Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebutir Mutiara (12)

2 Juni 2017   10:37 Diperbarui: 2 Juni 2017   10:45 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

12.Wajah Dian Tiba-tiba Murung

Dalam perjalanan mencari barang rongsokan itu, Dian mengajak ayahnya ngobrol.

“Pak, baju seragam Dian kerah lehernya sudah robek-robek.”  Kata Dian penuh maksud.

“Ya…. nduk, hasil keuntungan ini nanti Bapak belikan bajumu. Sabar ya.. nduk!” Ujar Pak Bahri seraya tersenyum getir memandangi anaknya.

Dian mengangguk lalu menunduk. Ia berharap ada orang kaya yang akan menyumbangkan kemeja bekas warna putih seukuran badannya. Langkahnya kian pasti mendorong gerobak ayahnya itu dari bagian belakang.

Belum hitungan sepuluh rumah yang mereka lewati, sekonyong-konyong dari arah kanan ada suara yang memanggil mereka.

“Hei…. rongsokan…!!!” Dian maklum mereka dipanggil dengan kata  rongsokan. Lagi-lagi Pak Bahri tersenyum getir.

“Sini… kemari!” Cukup nyaring suara itu terdengar.

Mereka menuju di mana sumber suara itu berada. Seorang anak, agaknya seumur dengan Dian, atau setahun lebih muda melambai-lambaikan tangannya. Dian terenyuh hatinya disapa dengan rongsokan.

“Yah, itulah  sebagian sikap orang kaya, tidak peka atau sensitif terhadap orang miskin. Kebanyakan mereka memang sombong, tapi tak sedikit pula ada yang sangat peduli dengan sesama.” Demikian Pak Bahri memberi pengertian pada anaknya Dian. Dian tersenyum, senyum yang hanya bisa diartikan olehnya.

Hampir penuh isi gerobak mereka sore itu. Sehingga tampak kelelahan Pak Bahri menarik dan merengkuh lengan gerobak itu  dengan kedua tangannya, meski Dian telah mengeluarkan tenaga yang cukup banyak, terlihat dari posisi badannya miring enam puluh derajad ke depan.

Namun demikian, Pak Bahri merasa senang, seolah tak dirasakannya beban gerobaknya itu. Begitu pula Dian, ia tampak gembira dan bersemangat mendorong…. terus….. mendorong seakan tanpa lelah. Seingat Pak Bahri inilah muatan yang terbanyak setelah hampir dua tahun berpofesi sebagai tukang rongsokan.

Dari rumah orang kaya tadi mereka banyak mendapat barang-barang  seperti; kursi plastik, panci, wajan, berupa-rupa pakaian, dengan beragam ukuran, dan  sepasang sepatu. Dian berharap ada baju warna putih yang bisa dijadikan sebagai pengganti bajunya yang telah lusuh dan robek di kerah lehernya.

Sesampai di rumahnya, Dian dengan gesitnya memeriksa tumpukan pakaian bekas hasil mereka hari itu. Ternyata tak satu pun dari tumpukan baju itu seperti yang diharapkannya.

Ada  sepasang sepatu dalam tumpukan pakaian bekas tadi. Sepatu itu berwarna hitam bermerek terkenal, sungguh sangat menarik perhatian Dian. Tapi begitu sepatu itu dicoba dengan ukuran kakinya, ternyata masih terlalu besar. Pak Bahri kembali merasa sedih hatinya menyaksikan Dian  yang tiba-tiba murung wajahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun