12.Wajah Dian Tiba-tiba Murung
Dalam perjalanan mencari barang rongsokan itu, Dian mengajak ayahnya ngobrol.
“Pak, baju seragam Dian kerah lehernya sudah robek-robek.” Kata Dian penuh maksud.
“Ya…. nduk, hasil keuntungan ini nanti Bapak belikan bajumu. Sabar ya.. nduk!” Ujar Pak Bahri seraya tersenyum getir memandangi anaknya.
Dian mengangguk lalu menunduk. Ia berharap ada orang kaya yang akan menyumbangkan kemeja bekas warna putih seukuran badannya. Langkahnya kian pasti mendorong gerobak ayahnya itu dari bagian belakang.
Belum hitungan sepuluh rumah yang mereka lewati, sekonyong-konyong dari arah kanan ada suara yang memanggil mereka.
“Hei…. rongsokan…!!!” Dian maklum mereka dipanggil dengan kata rongsokan. Lagi-lagi Pak Bahri tersenyum getir.
“Sini… kemari!” Cukup nyaring suara itu terdengar.
Mereka menuju di mana sumber suara itu berada. Seorang anak, agaknya seumur dengan Dian, atau setahun lebih muda melambai-lambaikan tangannya. Dian terenyuh hatinya disapa dengan rongsokan.
“Yah, itulah sebagian sikap orang kaya, tidak peka atau sensitif terhadap orang miskin. Kebanyakan mereka memang sombong, tapi tak sedikit pula ada yang sangat peduli dengan sesama.” Demikian Pak Bahri memberi pengertian pada anaknya Dian. Dian tersenyum, senyum yang hanya bisa diartikan olehnya.
Hampir penuh isi gerobak mereka sore itu. Sehingga tampak kelelahan Pak Bahri menarik dan merengkuh lengan gerobak itu dengan kedua tangannya, meski Dian telah mengeluarkan tenaga yang cukup banyak, terlihat dari posisi badannya miring enam puluh derajad ke depan.
Namun demikian, Pak Bahri merasa senang, seolah tak dirasakannya beban gerobaknya itu. Begitu pula Dian, ia tampak gembira dan bersemangat mendorong…. terus….. mendorong seakan tanpa lelah. Seingat Pak Bahri inilah muatan yang terbanyak setelah hampir dua tahun berpofesi sebagai tukang rongsokan.
Dari rumah orang kaya tadi mereka banyak mendapat barang-barang seperti; kursi plastik, panci, wajan, berupa-rupa pakaian, dengan beragam ukuran, dan sepasang sepatu. Dian berharap ada baju warna putih yang bisa dijadikan sebagai pengganti bajunya yang telah lusuh dan robek di kerah lehernya.
Sesampai di rumahnya, Dian dengan gesitnya memeriksa tumpukan pakaian bekas hasil mereka hari itu. Ternyata tak satu pun dari tumpukan baju itu seperti yang diharapkannya.
Ada sepasang sepatu dalam tumpukan pakaian bekas tadi. Sepatu itu berwarna hitam bermerek terkenal, sungguh sangat menarik perhatian Dian. Tapi begitu sepatu itu dicoba dengan ukuran kakinya, ternyata masih terlalu besar. Pak Bahri kembali merasa sedih hatinya menyaksikan Dian yang tiba-tiba murung wajahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H