adalah hal yang wajar. Pada banyak kesempatan, norma ini diperkuat oleh keyakinan bahwa "semua orang juga melakukannya" dan bahwa tidak ada cara untuk menghindari korupsi dalam sistem yang ada. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, karena para pejabat dan masyarakat sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Dalam lingkungan seperti ini, korupsi menjadi terinternalisasi sebagai bagian dari cara beroperasi dalam sistem yang ada, bukan sebagai pelanggaran hukum atau etika. Oleh karena itu, individu yang terlibat dalam praktik korupsi sering kali tidak merasa tertekan oleh rasa bersalah, karena mereka melihat perilaku tersebut sebagai hal yang tidak terhindarkan atau bahkan bagian dari budaya organisasi mereka.

Lebih jauh lagi, persepsi bahwa korupsi adalah "hal yang biasa" membuat banyak orang merasa bahwa mereka tidak akan berhasil atau memperoleh akses yang mereka butuhkan tanpa melakukan suap atau gratifikasi. Hal ini memperburuk ketimpangan yang ada dalam masyarakat dan menciptakan ketidakadilan yang semakin mendalam, karena hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau kedekatan dengan pejabat tertentu yang bisa menikmati keuntungan dari sistem tersebut. Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan pemerintah karena mereka merasa bahwa setiap usaha untuk melawan atau melaporkan tindakan korupsi akan sia-sia, mengingat banyaknya individu yang terlibat dan minimnya penegakan hukum yang tegas. Dengan demikian, ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan sistem hukum semakin menguat, memperparah ketidakadilan sosial.

Lingkaran setan ini semakin sulit diputus karena adanya ketidakberdayaan individu yang terlibat di dalamnya. Banyak pihak yang merasa bahwa mereka hanya mengikuti pola yang ada, bukan sebagai aktor yang mengambil keputusan secara sadar untuk melakukan tindakan ilegal. Korupsi yang terjadi dalam lingkungan pemerintahan atau bisnis sering kali melibatkan banyak orang, dengan setiap pihak merasa bahwa mereka hanya "bermain" dalam sistem yang sudah ada. Jika seorang pejabat menerima gratifikasi atau suap sebagai hal yang wajar, maka mereka akan melibatkan pihak lain, seperti pengusaha atau birokrat, yang kemudian memperkuat sistem tersebut. Sering kali, individu yang terlibat dalam praktik-praktik ini tidak melihat adanya pilihan lain, karena mereka merasa bahwa jika mereka tidak mengikuti pola tersebut, mereka akan kalah dalam persaingan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Kondisi inilah yang membuat budaya korupsi semakin mengakar dan sulit untuk diberantas, karena tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang berada di posisi tinggi, tetapi juga banyak pihak di level yang lebih rendah yang merasa terpaksa ikut terlibat.

Bagaimana Penerapan Pendekatan Klitgaard dan Bologna dalam Kasus Korupsi di Indonesia?

Untuk memahami bagaimana pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dapat diterapkan pada kasus-kasus korupsi yang telah terjadi di Indonesia, kita akan melihat dua contoh kasus besar yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua kasus ini menggambarkan secara jelas bagaimana elemen-elemen yang dijelaskan oleh Klitgaard dan Bologna berperan dalam menciptakan lingkungan yang memfasilitasi korupsi.

Kasus 1: Kasus Korupsi Muhammad Nazaruddin

Salah satu contoh kasus besar yang melibatkan korupsi di Indonesia adalah kasus mantan anggota DPR, Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin terlibat dalam serangkaian praktik korupsi yang mencakup suap dan penyalahgunaan proyek-proyek infrastruktur besar yang dikelola oleh pemerintah. Kasus ini mencuat pada tahun 2012, ketika Nazaruddin terungkap terlibat dalam pengaturan proyek-proyek besar dengan cara yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang ia kontrol atau yang dimiliki oleh orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, kita dapat melihat penerapan tiga elemen utama yang diungkapkan oleh Klitgaard.

Pertama, monopoli kekuasaan. Nazaruddin memiliki kontrol besar dalam distribusi proyek-proyek pemerintah. Ia menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui perusahaan-perusahaan yang ia miliki. Dengan mengontrol alokasi proyek, ia bisa memanipulasi tender dan meminta suap dari perusahaan-perusahaan yang memenangkan kontrak. Hal ini sangat sejalan dengan pemahaman Klitgaard bahwa korupsi sering kali muncul ketika seseorang memiliki terlalu banyak kekuasaan dan bisa mengatur keputusan penting tanpa pengawasan.

Kedua, rendahnya akuntabilitas. Selama masa jabatannya, Nazaruddin berhasil menghindari pengawasan yang memadai dari lembaga terkait. Banyak pihak yang terlibat dalam skema ini, namun tidak ada yang menyadari atau cukup memperhatikan aliran uang yang keluar masuk dalam proyek tersebut. Lembaga pengawasan dan audit yang ada tidak cukup kuat untuk mendeteksi dan menghentikan praktik-praktik korupsi ini. Model Klitgaard yang menunjukkan bahwa sistem yang lemah dalam hal akuntabilitas memberi peluang bagi korupsi untuk berkembang dengan bebas sangat relevan dalam kasus ini.

Ketiga, insentif yang rendah. Sebagian besar pejabat publik yang terlibat dalam skema ini memiliki penghasilan tetap yang jauh dari cukup untuk memenuhi gaya hidup mereka. Gaji yang rendah dibandingkan dengan potensi uang yang berputar di sektor-sektor proyek besar membuat mereka merasa terdorong untuk mencari pendapatan tambahan, yang sering kali datang dalam bentuk suap dan gratifikasi.

Selain itu, dari perspektif Jack Bologna, kita dapat melihat bahwa motivasi pribadi Nazaruddin dan individu lain yang terlibat sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan harapan pribadi untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan dan status. Dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bertindak tanpa rasa takut, tindakan korupsi menjadi tidak hanya mungkin, tetapi sering dianggap sebagai cara yang sah untuk memperoleh kekayaan.

Kasus 2: Kasus Korupsi e-KTP

Kasus korupsi besar lainnya yang mengguncang Indonesia adalah skandal e-KTP, yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk Setya Novanto, mantan Ketua DPR. Proyek e-KTP adalah program nasional yang bertujuan untuk mempermudah administrasi kependudukan melalui penerbitan kartu tanda penduduk elektronik. Namun, proyek ini kemudian terungkap sebagai ladang korupsi yang melibatkan penggelapan dana yang sangat besar.

Kasus ini menggambarkan dengan jelas penerapan elemen-elemen yang diungkapkan oleh Klitgaard dan Bologna. Monopoli kekuasaan terlihat jelas dalam peran Setya Novanto, yang menggunakan posisi politiknya untuk mengatur alokasi anggaran proyek ini dan memanipulasi proses tender untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia memiliki kontrol penuh atas keputusan yang terkait dengan pelaksanaan proyek, yang memberi peluang baginya untuk mendapatkan uang suap dari perusahaan penyedia barang dan jasa.

Rendahnya akuntabilitas adalah masalah utama lainnya dalam proyek e-KTP ini. Proses pengadaan proyek yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak membuat pengawasan menjadi sangat sulit dilakukan. Terlebih lagi, para pejabat yang terlibat tidak mendapatkan pemeriksaan yang memadai, sementara sistem audit yang ada tidak dapat mendeteksi aliran dana yang mencurigakan. Dalam hal ini, penerapan teori Klitgaard mengenai lemahnya sistem akuntabilitas dalam memerangi korupsi sangat relevan.

Insentif yang rendah bagi para pejabat yang terlibat juga menjadi faktor pendorong. Gaji yang tidak sebanding dengan besar proyek dan kekayaan yang dapat dihasilkan melalui korupsi memotivasi mereka untuk mencari cara-cara ilegal untuk mengumpulkan kekayaan. Novanto dan rekan-rekannya merasa tidak ada yang salah dalam mengambil bagian dari dana proyek, terutama mengingat ketidakpastian hukum yang ada.

Selain itu, teori Bologna tentang motivasi pribadi juga terlihat dalam kasus ini. Para pelaku korupsi merasa bahwa mereka berhak mendapatkan bagian dari uang yang berputar dalam proyek ini, karena mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut telah menjadi bagian dari norma sosial di kalangan pejabat tinggi. Kesediaan untuk menerima suap dan melakukan pengaturan ilegal dalam proyek ini bukan hanya terkait dengan kebutuhan ekonomi, tetapi juga dengan pandangan sosial yang membenarkan tindakan tersebut.

Langkah-langkah Penanggulangan Korupsi dari Perspektif Klitgaard dan Bologna:

Berdasarkan penerapan teori-teori Klitgaard dan Bologna, kita dapat menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi tingkat korupsi di Indonesia. Langkah pertama yang sangat krusial adalah peningkatan pengawasan dan akuntabilitas dalam seluruh sistem pemerintahan dan sektor publik. Korupsi sering kali tumbuh subur dalam lingkungan yang minim pengawasan dan kontrol. Untuk itu, sistem pengawasan internal di setiap lembaga pemerintahan harus diperkuat agar lebih transparan dan efektif dalam mendeteksi serta menghentikan praktik-praktik korupsi. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk lembaga-lembaga pengawasan yang lebih independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan audit dan investigasi. Pengawasan eksternal juga tidak kalah penting, di mana masyarakat dan organisasi sipil dapat berperan dalam mengawasi kebijakan publik dan proyek-proyek besar. Sistem pengadaan barang dan jasa, yang sering kali menjadi celah bagi korupsi, harus diatur dengan lebih ketat dan dilengkapi dengan mekanisme audit yang transparan dan berkelanjutan. Selain itu, perlu adanya pembentukan sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses oleh publik, yang dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengungkapkan kasus-kasus korupsi tanpa takut akan pembalasan.

Langkah kedua yang sangat penting adalah peningkatan gaji dan insentif bagi pejabat publik. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya korupsi adalah rendahnya insentif yang diterima oleh pejabat publik, yang sering kali membuat mereka tergoda untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara ilegal. Oleh karena itu, untuk mengurangi godaan tersebut, penting untuk meningkatkan kesejahteraan para pejabat publik melalui peningkatan gaji yang sebanding dengan tanggung jawab dan jabatan yang mereka emban. Selain itu, sistem insentif yang tepat juga perlu diperkenalkan untuk mendorong para pejabat untuk bekerja dengan lebih baik dan mengutamakan kepentingan publik. Insentif ini bisa berupa penghargaan atau kenaikan pangkat bagi pejabat yang menunjukkan integritas tinggi dan berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Sebaliknya, pejabat yang terlibat dalam tindakan korupsi harus dikenakan sanksi yang tegas, termasuk pemecatan dan tuntutan hukum. Dengan demikian, pejabat publik akan merasa terdorong untuk menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab dan menjauhkan diri dari perilaku koruptif, karena mereka akan mendapatkan penghargaan atas kinerja yang baik dan menghadapi konsekuensi serius jika terbukti terlibat dalam korupsi.

Pendidikan etika dan penguatan norma sosial juga merupakan langkah ketiga yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang anti-korupsi. Salah satu akar penyebab korupsi adalah adanya pandangan yang keliru di kalangan pejabat publik maupun masyarakat yang menganggap bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kerja yang diterima dan bahkan diperlukan untuk kelancaran aktivitas birokrasi. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pendidikan etika di semua tingkat pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan fokus pada pembentukan karakter dan pemahaman mengenai integritas, tanggung jawab sosial, dan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Selain itu, pendidikan etika di kalangan pejabat publik juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang menekankan pada pentingnya pengabdian kepada negara dan masyarakat. Norma sosial yang membenarkan tindakan korupsi harus dilawan dengan membangun kesadaran bahwa korupsi merugikan negara, masyarakat, dan masa depan generasi mendatang. Media massa, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengedukasi publik mengenai bahaya korupsi dan membentuk norma sosial yang mengutuk praktik tersebut. Melalui pendidikan yang baik dan pembenahan nilai moral, masyarakat diharapkan dapat mengubah cara pandangnya terhadap korupsi dan memperkuat norma sosial yang menentang tindakan tersebut, sehingga tindakan korupsi menjadi sesuatu yang dianggap memalukan dan tidak dapat diterima di masyarakat.

Langkah keempat yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum yang lebih tegas dan tidak pandang bulu. Salah satu masalah utama dalam pemberantasan korupsi adalah lemahnya penegakan hukum yang tidak konsisten dan sering kali dipengaruhi oleh kekuasaan politik atau kepentingan pribadi. Untuk itu, diperlukan adanya sistem peradilan yang benar-benar independen dan tidak terpengaruh oleh kekuatan politik apapun. Proses peradilan terhadap kasus-kasus korupsi harus dilakukan dengan transparan dan objektif, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Untuk memberikan efek jera, hukum harus ditegakkan secara tegas dan konsisten, baik terhadap pejabat publik, pengusaha, maupun individu lain yang terlibat dalam korupsi. Hukuman yang berat dan tanpa kompromi terhadap pelaku korupsi akan memberikan pesan yang jelas bahwa korupsi adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan akan mendapatkan konsekuensi yang setimpal. Selain itu, untuk memastikan keadilan dalam penegakan hukum, penting bagi sistem hukum di Indonesia untuk terus melakukan reformasi, mulai dari peningkatan kualitas aparat penegak hukum hingga memperbaiki sistem peradilan yang lebih efisien dan profesional. Dengan penegakan hukum yang tegas, tidak pandang bulu, dan konsisten, diharapkan dapat menciptakan efek jera yang mengurangi niat dan kesempatan bagi pelaku korupsi untuk melanjutkan tindakan ilegal mereka.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat mengurangi tingkat korupsi secara signifikan dan membangun sistem pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, serta berorientasi pada pelayanan publik. Namun, upaya ini tentu tidak dapat dilakukan secara instan dan memerlukan komitmen serta kerjasama dari seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Hanya dengan kesungguhan dalam melaksanakan reformasi sistemik ini, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita untuk bebas dari korupsi dan membangun negara yang lebih adil dan makmur.

Penerapan pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna dalam menganalisis penyebab korupsi di Indonesia memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mendorong terjadinya korupsi, baik pada tingkat individu maupun sistemik. Ketiga elemen yang dijelaskan oleh Klitgaard---monopoli kekuasaan, rendahnya akuntabilitas, dan insentif yang rendah---merupakan faktor utama yang menciptakan peluang bagi korupsi untuk berkembang. Sementara itu, dari perspektif Jack Bologna, faktor sosial dan budaya juga memainkan peran penting, di mana norma-norma sosial yang menerima korupsi dapat memperburuk situasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketiga faktor tersebut sering kali saling berinteraksi dan memperkuat satu sama lain, menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik korupsi.

Kasus-kasus besar seperti korupsi proyek e-KTP dan keterlibatan Muhammad Nazaruddin dalam pengaturan proyek-proyek besar menunjukkan bagaimana elemen-elemen yang disebutkan di atas berperan dalam menciptakan kondisi yang memudahkan terjadinya korupsi. Korupsi dalam kedua kasus ini tidak hanya melibatkan individu-individu dengan akses besar terhadap kekuasaan dan pengaruh, tetapi juga menunjukkan bagaimana rendahnya sistem pengawasan dan transparansi, serta insentif ekonomi yang rendah, mendorong pejabat untuk terlibat dalam tindakan ilegal. Selain itu, motivasi pribadi yang dipengaruhi oleh norma sosial yang ada juga tidak kalah pentingnya, di mana korupsi dianggap sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sistem yang ada.

Untuk menanggulangi masalah korupsi, pendekatan yang lebih holistik diperlukan, yang mencakup peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan dalam setiap aspek pemerintahan. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten, serta pembenahan norma sosial dan etika di kalangan pejabat publik dan masyarakat, juga merupakan langkah krusial untuk memutus lingkaran setan korupsi. Hanya dengan komitmen yang kuat dan sistem yang lebih terbuka, Indonesia dapat mengurangi praktik korupsi dan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan berintegritas.

Daftar Pustaka

Akay, M. B. (2022). TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PADA MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF UU NO. 20 TAHUN 2001. LEX ADMINISTRATUM, 10(1).

ANGGARA, A., Adhayanto, O., & Widiyani, H. (2023). PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DANA DESA PENUBA TIMUR DI KABUPATEN LINGGA (Doctoral dissertation, Universitas Maritim Raja Ali Haji).

Evana, E., Sumitro, S., & Hendrawaty, E. (2024). Investigasi Korupsi.

Hardjaloka, L. (2014). Studi penerapan e-government di indonesia dan negara lainnya sebagai solusi pemberantasan korupsi di sektor publik. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 3(3), 435-452.

Herdani, K. N. S., Atmadja, Z. S., & Santoso, G. (2022). Analisis Hukum Atas Implementasi UUD Negara Republik Indonesia dalam Penanganan Kasus Korupsi di Indonesia. Jurnal Pendidikan Transformatif, 1(3), 127-136.

KURNIAWAN, T. (2017). ISU DISKRESI DALAM KASUS KORUPSI KEPALA DAERAH YANG DITANGANI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PADA PERIODE 2004-2010 DAN TELAH.

Musyarofah, Y. H., Firdaus, K., Siqmi, L., Saputro, L. W. A., & Faradisa, R. D. B. (2024). Tantangan dan solusi dalam implementasi pendidikan anti korupsi di indonesia. Jurnal Inovasi Pendidikan, 6(3).

Sudarmanto, E. (2023). Pencegahan Fraud Dengan Manajemen Risiko Dalam Perspektif Al-Quran. Zahir Publishing.

Tirtakusuma, A. E. (2023). ANCAMAN LATEN KORUPSI DALAM KEBIJAKAN RESTORATIVE JUSTICE (RJ). Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik), 9(1), 161-190.

Wiridin, D., Nasrin, N., Prananingrum, D. K., & Putra, Z. (2023). Buku Ajar Pendidikan Anti Korupsi Panduan di Perguruan Tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun