“Ooo ... lha kok mantan ?”
“Sudah ah ... nggak usah ngomong dia lagi, bahas kereta Jalatunda aja"
“Jaladara, Mbak .. bukan Jalatunda"
"Lho namanya sudah diganti tho ?"
“Diganti piye ... Mbak Dian ini ayak ayak wae .. he he he”
“Kirain Jaladara ..”
“Ya emang itu, Mbak Dian ini kayak Nunung Srimulat saja. Mau dijelasin nggak !?”
“Ojo nesu Mas Bagong sing ngganteng uleng ulengan. Mau dong”
"Kalau peyek ojo diremet remet, yen ngenyek ojo banget banget. Masak wajah kayak Bret Pit gini dikatakan ganteng. Oke ya ... Kereta Jaladara adalah kereta hadiah para dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali. Jaladara ditarik oleh empat ekor kuda berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang. Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain akan dapat saling berbagi kesaktian dan saling mendukung dan melindungi."
"Wah hebat ya, Mas ?"
"Ada yang berpendapat bahwa warna-warna kuda tadi melambangkan sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia, yaitu melambangkan nafsu amarah, aluamah, sufiah dan mutmainah. Merah, Hitam, Kuning dan Putih. Seperti halnya penjelasan tadi, maka sebenarnyalah masing-masing memiliki 'kesaktian' yang khas dan kalau dikelola dengan baik maka akan menghasilkan sinergi yang luar biasa. Namun kalau masing-masing berjalan atau berlari sesuka hati kesana kemari tanpa kendali, maka bakal berantakanlah laju kereta Jaladara. Siapa yang wajib mengendalikan ? Ya ... Sang Sais-lah yang mempunyai kemampuan dan kewenangan mengendalikan keempat kuda itu. Dan Sang Sais pada hakekatnya adalah diri kita sendiri, hati nurani, qalbu yang tak pernah berdusta, qalbu yang hakekatnya merupakan cahya Ilahi sendiri!"