“Aku butuh bantuanmu lagi, Nan!” Betapa remuknya hati Hesty mengucapkan satu kalimat singkat ini. Selalu saja Nana yang dimintainya untuk membantunya selama ini. Mulai dari urusan kebutuhan Ratri sampai urusan dapurnya, sejak dulu waktu Edo masuk penjara, ia meminta bantuan Nana, jika kepepet.
“Sepanjang aku bisa, aku akan bantu, Hes!” begitu selalu respon Nana. Hesty merasa belum ada sejauh ini, rekan dan handai tolannya yang sebaik Nana. Terhadap kedua orang tuannya, Hesty selalu menghindar untuk meminta bantuan, mengingat ‘history’ perkawinannya. Ia malu mempertontonkan keadaannya pada sang ibu. Ibunyalah dulu yang paling menentang perkawinannya dengan Edo. Ia tidak mau ibunya merasa ‘menang’ atas keputusan pilihan hidupnya, walaupun kini memang ia kalah, bahkan remuk redam.
Sekali pun Nana hanya bisa membantu sesuai kemampuannya, Hesty merasa lega siang itu. Ia tebus obat itu dalam takaran separuhnya. Tak kurang dari lima juta lebih nilai obat yang harus diserahkannya kepada dokter Agustina, selaku penanggungjawab perawatan Edo. Ia tidak menyangka sama sekali suaminya akan separah ini. Perhiasan berupa kalung dan cincinnya dari Edo, yang belum lama dimilikinya, seminggu yang lalu sudah duluan diserahkannya kepada pihak rumah sakit berikut surat sertifikat tanah dan rumahnya sebagai jaminan perawatan Edo. Menejemen rumah sakit sangat teliti dalam hal itu.
Bersama dokter Agustina, sekarang Hesty memasuki kamar Edo. Begitu sampai di dalam, ia pandangi dengan cermat wajah suaminya yang kaku. “Dosa apa yang telah engkau perbuat, Mas!” bisiknya dalam hati untuk yang ke sekian kalinya. Ia benar-benar terpukul menyaksikan kondisi suaminya yang amat mencemaskannya itu.
Seandainya Hesty tahu dengan perangai suaminya, barangkali ia bahkan akan merasa ‘puas’ terhadap apa yang terjadi pada Edo ini. Barangkali ia akan membiarkan suaminya tergeletak tak berdaya entah dimana, sebagai hukuman atas perbuatan yang telah dilakukannya. Atau ia memang tidak memedulikan semua hal yang memuakkannya, yang telah dilakukan Edo. Yang terpenting kini suaminya perlu penanganan serius. Hanya ialah yang lebih tahu.
Dengan kesadaran sebagai seorang istri, ia wajib bertanggungjawab atas sang suami. Demikian pula sebaliknya. Itulah barangkali bakti tertingginya untuk orang yang dikasihi sepenuh hatinya. Bukankah agamanya mengajarkan demikian? Bagaimana pengabdian Siti Fatimah, putri kesayangan Baginda Rosulullah SAW, terhadap suaminya Ali. RA, yang sering dibacanya berulang-ulang setiap kali ia mau tidur beristirahat setiap malam. Inilah energi sekaligus spiritnya untuk tak pernah padam mengurusi Edo, suaminya.
Sementara itu, dokter Agustina tidak pernah bercerita kepada Hesty perihal paru-paru suaminya. Berdasarkan hasil ronsen dan skening beberapa hari yang lalu, terdeteksi nyata, bahwa kerusakan paru-paru Edo diakibatkan oleh nikotin rokok yang menahun, dan terdeteksi pula dipicu oleh alkohol berat sejak beberapa minggu terakhir. Dokter Agustina tidak menceritakan ini, sebab Hesty memang tidak memintanya, dan dokter Agustina kuatir jika Hesty shokmendengarnya. Dalam hatinya, dokter Agustina berharap jangan sampai Hesty ingin tahu secara mendetail perihal penyakit suaminya itu.
Kini kedua mata Edo masih tertutup rapat. Mulutnya sedikit ternganga. Napasnya terengah-engah, berat. Kedua lubang hidungnya dirambati selang dari tabung oksigen. Setiap kali Edo menarik napasnya, menimbulkan bunyi tarikan dengan intonasi memelas. Edo sama sekali tidak mengetahui kedatangan istrinya hari itu. Ia seolah berkonsentrasi penuh terhadap penderitaan yang amat memilukan itu.
Agak lama Hesty memandangi suaminya, entah apa yang ada dalam pikirannya. Boleh jadi ia menyesali dirinya, dan membenarkan sikap ibunya dulu, yang menolak habis-habisan akan keputusannya untuk kawin lari dengan Edo. Tapi, tidak! Itu memang pilihannya. Apa yang dialaminya ini, semata-mata ujian dari yang Maha Kuasa, Insya’ Allah, ia akan menang dalam ujiannya ini. Dengan begitu ia akan ‘naik kelas’. Sikap menyesali diri atas apa yang telah diputuskan, bukanlah sikap manusia beriman. Begitu bisik hatinya
Sebelum meninggalkan ruangan itu, dokter Agustina dengan telatennya mengecek peredaran cairan infus yang ditusukkan melalui lengan kiri Edo, sekaligus mengecek suhu badannya. Profesional sekali dokter muda itu melakukannya.
Hari sudah beranjak sore. Hesty pamit dengan dokter Agustina. Menjelang pintu keluar, dokter Agustina kembali mengingatkan Hesty.