Mohon tunggu...
Prabu
Prabu Mohon Tunggu... Pegawai Swasta -

Ngomong Indonesia Ngomong budaya Indonesia Ngomong budaya wayang Indonesia http://indonesiawayang.com https://www.facebook.com/bumiprabu https://www.facebook.com/wayangprabu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jaladara dan Tangkap Tangan Kapeka

16 Januari 2016   10:02 Diperbarui: 16 Januari 2016   10:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kereta Jaladara"][/caption]"Mas Bagong, kenapa ya orang cenderung tidak mau belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh orang lain ?"

"Contohnya gimana, Mbak Dian ?"

"Misalnya, bila melakukan korupsi sudah jelas suatu saat pasti ketahuan. Namanya bau busuk, walaupun disimpan serapih mungkin, suatu pasti saat akan tercium juga. Teman temannya sudah banyak yang dihukum karena korupsi, sudah banyak yang ketangkap tangan oleh KPK, tapi tetap saja ada anggota wakilnya Mas Bagong yang ngeyel tetap korupsi. Akhirnya ya begitulah ...”

"Bisa jadi karena dalam dirinya telah muncul keyakinan bahwa hal tadi tidak akan menimpa dirinya, boleh orang lain ketangkap tapi dia merasa dirinya berbeda. Itulah yang dinamakan sebagai kesombongan atas keyakinan diri yang berlebihan. Dalam benaknya si Fulan berkeyakinan, lha kalau aku kan sangat rapih, semua eviden telah aku simpan di tempat yang hanya aku sendiri yang tahu sehingga tidak bakal deh tertangkap tangan oleh KPK"

"Begitu ya Mas ?"

“Nafsu serakahnya selalu menggoda dan ngojok-ojoki untuk melakukan tindakan nyolong itu. Nafsunya meyakinkan dirinya bahwa tidak mungkin akan tertangkap kalau dilakukan dengan rapih, cerdik dan terencana dengan baik. Begitu nyolong pertama sukses, maka korupsi kedua dan seterusnya semakin lancar dan keyakinan akan kepintarannya dalam nyolong yang smart semakin tebal. Meskipun hati nuraninya telah mengingatkan untuk tidak lagi melakukan perbuatan durjana tadi, namun karena nafsu serakahnya lebih dominan maka sang hati nurani tak mampu berkutik"

"Gimana sih Mas menjelaskan fenomena yang terjadi dalam diri kita itu, apakah sebenarnya kita memiliki kemampuan untuk mengendalikannya ?"

"Dalam falsafah Jawa, banyak yang menjelaskan masalah itu. Mbak Dian tahu Jaladara kereta tunggangannya Prabu Kresna yang ditarik oleh empat ekor kuda pilihan ?"

"Wah ... I don't know, Mas ... he he he"

"Nggih ... mboten dados menapa, lha kalau Fahri Hamzah kenal nggak, Mbak ?"

"Lha sama mantannya sendiri masak nggak kenal sih, Mas ?!"

“Ooo ... lha kok mantan ?”

“Sudah ah ... nggak usah ngomong dia lagi, bahas kereta Jalatunda aja"

“Jaladara, Mbak .. bukan Jalatunda"

"Lho namanya sudah diganti tho ?"

“Diganti piye ... Mbak Dian ini ayak ayak wae .. he he he”

“Kirain Jaladara ..”

“Ya emang itu, Mbak Dian ini kayak Nunung Srimulat saja. Mau dijelasin nggak !?”

“Ojo nesu Mas Bagong sing ngganteng uleng ulengan. Mau dong”

"Kalau peyek ojo diremet remet, yen ngenyek ojo banget banget. Masak wajah kayak Bret Pit gini dikatakan ganteng. Oke ya ... Kereta Jaladara adalah kereta hadiah para dewa, dibuat oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Hanggajali. Jaladara ditarik oleh empat ekor kuda berwana kemerahan, hitam, kuning dan putih yang punya kesaktian sendiri sendiri. Kuda berwarna kemerahan dari benua barat hadiah dari Batara Brahma, dengan kesaktiannya mampu masuk kedalam kobaran api, bernama Abrapuspa. Kuda hitam dari benua paling selatan bernama Ciptawelaha pemberian Sang Hyang Sambu, mampu berjalan didalam tanah. Kuda yang bernama Surasakti yang dapat berjalan diatas air berwarna kuning, pemberian Batara Basuki dari jagad timur. Sedangkan kuda putih murni bernama Sukanta pemberian dari Batara Wisnu dari bumi utara, kesaktiannya mampu terbang. Bila sudah dirakit dalam satu kereta, satu sama yang lain akan dapat saling berbagi kesaktian dan saling mendukung dan melindungi."

"Wah hebat ya, Mas ?"

"Ada yang berpendapat bahwa warna-warna kuda tadi melambangkan sifat-sifat nafsu yang ada pada diri manusia, yaitu melambangkan nafsu amarah, aluamah, sufiah dan mutmainah. Merah, Hitam, Kuning dan Putih. Seperti halnya penjelasan tadi, maka sebenarnyalah masing-masing memiliki 'kesaktian' yang khas dan kalau dikelola dengan baik maka akan menghasilkan sinergi yang luar biasa. Namun kalau masing-masing berjalan atau berlari sesuka hati kesana kemari tanpa kendali, maka bakal berantakanlah laju kereta Jaladara. Siapa yang wajib mengendalikan ? Ya ... Sang Sais-lah yang mempunyai kemampuan dan kewenangan mengendalikan keempat kuda itu. Dan Sang Sais pada hakekatnya adalah diri kita sendiri, hati nurani, qalbu yang tak pernah berdusta, qalbu yang hakekatnya merupakan cahya Ilahi sendiri!"

"Wah gitu ya Mas ya ... menarik sekali ... apa ada lagi falsafah yang lain yang layak kita pelajari ?"

"Pernah dengar 'Sedulur Papat Lima Pancer' ?"

"Apa kuwi Mas ?"

"Pernah dengar makna simbolik Perang Kembang ?"

"belum Mas ... tambah mumet aku Mas !"

"Nggih ... pun bobok mawon !!!"

<<< ooo >>>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun