Selain itu, dari perspektif Jack Bologna, kita dapat melihat bahwa motivasi pribadi Nazaruddin dan individu lain yang terlibat sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan harapan pribadi untuk mendapatkan lebih banyak kekayaan dan status. Dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bertindak tanpa rasa takut, tindakan korupsi menjadi tidak hanya mungkin, tetapi sering dianggap sebagai cara yang sah untuk memperoleh kekayaan.
Kasus 2: Kasus Korupsi e-KTP
Kasus korupsi besar lainnya yang mengguncang Indonesia adalah skandal e-KTP, yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara, termasuk Setya Novanto, mantan Ketua DPR. Proyek e-KTP adalah program nasional yang bertujuan untuk mempermudah administrasi kependudukan melalui penerbitan kartu tanda penduduk elektronik. Namun, proyek ini kemudian terungkap sebagai ladang korupsi yang melibatkan penggelapan dana yang sangat besar.
Kasus ini menggambarkan dengan jelas penerapan elemen-elemen yang diungkapkan oleh Klitgaard dan Bologna. Monopoli kekuasaan terlihat jelas dalam peran Setya Novanto, yang menggunakan posisi politiknya untuk mengatur alokasi anggaran proyek ini dan memanipulasi proses tender untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia memiliki kontrol penuh atas keputusan yang terkait dengan pelaksanaan proyek, yang memberi peluang baginya untuk mendapatkan uang suap dari perusahaan penyedia barang dan jasa.
Rendahnya akuntabilitas adalah masalah utama lainnya dalam proyek e-KTP ini. Proses pengadaan proyek yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak membuat pengawasan menjadi sangat sulit dilakukan. Terlebih lagi, para pejabat yang terlibat tidak mendapatkan pemeriksaan yang memadai, sementara sistem audit yang ada tidak dapat mendeteksi aliran dana yang mencurigakan. Dalam hal ini, penerapan teori Klitgaard mengenai lemahnya sistem akuntabilitas dalam memerangi korupsi sangat relevan.
Insentif yang rendah bagi para pejabat yang terlibat juga menjadi faktor pendorong. Gaji yang tidak sebanding dengan besar proyek dan kekayaan yang dapat dihasilkan melalui korupsi memotivasi mereka untuk mencari cara-cara ilegal untuk mengumpulkan kekayaan. Novanto dan rekan-rekannya merasa tidak ada yang salah dalam mengambil bagian dari dana proyek, terutama mengingat ketidakpastian hukum yang ada.
Selain itu, teori Bologna tentang motivasi pribadi juga terlihat dalam kasus ini. Para pelaku korupsi merasa bahwa mereka berhak mendapatkan bagian dari uang yang berputar dalam proyek ini, karena mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut telah menjadi bagian dari norma sosial di kalangan pejabat tinggi. Kesediaan untuk menerima suap dan melakukan pengaturan ilegal dalam proyek ini bukan hanya terkait dengan kebutuhan ekonomi, tetapi juga dengan pandangan sosial yang membenarkan tindakan tersebut.
Langkah-langkah Penanggulangan Korupsi dari Perspektif Klitgaard dan Bologna:
Berdasarkan penerapan teori-teori Klitgaard dan Bologna, kita dapat menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi tingkat korupsi di Indonesia. Langkah pertama yang sangat krusial adalah peningkatan pengawasan dan akuntabilitas dalam seluruh sistem pemerintahan dan sektor publik. Korupsi sering kali tumbuh subur dalam lingkungan yang minim pengawasan dan kontrol. Untuk itu, sistem pengawasan internal di setiap lembaga pemerintahan harus diperkuat agar lebih transparan dan efektif dalam mendeteksi serta menghentikan praktik-praktik korupsi. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk lembaga-lembaga pengawasan yang lebih independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dalam melakukan audit dan investigasi. Pengawasan eksternal juga tidak kalah penting, di mana masyarakat dan organisasi sipil dapat berperan dalam mengawasi kebijakan publik dan proyek-proyek besar. Sistem pengadaan barang dan jasa, yang sering kali menjadi celah bagi korupsi, harus diatur dengan lebih ketat dan dilengkapi dengan mekanisme audit yang transparan dan berkelanjutan. Selain itu, perlu adanya pembentukan sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses oleh publik, yang dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengungkapkan kasus-kasus korupsi tanpa takut akan pembalasan.
Langkah kedua yang sangat penting adalah peningkatan gaji dan insentif bagi pejabat publik. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya korupsi adalah rendahnya insentif yang diterima oleh pejabat publik, yang sering kali membuat mereka tergoda untuk mencari tambahan penghasilan melalui cara-cara ilegal. Oleh karena itu, untuk mengurangi godaan tersebut, penting untuk meningkatkan kesejahteraan para pejabat publik melalui peningkatan gaji yang sebanding dengan tanggung jawab dan jabatan yang mereka emban. Selain itu, sistem insentif yang tepat juga perlu diperkenalkan untuk mendorong para pejabat untuk bekerja dengan lebih baik dan mengutamakan kepentingan publik. Insentif ini bisa berupa penghargaan atau kenaikan pangkat bagi pejabat yang menunjukkan integritas tinggi dan berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Sebaliknya, pejabat yang terlibat dalam tindakan korupsi harus dikenakan sanksi yang tegas, termasuk pemecatan dan tuntutan hukum. Dengan demikian, pejabat publik akan merasa terdorong untuk menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab dan menjauhkan diri dari perilaku koruptif, karena mereka akan mendapatkan penghargaan atas kinerja yang baik dan menghadapi konsekuensi serius jika terbukti terlibat dalam korupsi.
Pendidikan etika dan penguatan norma sosial juga merupakan langkah ketiga yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang anti-korupsi. Salah satu akar penyebab korupsi adalah adanya pandangan yang keliru di kalangan pejabat publik maupun masyarakat yang menganggap bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kerja yang diterima dan bahkan diperlukan untuk kelancaran aktivitas birokrasi. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pendidikan etika di semua tingkat pendidikan, dimulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, dengan fokus pada pembentukan karakter dan pemahaman mengenai integritas, tanggung jawab sosial, dan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Selain itu, pendidikan etika di kalangan pejabat publik juga perlu ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang menekankan pada pentingnya pengabdian kepada negara dan masyarakat. Norma sosial yang membenarkan tindakan korupsi harus dilawan dengan membangun kesadaran bahwa korupsi merugikan negara, masyarakat, dan masa depan generasi mendatang. Media massa, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengedukasi publik mengenai bahaya korupsi dan membentuk norma sosial yang mengutuk praktik tersebut. Melalui pendidikan yang baik dan pembenahan nilai moral, masyarakat diharapkan dapat mengubah cara pandangnya terhadap korupsi dan memperkuat norma sosial yang menentang tindakan tersebut, sehingga tindakan korupsi menjadi sesuatu yang dianggap memalukan dan tidak dapat diterima di masyarakat.
Langkah keempat yang tidak kalah penting adalah penegakan hukum yang lebih tegas dan tidak pandang bulu. Salah satu masalah utama dalam pemberantasan korupsi adalah lemahnya penegakan hukum yang tidak konsisten dan sering kali dipengaruhi oleh kekuasaan politik atau kepentingan pribadi. Untuk itu, diperlukan adanya sistem peradilan yang benar-benar independen dan tidak terpengaruh oleh kekuatan politik apapun. Proses peradilan terhadap kasus-kasus korupsi harus dilakukan dengan transparan dan objektif, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Untuk memberikan efek jera, hukum harus ditegakkan secara tegas dan konsisten, baik terhadap pejabat publik, pengusaha, maupun individu lain yang terlibat dalam korupsi. Hukuman yang berat dan tanpa kompromi terhadap pelaku korupsi akan memberikan pesan yang jelas bahwa korupsi adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan akan mendapatkan konsekuensi yang setimpal. Selain itu, untuk memastikan keadilan dalam penegakan hukum, penting bagi sistem hukum di Indonesia untuk terus melakukan reformasi, mulai dari peningkatan kualitas aparat penegak hukum hingga memperbaiki sistem peradilan yang lebih efisien dan profesional. Dengan penegakan hukum yang tegas, tidak pandang bulu, dan konsisten, diharapkan dapat menciptakan efek jera yang mengurangi niat dan kesempatan bagi pelaku korupsi untuk melanjutkan tindakan ilegal mereka.