Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Grevillea (13)

7 Juni 2016   08:25 Diperbarui: 7 Juni 2016   08:39 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              “Itulah masalahnya sekarang, Nan! Mas Edo akhir-akhir ini jadi cepat tersinggung. Jika aku mau ngomong harus seribu kali mikir dulu. Gengsinya Mas Edo kelewat tinggi. Ia takut kehilangan harga diri, padahal menurutku . . . realistislah menghadapi kenyataan.”

              “Wah!! Cukup runyam juga masalahnya, Hes. Tapi kamu harus memberi pengertian yang sejujur-jujurnya. Katakan pada suamimu itu, bukan aku mau ikut campur dengan urusan kalian, kamu bekerja bukan untuk kepentingan sendiri tapi demi keluarga. Sebab, seringkali sang suami salah persepsi tentang ini. Kamu tidak bisa terus menerus membiayai hidupmu dari tabungan yang jumlahnya tidak seberapa itu“, panjang-lebar Nana menanggapi permasalahan yang dihadapi oleh sahabat kentalnya itu. Dua kata ‘tidak seberapa’ yang barusan dilontarkan Nana, sempat menyenggol perasaan Hesty. Cepat ia lamun perasaannya itu sebab yang dilontarkan Nana benar adanya.

              Nana ikut merasa prihatin apa yang dirasakan oleh Hesty. Kapan saja Hesty mau bergabung dengannya, membantu mengembangkan usahanya, saat itu pula dengan senang hati Nana akan menerimanya. Sejak dulu.

              “Terima kasih, Nan!“ kata Hesty seraya bangun dari duduknya, ia langsung memeluk Nana penuh keharuan yang menimpa dirinya itu.

              Saat seperti ini bagi Hesty, Nana bukanlah cuma sekedar teman biasa yang akrab. Nana lebih dari itu. Di saat ia dalam kesulitan, Nana selalu tampil memberi pertimbangan, dan bahkan solusi nyata, bukan sekedar kata-kata manis, enak ditelan bagi siapa saja yang mendengarnya.

              Sudah lama sebenarnya, Nana mengharapkan Hesty bergabung dengannya. Jauh sebelum Hesty bekerja pada perusahaan Mulyadi, namun Hesty selalu menolak dengan alasan; tidak enak bekerja dengan seorang teman, takut dimanja dan menuntut fasilitas lebih. Kemudian menyusul perkara klasik, yaitu urusan mutu produk tidak diutamakan akibat bercokolnya primordialisme dalam sebuah organisasi unit usaha. Suatu alasan yang logis. Hesty takut jika itu terjadi, justru akan meretakkan hubungan, dan bahkan mematahkannya.

              Dalam level yang lebih luas, Hesty memang tidak suka ada aroma ‘dinasti’ dalam struktur organisasi pemerintah misalnya, sebab sudah pasti akan terjadi banyak kongkalikong, akibatnya kepentingan orang banyak terabaikan. Praktek korupsi merajalela terjadi di sana. Hesty sedikit rajin mengikuti pemberitaan di media massa. Ia selalu geram dengan kelakuan penyelenggara Negara, yang sengaja atau tidak, mengabaikan tanggungjawab tugas yang diembannya. Juga keberingasan sosial dampak langsung dari penegakan hukum yang kedodoran karena adanya praktek yang menyebalkan itu.  

              Usaha Nana kini memang berhasil. Dimulai dari modal kecil, peralatan sederhana, dan dengan ketekunan penuh, akhirnya usaha pakaian jadi Nana berkembang demkian pesat. Bahkan beberapa bulan terakhir ini terlalu banyak permintaan terhadap produknya. Itulah sebabnya Nana menginginkan Hesty untuk membantunya.

              “Aku pulang dulu, Nan! Sewaktu-waktu aku telpon kamu,“ kata Hesty. Ia keluar meninggalkan rumah Nana, yang sering dipermak hingga menjadi rumah yang indah, sekaligus tempat usaha permanen di dalamnya.

              Melihat perkembangan Nana sedemikian itu, ada tersembul perasaan iri Hesty. Iri dalam makna positip; mengapa dulu ia tidak mengikuti jejak temannya itu? Dalam perjalanan pulang kepalanya dimuati oleh rencana-rencana usaha mandiri yang akan dilakukannya, tapi kapan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun