Ujung lengan bajuku masih lusuh...
Itupun terpaksa aku gulung guna   sembunyi dari percikan oli yang masih lekat pada kulit tanganku
Air tak mampu menyeka minyak dan minyak pun tak mau menyapa air...
Peduli apa denganmu, air...?
Jika aku sudah berpeluk, kuingin selamanya berpagut padanya...
Hari ini, sebatas sepasang kuda saja yang berbenah sepatu.
Sebatang duri menancap pada kulit sepatumu
   Dua puluh ribu kudapat hari ini
   Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini
   Akankah baju baru terbeli...?
   Akankah kue begitu tersaji...?
   Tak dapat kupasti harinya nantiÂ
Sembari aku berbenah sepatu kuda yang tertancap duri, si buyung bergelayut manja pada bunda.....
   "Bunda..., berapa hari lagikah puasa kujalani?"
   "Buyung..., bulan kan tersenyum     Â
 mengiringmu sepuluh malam            kedepan."
   "Bunda..., berapa hari lagikah gaun putih kan terbeli?"
   "Buyung..., pundi telah terisi. Sebentar akan kau miliki."
   "Bunda..., kapankah kita bersama menyanyi menari?"
   "Buyung..., selangkah lagi. Setelah bapa pulang mengabdi."
.........................................................................
Kayuh pada pedal kereta tiga roda tiada henti bertukar tempat.
Selangkah kedepan, selangkah kebelakang...
Kain penyeka makin lusuh bercampur debu
Tak lagi seputih selendang....
Tak lagi secantik gaun....
Caping cukuplah menghalau terik
Tak akan mampu menghalau pelik
Tak seramai dulu lagi....
   Dua puluh ribu kuraih hari ini
   Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini
   Akankah baju baru terbeli...?
   Akankah kue begitu tersaji...?
   Tak dapat kupasti harinya nanti
Sembari berkayuh pedal kereta tiga roda, si buyung bergelayut manja pada bunda.....
   "Bunda..., berapa hari lagikah puaa kujalani?"
   "Buyung..., bulan kan tersenyum      mengiringmu sepuluh malam           kedepan."
   "Bunda..., berapa hari lagikah gaun       putih kan terbeli?"
   "Buyung..., pundi telah terisi.             Sebentar akan kau miliki."
   "Bunda..., kapankah kita bersama         menyanyi menari?"
   "Buyung..., selangkah lagi. Setelah        bapa pulang mengabdi."
..........................................................................
Subuh gelap berkerudung embun, telah menciumku untuk segera bangun
Buah pada pohonnya telah masak
Parang belati telah menebas......
Setandan pisang terbagi sudah
Terbagi pada bakul kanan dan kiri
Sedepa lebih, pangkal bambu telah terpikul pada pundak legam selegam gelapnya subuh...
Berharap pada petang hari, setandan lunas terbeli...
Selangkah demi selangkah kumulai menapak kaki tiada beralas
Sesekali kubersandar melepas letih
Hingga pada saatnya..., si ibu bersambut bersama buah hati....
Sembari bersimpuh memilih tandan terbagi, si buyung bergelayut manja pada bunda.....Â
   "Bunda..., berapa hari lagikah puasa kujalani?"       Â
   "Buyung..., bulan kan tersenyum mengiringmu sepuluh malam kedepan."
   "Bunda..., berapa hari lagikah gaun putih kan terbeli?"
   "Buyung..., pundi telah terisi. Sebentar akan kau miliki."
Sepersepuluh tandan telah terbeli
   Dua puluh ribu kudapat hari ini
   Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini
   Akankah baju baru terbeli...?
   Akankah kue begitu tersaji...?
   Tak dapat kupasti harinya nanti
........................................................................
"Mak..., si Buyung beli baju..."
"Nak..., emak tiada apa di saku..."
"Pak..., si Buyung bersepatu..."
"Nak..., tiada cukup duapuluh ribu untuk sepatu."
Biarlah sepuluh malam kedepan, aku berbanting tulang berburu beribu-ribu... Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Walaupun, entah berapa yang ku gayuh...
Bunda si Buyung, dapatlah terisi dalam saku beribu-ribu...
Bunda si Buyung, dapatlah setandan terbeli...
Bunda si Buyung, pastilah kereta termiliki...
Bapa si Buyung, sudah tergaji...
Para abdi nagari tersenyum
Aku yang bukan abdi nagari juga tersenyum.....
Tersenyum kala mampu berbayar pajak untuk nagari...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H