Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Grevillea (35 selesai)

13 Agustus 2016   10:08 Diperbarui: 13 Agustus 2016   10:26 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

35. Grevillea

Biaya rumah sakit dan seluruh prosesi pemakaman Edo, semula jadi beban tersendiri bagi Hesty. Namun, untungnya, tiga hari setelah kejadian itu atas bantuan pihak Kepolisian, uang santunan asuransi kecelakaan dari lembaga asuransi terkenal dapat dicairkan. Rupanya tanpa sepengetahuan Hesty, Edo memiliki polis asuransi sejak dua tahun terakhir. Polis itu ia temukan, ketika ia mencari buku tabungannya pada keesokan harinya, setelah prosesi pemakaman Edo.  Hari itu juga, semuanya ia serahkan sama Nana.  Nanalah yang mengurusnya. Ya . . . jasa Nana selama ini tak mungkin ia lupakan seumur hidupnya. Nana melebihi dari seorang teman terdekatnya, bahkan.

              Sekarang Hesty dan Ratri, putri mungilnya tengah bersiap-siap untuk berangkat ke Solo. Nana sejak tadi malam ikut mengemasi barang-barang yang akan dibawanya. Mobil taksi baru saja datang, yang dipesan kemarin, sudah menunggu di depan  untuk segera mengantarkan mereka ke stasiun Gambir. Perjalanan dengan kereta api akan memakan waktu kurang lebih delapan jam.

              “Kamu harus pulang dulu, Hes! Menenangkan segala beban pikiranmu selama ini. Dan kedua orang tuamu wajib kamu kasih tahu. Pokoknya kamu harus bebas dari segala urusan di sini.  Setelah itu, aku selalu siap menunggu dan menerimamu di sini.” Ujar Nana tadi malam, sambil melipat pakaian Ratri dan memasukkannya ke dalam sebuah koper coklat berukuran sedang.

              Sementara itu, Hesty masih memandangi beberapa foto pada saat prosesi pemakaman Edo. Ada pula sejumlah foto waktu Hesty beberapa saat setelah melahirkan Ratri. Tampak di situ Edo dengan penuh kebapaan,  berpose mengekspresikan kebahagiaan, mengapit putri kesayangan mereka, yaitu Ratri. Tak dapat dibayangkan kebahagiaan itu, lantaran harus menunggu lima tahun. Kini Edo rupanya harus meninggalkan mereka duluan untuk selama-lamanya. Agak lama Hesty memandangi foto itu. Ia meneguk ludahnya.

              “Ya, Nan!” jawabnya lemah. Sejenak ia mengusapi matanya. Rupanya di situ ada air pelan-pelan keluar dari kelopaknya. Beberapa foto tadi ditaruhnya kembali ke dalam kantong di dalam koper itu. Hesty masih mengalami kesedihan yang begitu sulit ia lenyapkan. Dan pada saat yang sama, ia juga ingin mengenang kembali masa kebahagiaannya dengan Edo, meskipun episode demi episode kedukaannya terus saja menjelma selama hidupnya bersama almarhum suaminya itu.  Hesty tersenyum tulus, karena ia merasa berhasil memainkan perannya dalam keseluruhan dari rangkaian episode kehidupannya tersebut.

              Sampai di Solo nanti, Hesty siap menerima berondongan kata-kata ibunya yang paling menyakitkan, akan ditelannya sebagai obat yang paling mujarab untuk menghapus segala kesalahannya selama ini . . .  jika memang segala keputusannya untuk menikah dengan almarhum Edo itu adalah kekeliruan besar. Ia nanti hanya akan mengiyakan semua kalimat ibunya itu, yang ia akhiri dengan seuntai kalimat singkat; “ . . . tapi tolong, Bu! Hargai keputusanku, walau itu keliru di mata ibu!”Hesty yakin, waktu mereka bertiga berkunjung tempo hari ke rumah orangtuanya, ibunya belum menerima seutuhnya sosok Edo. Kini Edo telah tiada.Ia telah melabuhkan takdirnya bersama sang suami tercinta itu sampai ke tepian.

              Mang Kardi, pria empat-puluhan, seorang sopir taksi, yang selalu setia memenuhi permintaan mereka, mulai merapikan koper-koper ke dalam bagasi mobil. Sejumlah barang lainnya, termasuk boneka kesayangan Ratri diletakkan di jok depan.

              “Ada lagi, Neng?” Tanya Mang Kardi.

              “Udah, Mang!” sahut Hesty di ambang pintu rumahnya.

              Hesty hanya membawa barang secukupnya. Paling lama rencana mereka di Solo dua minggu, sesudah itu kembali lagi ke Jakarta. Urusan dengan Pak Bermawi belum selesai. Waktu prosesi pemakaman Edo, Pak Bermawi serta istrinya datang melayat sampai usai. Pria lima-puluhan yang membeli rumahnya menaruh simpati pada Hesty. Bahkan istrinya pun sampai sesengukan dan merah pelupuk matanya menyaksikan peristiwa yang amat menyedihkan itu.

              Dan hati Hesty lega, ketika istri Pak Bermawi mengatakan; “Soal uang muka rumahmu itu . . . tidak perlu buru-buru kamu kembalikan. Tenangkanlah dulu pikiran dan jaga kesehatanmu . . .” begitu sejuk kata-kata itu dalam hatinya. Dalam diri perempuan, di samping ada sisi kekurangan, ternyata banyak pula kelebihannya. Demikian Hesty melihat istri Pak Bermawi.          

              Mesin mobil sudah dihidupkan Mang Kardi. Hesty dan putrinya, Ratri, baru saja masuk ke jok belakang. Ketika Nana menutupkan pintu mobil untuk mereka, saat itu pula tiba-tiba muncul sebuah mobil sedan khas kepolisian. Tentu saja Hesty kaget, ada gerangan apa ini?

              Dua orang polisi turun dari mobil itu, berpakaian lengkap kedinasan. Lalu disusul, keluar lagi dua pria berpakaian publik. Dari dalam mobil Hesty mengawasi, ia belum keluar. Kedua polisi tadi mendekati Nana. Setelah itu, Nana sedikit bergegas mendekati Hesty, yang masih di dalam mobil.  Rupanya memang Hesty-lah yang ingin mereka temui.

              Hesty lalu keluar dari mobil. Betapa kagetnya ia, salah seorang pria yang berpakaian publik tadi, tidak lain dan tidak bukan adalah mantan majikannya, yaitu Mulyadi,MBA. Cepat ia membuang muka, dan berusaha menyembunyikan perasaannya, seolah ia tidak mengenal pria yang pernah menyakiti hatinya itu. Wajah Mulyadi tampak lesu dan sulit sekali mendongakkan wajahnya.  Seolah tulang penghubung tengkoraknya patah. Ada apa ini, bisiknya dalam hati. Mengapa polisi membawa pria brengsek ini?

              “Bu Hesty, kami datang kemari ingin konfirmasi . . . “ salah seorang anggota polisi itu membuka pembicaraan.

              “Iya, Pak, ada apa Pak?” Tanya Hesty setengah heran.

              “Apa betul Bu Hesty kenal dengan Bapak ini?” polisi menunjuk Mulyadi di sampingnya. Hesty menoleh sejenak ke arah Mulyadi, dengan ekspresi tidak tahu sama sekali. Berhasil sekali ia memainkan perannya di hadapan dua orang berseragam polisi itu. Mulyadi terpojok. Tak sepatah pun kata yang keluar dari mulutnya.

              “Tidak, Pak! Kenapa Pak?” Rasa heran Hesty bertambah-tambah. Lalu polisi menceritakan kepadanya, bahwa kasus tabrak lari yang menimpa Edo itu adalah sopirnya Mulyadi, yang kini sedang ditahan oleh pihak kepolisian. Takjim Hesty mendengar polisi tersebut.

              Seingatnya, Mulyadi tidak memiliki sopir, ia sendirilah yang selalu menyetir kemana-mana. Ia yakin hari itu, Mulyadi sengaja menyewa seseorang untuk menabrak suaminya. Alangkah kejamnya pria ini, pikirnya. Mulyadi pasti berharap dengan tewasnya Edo dalam ‘kecelakaan’ itu, lalu Hesty akan sekonyong-konyong menyerahkan hidup dan nasibnya pada Mulyadi. Mantan majikannya itu tidak menyadari, bahwa perbuatannya konyol, melanggar hukum, dan itu teramat sulit dimaafkan.

              Setelah mendengar cerita polisi itu, tiba-tiba Hesty merasa mual, dan hampir saja seluruh isi lambungnya ia muntahkan ke hadapan Mulyadi.

              “Maksud kedatangan Pak Mulyadi ini, pertama ingin meminta maaf secara pribadi kepada Bu Hesty. Kemudian Beliau ingin sekedar menyumbang dana bantuan atas terjadinya musibah itu” sambung polisi itu lagi.

              “Saya tidak perlu memberikan maaf kepada Bapak ini, saya hanya memohon kepada Bapak Polisi, bahwa sopir yang ditahan itu, segera dibebaskan, maaf, saya tidak membutuhkan dana bantuan itu dan saya kira segala urusannya serahkan semuanya kepada Bapak ini!” tegas dan lancar sekali Hesty mengeluarkan isi hatinya yang luka sambil menunjuk ke arah Mulyadi. Jika itu memang sopir Bapak ini, seorang majikan harus bertanggungjawab sepenuhnya, tambah Hesty. Ia ungkapkan kalimat terakhir ini dengan lugasnya, dan penuh energi.

              Mendengar penjelasan Hesty, wajah Mulyadi jadi semakin kecut dan merah padam. Seketika kegagahan dan kewibawaannya terjun bebas di hadapan Hesty. Dua orang polisi itu, seperti orang kebingungan berat, tidak sepatah kata pun menimpali ucapan Hesty.

              “Maaf, Pak! Saya buru-buru”, ujar Hesty kemudian seraya memasuki mobil taksi Mang Kardi lagi.

              Mobil itu perlahan-lahan meninggalkan rumahnya, sampai akhirnya tidak kelihatan lagi oleh sejumlah pasang mata di tempat itu, termasuk Mulyadi. Ia tidak ingin masa lalunya yang kelam dan mengharu-biru itu terkuak kembali. Sehingga akan membuka luka hatinya yang belum sempurna sembuh. Ia akan berusaha melupakan masa lalunya yang pahit itu. Jangan pernah ada orang yang memulainya lagi.

              Sesampai di Solo keesokan paginya, Hesty dan putrinya, Ratri, langsung menjenguk bunga kesayangannya; grevilleadalam pot besar yang terpelihara dengan baik. Itu berkat mamanya, yang selalu rajin menyiraminya.

              Bunga grevillea itu bagi mamanya merupakan representasi diri Hesty, sekaligus menyimbolkan masa remajanya yang ceria, ketika ia masih tinggal bersama orangtuannya. Batangnya kini bertambah besar dan. kokoh. Namun, dedaunan  dan putik-putik bunganya sejak dulu tak pernah berubah, selalu segar dan memesona.

--Selesai--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun