Toxic dalam pernikahan akan sangat berdampak bagi diri sendiri, pasangan bahkan terlebih lagi pada pernikahan yang telah memiliki anak. Ini semua akan berdampak sekali bagi pola asuh anak serta perkembangannya.
Dalam rumah tangga, toxic relationship akan lebih complicated, “bertahan karena status” menjadi salah satu alasan tetap berada dalam circle toxic relationship.
Terlebih lagi sudah ada kehadiran anak, pasti sebagai orang tua, mereka akan lebih memikirkan bagaimana nasib anaknya. Namun tetap dalam keegoisan masing-masing.
Dampak yang akan ditimbulkan dari toxic relationship bagi pola asuh anak yaitu kebingungan anak dalam mengikuti asuhan orang tua yang tidak sejalan, ayah berkata tidak, ibu berkata ya atau sebaliknya.
Belum lagi anak harus melihat pertengkaran orang tuanya yang akan berakibat pada mental anak tersebut, anak akan meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya karena orang tua merupakan contoh nyata dan terdekat, baik itu prilaku baik maupun prilaku buruk.
Toxic relationship juga dapat memicu terjadinya broken home. Broken home tidak hanya melulu dengan perceraian, akan tetapi hilangnya cinta, kasih sayang, kehangatan, kebahagian, komunikasi dalam keluarga bisa dikatakan broken home.
Keadaan hubungan yang beracun menyebabkan rasa ketidak nyamanan serta ketidak amanan. Sehingga terkadang mereka terjebak dalam kondisi bertahan hanya karena status.
Lalu bagaimana mengatasi toxic relationship dalam pernikahan?
Hal pertama yang dilakukan adalah perbaiki komunikasi dengan pasangan, komuniasikan perasaan ketidaknyamanan masing masing.
Kedua, bersikap asertif pada pasangan, turunkan ego masing-masing.