Mohon tunggu...
Asa  Wahyu  Setyawan Muchtar
Asa Wahyu Setyawan Muchtar Mohon Tunggu... Guru honorer -

Asa Wahyu Setyawan Muchtar lahir di Malang, 1971. Cerita pendeknya Kastawi Budhal Perang dimuat dalam buku Pidato Tengah Malam, Dukut Imam Widodo, penerbit Dukut Publishing, Surabaya, 2015. Sebagian tulisannya bertema seni budaya dan pendidikan dipublikasikan di harian pagi Malang Post, majalah Berkat (Surabaya). Intens mengaransemen beberapa lagu ( khususnya bertema rohani) dan pernah ditampilkan dalam Pesta Vocal Group Antar Gereja (Peskaldag) tahun 2013 dan 2015 di Malang. Sebagai guru honorer seni budaya dan menjadi peserta aktif dalam Diklat P4TK Seni dan Budaya di Sleman, Jogjakarta tahun 2010 dan 2012. Kini bermukim di Kebonagung Malang. Didapuk sebagai Ketua 1 Eklesia Prodaksen Kebonagung Malang dan penggagas Kelas Menulis di Kebonagung. Bersama tim Eklesia Prodaksen sedang menyiapkan Festival Budaya Kebonagung tahun 2016 dan Antologi Kebonagung yang menghimpun berbagai tulisan dan fotografi tentang Kebonagung. Konsep: Ikutilah kemana imajinasimu mengembara, dan ciptakanlah karya disitu tanpa batasan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Te Ha eR?

7 Juni 2018   19:30 Diperbarui: 7 Juni 2018   19:55 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ujung lengan bajuku masih lusuh...

Itupun terpaksa aku gulung guna     sembunyi dari percikan oli yang masih lekat pada kulit tanganku

Air tak mampu menyeka minyak dan minyak pun tak mau menyapa air...

Peduli apa denganmu, air...?

Jika aku sudah berpeluk, kuingin selamanya berpagut padanya...

Hari ini, sebatas sepasang kuda saja yang berbenah sepatu.

Sebatang duri menancap pada kulit sepatumu

     Dua puluh ribu kudapat hari ini

     Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini

     Akankah baju baru terbeli...?

     Akankah kue begitu tersaji...?

     Tak dapat kupasti harinya nanti 

Sembari aku berbenah sepatu kuda yang tertancap duri, si buyung bergelayut manja pada bunda.....

     "Bunda..., berapa hari lagikah puasa kujalani?"

     "Buyung..., bulan kan tersenyum         

 mengiringmu sepuluh malam                      kedepan."

     "Bunda..., berapa hari lagikah gaun putih kan terbeli?"

     "Buyung..., pundi telah terisi. Sebentar akan kau miliki."

     "Bunda..., kapankah kita bersama menyanyi menari?"

     "Buyung..., selangkah lagi. Setelah bapa pulang mengabdi."

.........................................................................

Kayuh pada pedal kereta tiga roda tiada henti bertukar tempat.

Selangkah kedepan, selangkah kebelakang...

Kain penyeka makin lusuh bercampur debu

Tak lagi seputih selendang....

Tak lagi secantik gaun....

Caping cukuplah menghalau terik

Tak akan mampu menghalau pelik

Tak seramai dulu lagi....

     Dua puluh ribu kuraih hari ini

     Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini

     Akankah baju baru terbeli...?

     Akankah kue begitu tersaji...?

     Tak dapat kupasti harinya nanti

Sembari berkayuh pedal kereta tiga roda, si buyung bergelayut manja pada bunda.....

     "Bunda..., berapa hari lagikah puaa kujalani?"

     "Buyung..., bulan kan tersenyum         mengiringmu sepuluh malam                     kedepan."

     "Bunda..., berapa hari lagikah gaun             putih kan terbeli?"

     "Buyung..., pundi telah terisi.                         Sebentar akan kau miliki."

     "Bunda..., kapankah kita bersama                 menyanyi menari?"

     "Buyung..., selangkah lagi. Setelah               bapa pulang mengabdi."

..........................................................................

Subuh gelap berkerudung embun, telah menciumku untuk segera bangun

Buah pada pohonnya telah masak

Parang belati telah menebas......

Setandan pisang terbagi sudah

Terbagi pada bakul kanan dan kiri

Sedepa lebih, pangkal bambu telah terpikul pada pundak legam selegam gelapnya subuh...

Berharap pada petang hari, setandan lunas terbeli...

Selangkah demi selangkah kumulai menapak kaki tiada beralas

Sesekali kubersandar melepas letih

Hingga pada saatnya..., si ibu bersambut bersama buah hati....

Sembari bersimpuh memilih tandan terbagi, si buyung bergelayut manja pada bunda..... 

     "Bunda..., berapa hari lagikah puasa kujalani?"             

     "Buyung..., bulan kan tersenyum mengiringmu sepuluh malam kedepan."

     "Bunda..., berapa hari lagikah gaun putih kan terbeli?"

     "Buyung..., pundi telah terisi. Sebentar akan kau miliki."

Sepersepuluh tandan telah terbeli

      Dua puluh ribu kudapat hari ini

      Dua puluh satu hari kulewati ramadhan ini

      Akankah baju baru terbeli...?

      Akankah kue begitu tersaji...?

      Tak dapat kupasti harinya nanti

........................................................................

"Mak..., si Buyung beli baju..."

"Nak..., emak tiada apa di saku..."

"Pak..., si Buyung bersepatu..."

"Nak..., tiada cukup duapuluh ribu untuk sepatu."

Biarlah sepuluh malam kedepan, aku berbanting tulang berburu beribu-ribu...                  

Walaupun, entah berapa yang ku gayuh...

Bunda si Buyung, dapatlah terisi dalam saku beribu-ribu...

Bunda si Buyung, dapatlah setandan terbeli...

Bunda si Buyung, pastilah kereta termiliki...

Bapa si Buyung, sudah tergaji...

Para abdi nagari tersenyum

Aku yang bukan abdi nagari juga tersenyum.....

Tersenyum kala mampu berbayar pajak untuk nagari...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun