“Itulah masalahnya sekarang, Nan! Mas Edo akhir-akhir ini jadi cepat tersinggung. Jika aku mau ngomong harus seribu kali mikir dulu. Gengsinya Mas Edo kelewat tinggi. Ia takut kehilangan harga diri, padahal menurutku . . . realistislah menghadapi kenyataan.”
“Wah!! Cukup runyam juga masalahnya, Hes. Tapi kamu harus memberi pengertian yang sejujur-jujurnya. Katakan pada suamimu itu, bukan aku mau ikut campur dengan urusan kalian, kamu bekerja bukan untuk kepentingan sendiri tapi demi keluarga. Sebab, seringkali sang suami salah persepsi tentang ini. Kamu tidak bisa terus menerus membiayai hidupmu dari tabungan yang jumlahnya tidak seberapa itu“, panjang-lebar Nana menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh sahabat kentalnya itu. Dua kata ‘tidak seberapa’ yang barusan dilontarkan Nana, sempat menyenggol perasaan Hesty. Cepat ia lamun perasaannya itu sebab yang dilontarkan Nana benar adanya.
Nana ikut merasa prihatin apa yang dirasakan oleh Hesty. Kapan saja Hesty mau bergabung dengannya, membantu mengembangkan usahanya, saat itu pula dengan senang hati Nana akan menerimanya. Sejak dulu.
“Terima kasih, Nan!“ kata Hesty seraya bangun dari duduknya, ia langsung memeluk Nana penuh keharuan yang menimpa dirinya itu.
Saat seperti ini bagi Hesty, Nana bukanlah cuma sekedar teman biasa yang akrab. Nana lebih dari itu. Di saat ia dalam kesulitan, Nana selalu tampil memberi pertimbangan, dan bahkan solusi nyata, bukan sekedar kata-kata manis, enak ditelan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Sudah lama sebenarnya, Nana mengharapkan Hesty bergabung dengannya. Jauh sebelum Hesty bekerja pada perusahaan Mulyadi, namun Hesty selalu menolak dengan alasan; tidak enak bekerja dengan seorang teman, takut dimanja dan menuntut fasilitas lebih. Kemudian menyusul perkara klasik, yaitu urusan mutu produk tidak diutamakan akibat bercokolnya primordialisme dalam sebuah organisasi unit usaha. Suatu alasan yang logis. Hesty takut jika itu terjadi, justru akan meretakkan hubungan, dan bahkan mematahkannya.
Dalam level yang lebih luas, Hesty memang tidak suka ada aroma ‘dinasti’ dalam struktur organisasi pemerintah misalnya, sebab sudah pasti akan terjadi banyak ‘kongkalikong’, akibatnya kepentingan orang banyak terabaikan. Praktek korupsi merajalela terjadi di sana. Hesty sedikit rajin mengikuti pemberitaan di media massa. Ia selalu geram dengan kelakuan penyelenggara Negara, yang sengaja atau tidak, mengabaikan tanggungjawab tugas yang diembannya. Juga keberingasan sosial dampak langsung dari penegakan hukum yang kedodoran karena adanya praktek yang menyebalkan itu.
Usaha Nana kini memang berhasil. Dimulai dari modal kecil, peralatan sederhana, dan dengan ketekunan penuh, akhirnya usaha pakaian jadi Nana berkembang demkian pesat. Bahkan beberapa bulan terakhir ini terlalu banyak permintaan terhadap produknya. Itulah sebabnya Nana menginginkan Hesty untuk membantunya.
“Aku pulang dulu, Nan! Sewaktu-waktu aku telpon kamu,“ kata Hesty. Ia keluar meninggalkan rumah Nana, yang sering dipermak hingga menjadi rumah yang indah, sekaligus tempat usaha permanen di dalamnya.
Melihat perkembangan Nana sedemikian itu, ada tersembul perasaan iri Hesty. Iri dalam makna positip; mengapa dulu ia tidak mengikuti jejak temannya itu? Dalam perjalanan pulang kepalanya dimuati oleh rencana-rencana usaha mandiri yang akan dilakukannya, tapi kapan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H