25. Pelan . . . Pelan Sekali!
Mata Hesty terbelalak, ketika melihat rincian biaya, yang harus dibayarnya saat pengambilan obat di apotik itu. Biaya obat-obat sebelumnya masih dianggapnya wajar. Tapi kini obat yang harus ia tebus itu, di luar kemampuannya, mengindikasikan betapa berat penyakit suaminya.
“Ambil semua atau separuh dulu, Mbak!” kata pelayan wanita apotik itu tanpa ekspresi. Barangkali dalam kepala wanita itu, agar Hesty cepat-cepat ambil keputusan. Pelayan apotik itu ingin segera melakukan pekerjaannya, dikarenakan masih banyak yang mengantri di belakang Hesty. Lagi pula, sudah berlaku pula agaknya waktu adalah uang dan kesempatan. Pelayan apotik itu tentu sudah diberi pembekalan yang jitu oleh sang majikan; bagaimana seharusnya menghadapi klien, yang kebanyakan memang terkategori golongan ekonomi sedang.
Mereka, para pengusaha apotik, banyak disinyalir oleh media massa, seringkali ‘main mata’ dengan paramedis. Mereka seolah termasuk orang yang tidak mau tahu dengan kondisi konsumennya, mirip-mirip dengan perangai anggota dewan yang terhormat atau kaum rentenir berlagak tanpa dosa melayani pelanggannya. Semata-mata yang mereka pikirkan hanya uang, uang, dan uang. Hesty menarik napas panjang sambil melihat dengan cermat angka yang harus ia bayar untuk obat itu.
Terhadap pelayan apotik itu, Hesty tidak menjawab, lama ia terdiam memelototi angka-angka dalam rincian itu. Angka-angka itu seakan-akan mengejeknya. Hesty sekonyong-konyong merasa pusing. Kepalanya ngenyut. Angka-angka itu kini terbahak-bahak ketawa menatap tajam wajahnya. Hesty merasa sangat terpojok.
“Sebentar, ya!” ujar Hesty pada si Kasir itu. Untung kegugupannya tidak terbaca, sebab di apotik itu begitu berjubelnya orang yang dengan ikhlas tapi terpaksa harus menurut dengan kemauan resep sang dokter, sibuk dengan rinciannya masing-masing. Ada yang terlihat tenang-tenang saja membayar obat walau berapa pun, seperti mau beli permen karet saja. Tapi lebih banyak yang memperlihatkan jidat berkerut, dengan mimik wajah seolah menyimpan dendam kesumat. Ada yang tiba-tiba berwajah marah waktu bergegas keluar meninggalkan gedung apotik, dibarengi dengan gerahamnya naik-turun dengan mulut komat-kamit mengeluarkan kata-kata yang sulit dimengerti. Pandangan matanya seperti menahan sinar matahari pukul dua belas siang.
Hesty duduk di sebuah bangku bagian pojok paling belakang. Sekali lagi ia pandangi rincian biaya obat yang harus ditebusnya untuk Edo. Suaminya itu kini sedang terbaring lemah tanpa daya, menunggu penanganan medis lebih lanjut.
Menurut dokter Agustina yang ramah dan lemah-lembut itu, setelah Edo dua hari lalu dicek kondisi kesehatannya secara menyeluruh melalui skening akurat, tim dokter menyimpulkan, bahwa Edo belum mungkin dioperasi, sebelum menelan lima macam pil plus dua macam cairan yang harus disuntikkan terlebih dahulu. Semua obat itu berdosis tinggi. Sejauhmana hasilnya, akan terlihat pada perkembangan berikutnya. Bisa langsung dioperasi atau tidak! Sampai kondisinya memenuhi persyaratan medis untuk itu. Lugas sekali dokter Agustina mendiskripsikan kondisi Edo.
Pikiran Hesty kacau-balau.
“Halo . . . halo, Nan!” Hesty menelpon Nana sahabat karibnya, setelah hampir satu jam duduk terpaku di ruang apotik yang ‘menyeramkan’ itu.
“Ya . . . ya . . . aku sendiri, Hes! Ada apa Hes!”
“Aku butuh bantuanmu lagi, Nan!” Betapa remuknya hati Hesty mengucapkan satu kalimat singkat ini. Selalu saja Nana yang dimintainya untuk membantunya selama ini. Mulai dari urusan kebutuhan Ratri sampai urusan dapurnya, sejak dulu waktu Edo masuk penjara, ia meminta bantuan Nana, jika kepepet.
“Sepanjang aku bisa, aku akan bantu, Hes!” begitu selalu respon Nana. Hesty merasa belum ada sejauh ini, rekan dan handai tolannya yang sebaik Nana. Terhadap kedua orang tuannya, Hesty selalu menghindar untuk meminta bantuan, mengingat ‘history’ perkawinannya. Ia malu mempertontonkan keadaannya pada sang ibu. Ibunyalah dulu yang paling menentang perkawinannya dengan Edo. Ia tidak mau ibunya merasa ‘menang’ atas keputusan pilihan hidupnya, walaupun kini memang ia kalah, bahkan remuk redam.
Sekali pun Nana hanya bisa membantu sesuai kemampuannya, Hesty merasa lega siang itu. Ia tebus obat itu dalam takaran separuhnya. Tak kurang dari lima juta lebih nilai obat yang harus diserahkannya kepada dokter Agustina, selaku penanggungjawab perawatan Edo. Ia tidak menyangka sama sekali suaminya akan separah ini. Perhiasan berupa kalung dan cincinnya dari Edo, yang belum lama dimilikinya, seminggu yang lalu sudah duluan diserahkannya kepada pihak rumah sakit berikut surat sertifikat tanah dan rumahnya sebagai jaminan perawatan Edo. Menejemen rumah sakit sangat teliti dalam hal itu.
Bersama dokter Agustina, sekarang Hesty memasuki kamar Edo. Begitu sampai di dalam, ia pandangi dengan cermat wajah suaminya yang kaku. “Dosa apa yang telah engkau perbuat, Mas!” bisiknya dalam hati untuk yang ke sekian kalinya. Ia benar-benar terpukul menyaksikan kondisi suaminya yang amat mencemaskannya itu.
Seandainya Hesty tahu dengan perangai suaminya, barangkali ia bahkan akan merasa ‘puas’ terhadap apa yang terjadi pada Edo ini. Barangkali ia akan membiarkan suaminya tergeletak tak berdaya entah dimana, sebagai hukuman atas perbuatan yang telah dilakukannya. Atau ia memang tidak memedulikan semua hal yang memuakkannya, yang telah dilakukan Edo. Yang terpenting kini suaminya perlu penanganan serius. Hanya ialah yang lebih tahu.
Dengan kesadaran sebagai seorang istri, ia wajib bertanggungjawab atas sang suami. Demikian pula sebaliknya. Itulah barangkali bakti tertingginya untuk orang yang dikasihi sepenuh hatinya. Bukankah agamanya mengajarkan demikian? Bagaimana pengabdian Siti Fatimah, putri kesayangan Baginda Rosulullah SAW, terhadap suaminya Ali. RA, yang sering dibacanya berulang-ulang setiap kali ia mau tidur beristirahat setiap malam. Inilah energi sekaligus spiritnya untuk tak pernah padam mengurusi Edo, suaminya.
Sementara itu, dokter Agustina tidak pernah bercerita kepada Hesty perihal paru-paru suaminya. Berdasarkan hasil ronsen dan skening beberapa hari yang lalu, terdeteksi nyata, bahwa kerusakan paru-paru Edo diakibatkan oleh nikotin rokok yang menahun, dan terdeteksi pula dipicu oleh alkohol berat sejak beberapa minggu terakhir. Dokter Agustina tidak menceritakan ini, sebab Hesty memang tidak memintanya, dan dokter Agustina kuatir jika Hesty shokmendengarnya. Dalam hatinya, dokter Agustina berharap jangan sampai Hesty ingin tahu secara mendetail perihal penyakit suaminya itu.
Kini kedua mata Edo masih tertutup rapat. Mulutnya sedikit ternganga. Napasnya terengah-engah, berat. Kedua lubang hidungnya dirambati selang dari tabung oksigen. Setiap kali Edo menarik napasnya, menimbulkan bunyi tarikan dengan intonasi memelas. Edo sama sekali tidak mengetahui kedatangan istrinya hari itu. Ia seolah berkonsentrasi penuh terhadap penderitaan yang amat memilukan itu.
Agak lama Hesty memandangi suaminya, entah apa yang ada dalam pikirannya. Boleh jadi ia menyesali dirinya, dan membenarkan sikap ibunya dulu, yang menolak habis-habisan akan keputusannya untuk kawin lari dengan Edo. Tapi, tidak! Itu memang pilihannya. Apa yang dialaminya ini, semata-mata ujian dari yang Maha Kuasa, Insya’ Allah, ia akan menang dalam ujiannya ini. Dengan begitu ia akan ‘naik kelas’. Sikap menyesali diri atas apa yang telah diputuskan, bukanlah sikap manusia beriman. Begitu bisik hatinya
Sebelum meninggalkan ruangan itu, dokter Agustina dengan telatennya mengecek peredaran cairan infus yang ditusukkan melalui lengan kiri Edo, sekaligus mengecek suhu badannya. Profesional sekali dokter muda itu melakukannya.
Hari sudah beranjak sore. Hesty pamit dengan dokter Agustina. Menjelang pintu keluar, dokter Agustina kembali mengingatkan Hesty.
“Hes, tolong usahakan obat Edo dua hari lagi, ya!”
Hesty hanya mengangguk. Pelan . .. pelan sekali!
Hatinya bertambah kelu dalam perjalanan pulang.. Soal pembiayaan Edo, ia akan merelakan apa yang bisa dijual, termasuk rumah.
Rumah sedehana yang mereka miliki itu, terletak di sebuah kompleks perumahan. Selama lima tahun mereka berjuang menyisihkan sebagian besar pendapatan mereka, untuk mewujudkannya.
Semula rumah yang kini sudah cukup layak untuk dihuni itu, memang hanya bertipe T.21. Sudah berkali-kali mengalami renovasi, sehingga kamar tidurnya saja sudah berjumlah tiga. Kebetulan letak rumah itu berada di persimpangan jalan, luas tanahnya lebih besar dari yang lainnya. Tentu, harganya pun lebih mahal dari ukuran normal. Memiliki sebuah rumah yang layak, memang sudah jadi komitmen kuat mereka berdua.
Suatu malam yang hening, ketika kedua matanya sulit diajak kompromi, pikiran Hesty melalangbuana entah kemana. Lalu, sampai pada satu titik, yaitu ia harus melepas rumah, yang dengan susah payah didapatnya ini demi kesembuhan suaminya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H