Oleh Nefrijanti, Coach and Trainer for Parent
Ketika Merdeka Belajar mulai diracik, (seingat saya beberapa bulan sebelum pandemi melanda) sudah menarik perhatian banyak pihak. Merdeka Belajar menawarkan sisi fleksible yang diharapkan mampu memfasilitasi pendidikan di Indonesia lebih baik lagi. Ya, Indonesia memiliki keanekaragamannya memerlukan sistim pendidikan yang unik.Â
Tahun 2019, sebelum tiba saatnya Merdeka Belajar dilahirkan, pandemi datang. Dunia pendidikan, seperti juga aspek kehidupan manusia lain saat itu, dipaksa untuk melakukan penyesuaian. Dari pembelajaran tatap-muka menjadi pembelajaran daring. Konsekwensi atas penyesuaian ini adalah keterlibatan sekolah (pendidik dan tenaga pendidik) berkurang dan keterlibatan stakeholder lain (dalam hal ini orang tua masyarakat meningkat).Â
Orang tua dan masyarakat berupaya mampu mendampingi anak-anaknya dari rumah. Pendidik dan tenaga pendidikan berupaya mampu menggunakan gawai sebagai sarana pembelajaran daring. Meskipun tidak mudah, upaya ini membuahkan hasil. Tidak sedikit peserta didik, yang mampu beradaptasi dengan pembelajaran daring selama masa pandemi.
Awal tahun 2022 saat Merdeka Belajar diluncurkan, harapan besar kembali disematkan. Merdeka Belajar mampu memfasilitasi kelancaran pembelajaran setelah pandemi dan sekaligus mampu menjadi  inovasi pendidikan di Indonesia. Membumi di Indonesia, mampu memfasilitasi keluasan keanekaragaman di Indonesia. Terutama menyelesaikan isue kesenjangan pendidikan antara sekolah-sekolah dari kota besar hingga daerah 3 T (terdepan, terluar dan tertinggal).
Yang perlu diperhatin, agar Merdeka Belajar mampu membumi di Indonesia, diperlukan peran serta Komunitas Belajar dengan tiga pilar keberhasilan pendidikan didalamnya. Tiga pilar itu adalah pendidik, tenaga kependidikan dan stakeholder pendidikan lain, dalam hal ini orang tua dan masyarakat. Tetapi dalam penjelasannya, disebutkan bahwa Komunitas Belajar adalah sekelompok guru, tenaga kependidikan, dan pendidik yang memiliki semangat dan kepedulian yang sama terhadap transformasi pembelajaran, terutama dalam Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).Â
Dan lebih dipertegas lagi, Â pada laman perekrutan keanggotaan Komunitas Belajar, terdapat kolom pengisian Nomor Pokok Satuan Pendidikan Nasional (NPSN). Nomor yang hanya dimiliki oleh lembaga satuan pendidikan yang telah terdaftar resmi. Maka masyarakat dan orang tua sebagai stakeholder lain, tidak dapat bergabung dalam Komunitas Belajar.Â
Pada kenyataannya, selain sekolah, rumah merupakan lembaga pendidikan non formal, dengan peserta didiknya, anak-anak yang lahir di rumah tersebut. Anak-anak sejak hari pertama hadir di dunia, tumbuh dan berkembang, belajar begitu banyak hal dengan pengawasan orang tua di rumah.Â
Dasar Karakter sebagai profil pelajar pancasila dan dasar-dasar pembelajar adalah mata pelajaran wajibnya. Maka meskipun rumah tidak memiliki akta pendirian sebagai lembaga pendidikan secara resmi, dan orang tua tidak pernah secara resmi mengikuti pendidikan keguruan dari lembaga pendidikan pendidik dan tenaga pendidikan resmi. Rumah dengan orang tua tetaplah tempat belajar dan pendidikan pertama bagi peserta didik.
Masalah pendidikan mulai muncul, ketika orang tua dari rumahnya masing-masing masih belum selesai membangun dasar karakter dan pembelajar, saat anak-anaknya sudah memasukinya dunia sekolah. Itu artinya, pendidik dan tenaga pendidik di sekolah yang dituju, perlu menyiapkan dua kali tenaga untuk mendidik.Â
Satu tambahan tenaga untuk menyiapkan peserta didik mencapai kesiapan sekolah (yang seharusnya sudah diselesaikan oleh orang tua). Masalah pendidikan pun makin serius, Â jika berkaitan dengan anak-anak berkebutuhan khusus, yang untuk mencapai tahapan kesiapan sekolahnya lebih menantang dibandingkan anak-anak tipikal.
Maka, apakah masalah 70% anak berkebutuhan khusus usia 15 hingga 21 tahun, yang tidak pernah hadir di sekolah (berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SUSENAS 2019), juga disebabkan oleh belum terlibatnya pilar stakeholder lain? Total, kurang lebih 1,6 jt anak berkebutuhan khusus yang disebutkan dalam data tersebut.Â
Bagaimana jika ketidakhadiran anak-anak berkebutuhan khusus ini di sekolah, disebabkan karena keputusan bersekolah atau tidak bersekolah itu, diambil alih oleh stakeholder lain (masyarakat dan orang tua) yang kurang memahami prinsip Merdeka Belajar? Â Apa yang terjadi, ketika anak-anak berkebutuhan khusus, yang perlu penanganan khusus, yang sarana dan SDMnya tidak mudah ditemui di sekolah reguler ataupun khusus, dipaksakan untuk mengikuti pembelajaran yang kaku dan terpusat? Karena pemahaman terbatas dari stakeholder lain (masyarakat dan orang tua).
Alih-alih membatasi ruang lingkup Komunitas Belajar, jauh lebih bermanfaat jika bersama-sama melebarkan ruang komunikasi belajar, hingga cukup ruang untuk digunakan oleh tiga pilar keberhasilan pendidikan. Stakeholder yang lain, bersama dengan pendidik dan tenaga pendidik berkolaborasi optimal. Masing-masing pilar bertanggungjawab dengan bekerja dari areanya masing-masing.
Apa yang bisa dilakukan oleh pilar orang tua dalam Komunitas Belajar? Mengadaptasi dari pengalaman pada saat Pandemi, maka ada hal penting yang dapat dilakukan orang tua. Yaitu orang tua mampu memfasilitasi peserta didik, mengikuti proses belajar dengan penuh minat dan bahagia.Â
Sebagaimana ditemukan dalam penelitian di Havard, bahwa hanya 25 persen kesuksesan pekerjaan didasarkan pada IQ. Sisanya, Tujuh puluh lima persen adalah tentang pentingnya perilaku, kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain, dan mampu mengelola stres. Tiga hal yang juga diperlukan oleh peserta didik mencapai capaian pembelajarannya lebih efektif.
Orang tua dengan pengasuhan yang tepat, memfasilitasi anaknya memiliki keyakinan dunia merupakan tempat yang aman dan nyaman untuknya tumbuh dan berkembang. Hasil pengasuhan ini, anak mampu memiliki hubungan yang baik dengan dirinya sendiri dan orang sekelilingnya. Saat anak mendapat tekanan akibat adanya tantangan, anak tidak surut. Apalagi menyerah.Â
Anak siap untuk terus melangkah karena anak punya kemampuan untuk mengelola stress dengan baik. Â Dasar karakter ini,yang juga merupakan profil pelajar Pancasila, mendukung anak untuk mencapai capaian pembelajaran. Â Mulai menit pertama saat dirinya menjadi peserta didik, siap memasuki ruang kelas untuk belajar, hingga mampu menyelesaikan jenjang terakhir pendidikan yang ingin diraih.Â
Pendidik dan tenaga pendidik pun tinggal melanjutkan mendidik putra/i bangsa. Sinergi berkelanjutan antara tiga pilar, dalam Komunitas Belajar  yang sudah dimulai oleh orang tua di rumahnya masing-masing.  Pendidik menambahkan keahlian peserta didik dengan menyesuaikan capaian pembelajaran yang lebih optimal melalui bakat dan minat peserta didik. Menggunakan Merdeka Belajar, yang fleksible atas ruang belajar dan materi pembelajaran. Bukankah sinergi ini  lebih menjanjikan jika dibandingkan hanya dua pilar yang bekerja sama?
Pada akhirnya, Merdeka Belajarpun mampu mengoptimalkan tujuannya.  Sebagai sarana untuk memfasilitasi lahirnya kembali warga negara Indonesia yang bebas merdeka. Bebas dengan kaki yang tetap menjejak di bumi Indonesia. Bebas  yang bertanggungjawab dengan mengerti batasan, karakter Profil Pancasila. Bebas untuk berkreatif untuk mewujudkan kembali Indonesia sebagai bangsa merdeka dan bermartabat. Saat itu, jaman keemasan nusantara yang pernah diraih, kembali lagi.Â
Apalagi yang ditunggu? Saatnya sudah tiba, Indonesia memerlukan kesatuan dan persatuan dari semua pihak untuk meraih kembali masa keemasannya. Mari membumikan Merdeka Belajar dengan melibatkan tiga pilar keberhasilan pendidikan dalam Komunitas Belajar.
Silahkan kunjungi : Bunda Nefri Sutikno | Facebook, Bunda Nefri Sutikno  • Instagram photos and videosÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H