“Saya tidak perlu memberikan maaf kepada Bapak ini, saya hanya memohon kepada Bapak Polisi, bahwa sopir yang ditahan itu, segera dibebaskan, maaf, saya tidak membutuhkan dana bantuan itu dan saya kira segala urusannya serahkan semuanya kepada Bapak ini!” tegas dan lancar sekali Hesty mengeluarkan isi hatinya yang luka sambil menunjuk ke arah Mulyadi. Jika itu memang sopir Bapak ini, seorang majikan harus bertanggungjawab sepenuhnya, tambah Hesty. Ia ungkapkan kalimat terakhir ini dengan lugasnya, dan penuh energi.
Mendengar penjelasan Hesty, wajah Mulyadi jadi semakin kecut dan merah padam. Seketika kegagahan dan kewibawaannya terjun bebas di hadapan Hesty. Dua orang polisi itu, seperti orang kebingungan berat, tidak sepatah kata pun menimpali ucapan Hesty.
“Maaf, Pak! Saya buru-buru”, ujar Hesty kemudian seraya memasuki mobil taksi Mang Kardi lagi.
Mobil itu perlahan-lahan meninggalkan rumahnya, sampai akhirnya tidak kelihatan lagi oleh sejumlah pasang mata di tempat itu, termasuk Mulyadi. Ia tidak ingin masa lalunya yang kelam dan mengharu-biru itu terkuak kembali. Sehingga akan membuka luka hatinya yang belum sempurna sembuh. Ia akan berusaha melupakan masa lalunya yang pahit itu. Jangan pernah ada orang yang memulainya lagi.
Sesampai di Solo keesokan paginya, Hesty dan putrinya, Ratri, langsung menjenguk bunga kesayangannya; grevilleadalam pot besar yang terpelihara dengan baik. Itu berkat mamanya, yang selalu rajin menyiraminya.
Bunga grevillea itu bagi mamanya merupakan representasi diri Hesty, sekaligus menyimbolkan masa remajanya yang ceria, ketika ia masih tinggal bersama orangtuannya. Batangnya kini bertambah besar dan. kokoh. Namun, dedaunan dan putik-putik bunganya sejak dulu tak pernah berubah, selalu segar dan memesona.
--Selesai--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H