Mohon tunggu...
Iin Ajid
Iin Ajid Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Mamanya Cindy, Reza dan Fira.... bundaiin.blogdetik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat yang Galau

6 Maret 2012   15:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Menangis itu seni melepas kerisauan, mba.


Saya tersenyum melihat isi sms pagi itu dan tanganpun gatal untuk membalasnya.

Risau itu seni mengenal emosi. Semoga tangismu cukup sudah hari ini karena senyum adalah seni melepas derita.


Dan lagi-lagi dia membalas

Kalau saja semua emosi di dunia ini hanyalah tawa, mungkin takkan ada kesedihan ya mba..


Dan saya kembali membalas terburu-buru karena putri saya menangis.

Karena Allah Maha Adil.

Obrolan seperti itu dulu nyaris memenuhi handphone saya selama beberapa tahun, sampai sebuah keputusan yang membuat saya memilih tidak menggunakan handphone lagi nyaris selama setahun.

Saat kembali memiliki, saya sudah disibukkan dengan urusan rumah tangga dan orangtua hingga jarang bisa bersosialisasi seperti sebelumnya.

Sampai bertemu dia lagi, di sekolah anak saya yang baru. Ternyata putranya juga bersekolah di tempat putra saya itu. Kami kembali menyambung silaturahmi meski sudah tak seperti dulu karena seperti ada jarak yang tak jelas. Mungkin karena waktu yang terlalu singkat, atau mungkin karena saya memang tak pernah menunggui anak di sekolah. Entahlah...

Dia menanyakan nomor handphone saya, saya memberikannya. Resminya baru januari kemarin saya kembali punya ponsel, itupun terpaksa demi sebuah pekerjaan.

Masihkah mbak ingat, dulu mba pernah bilang kalau setiap ibu yang tangguh akan membesarkan anak-anak yang tangguh? Tapi apakah saya ini ibu yang tangguh, jika setiap kali ada masalah saya selalu menangis?


waktu itu saya lupa membalasnya baru esoknya saya balas.

Maaf telat balas krn hp di tas. Tangguh bukan berarti tak bisa menangis. Tapi masalah akan lebih baik jika kita telah bisa berpikir tenang. Menangislah, dan adukan pada Yang Kuasa. Jika sudah selesai, pikirkanlah dengan tenang. Sudah dulu ya, Ti.


Lalu ada beberapa lagi smsnya. Semua bernada seperti berbicara dalam keadaan galau. Terus terang saya sempat sebal. Ini orang sudah dinasehati kok masih saja galau? Kalau galau itu, jangan ngadu ke saya saja dong, ngadu juga ke Allah, biar tenang biar bisa berpikir. Itu pikiran saya saat itu.

Mungkin karena jarang ditanggapi, smsnya mulai jarang. Saat bertemu mukapun, dia tak seperti dulu selalu terbuka. Sekarang dia lebih banyak diam, dan membuat saya sedikit merasa tak enak hati karena merasa sering cuek padanya.

Baru saat saya punya kesempatan ke sebuah acara kunjungan bersama, kami sama-sama mendampingi anak masing-masing. Di situ, dalam mobil seorang teman kami kembali bercerita seperti dulu. Dan cerita itupun mengalir.

Sungguh, rasanya saya sangat bersalah. Saya bukanlah sahabat yang baik karena saat sahabat saya benar-benar memerlukan tempat untuk curhat, saya malah tak mempedulikannya. Saya menangis, menangis karena mendengar masalahnya yang rumit dan menangis karena merasa bersalah.

Ia tak dengan gamblang menceritakan sumber masalahnya. Tapi airmata di kedua pipinya, dengan kata-kata puitis penuh makna seperti sms-smsnya cukup memberitahu saya kalau ada masalah antara dirinya dengan keluarga suaminya yang sayangnya didukung oleh sang suami.

Namun, dengan cepat dia mengelus perutnya yang menginjak usia tujuh bulan februari kemarin dan senyumnya pun muncul. "Semoga kelak anak kami ini bisa mengembalikan kepercayaannya pada saya ya mba. Karena tanpa kepercayaan suami, bahkan untuk tersenyum saja seorang istri takkan sanggup."

Saya tak bisa berkata apa-apa. Karena di saat yang berbeda, seorang teman lain bilang kalau teman saya itu akan diceraikan oleh suaminya, dalam keadaan hamil.

Entah terbuat dari apa hati suaminya. Tapi saya sendiri tahu itu takkan mudah dilalui seorang perempuan yang sedang mengandung. Tak bisakah dia menunggu sampai istrinya melahirkan? Hanya karena sang Ibu Mertua tak menyukai menantu, maka istripun diceraikan.

Saya tak tahu bagaimana beritanya lagi setelah pertemuan kami terakhir itu. Saya memintanya bertawakal, tetap istiqomah dan tetap mengabari saya. Kali ini saya berjanji dalam hati, sms apapun akan saya tanggapi dengan baik.

Tapi.. dia tak pernah mengirim sms lagi selain memberitahu mengenai urusan anak saya. Hanya melalui putranya, saya tahu dia baik-baik saja. Melalui adiknya yang bekerja sebagai guru, saya tahu kalau dia pindah ke rumah ibunya. Hanya itu... sampai hari ini.

Tanpa sengaja adiknya memberitahu kalau dia sudah tiada. Ya, sahabat saya sudah tiada. Meninggal bersama bayinya karena pendarahan hebat. Ya Allah, temanku yang baik pergi...

Jumat kemarin, seorang teman baik yang selalu berucap lembut telah pergi. Pergi dalam sahid memperjuangkan hidup putranya, pergi dalam keadaan menjanda tanpa suami yang mendampingi, pergi meninggalkan seorang anak yang begitu tenang bahkan masih sanggup tetap datang ke sekolah di hari seninnya demi ulangan umum.

Perempuan yang selalu berkata tentang galau itu memang telah tiada, tapi ia mengingatkanku bahwa menjadi seorang teman itu bukanlah kehadiran di depan mata sesering mungkin, juga bukan karena kita rajin memberi sesuatu tapi seorang teman yang baik ada di saat temannya membutuhkan, ada di saat temannya sedang risau dan bingung. Seandainya suatu hari kita ditempatkan pada posisinya, pada posisi di mana mengadu pada keluarga bukanlah pilihan, siapa lagi yang kita tuju kalau bukan sahabat.

Selamat jalan sahabatku sayang, semoga inilah hal terbaik agar membuatmu terlepas dari semua derita. Semoga kelak apa yang kau impikan untuk putra tercinta menjadi kenyataan. Terima kasih telah mengajariku sekali lagi arti bersahabat. Maafkan kesalahanku, dan semoga kau tenang disisiNya.

(Dalam tangis yang mengiringi kepergian sahabatku tercinta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun