Mohon tunggu...
Deddy Daryan
Deddy Daryan Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, menulis fiksi

HIdup ini singkat, wariskan yang terbaik demi anak-cucu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Grevillea (13)

7 Juni 2016   08:25 Diperbarui: 7 Juni 2016   08:39 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Edo sesekali menghembuskan asap rokoknya,  seraya menarik napasnya dalam-dalam. Tapi pikirannya cemas. Bagaimana sekiranya Budiono gagal memberinya pekerjaan. Kesal dan malu yang akan menghantui dirinya. Kesal terhadap dirinya sendiri, dan malu terhadap Hesty, istrinya. Lalu, ia akan menyumpahi dirinya sendiri.

              Edo bertempur habis-habisan dengan bathinnya. Sebagai seorang lelaki, dan terutama sebagai seorang suami, juga sebagai seorang ayah, ia harus menang dalam peperangan ini. Dulu, ketika ia berjuang habis-habisan untuk menyelesaikan kuliahnya, apa saja ia lakukan untuk menangguk rupiah demi rupiah. Prinsipnya, yang penting halal, tidak peduli apa jenis, bentuk, dan metodologi pekerjaannya. Ia ingat pernah suatu ketika, ia bersama seorang kawannya, Suryadi, namanya, diminta untuk menebang sejumlah pohon kelapa dalam sebidang lahan untuk dijadikan lokasi membangun sebuah rumah sakit modern. Kontan saja ia sanggupi pekerjaan itu setelah persetujuan pembiayaan disepakati. Padahal sama sekali Edo tidak memiliki pengalaman dalam perkara menebang pohon, baik dengan mesin ‘chainsaw’, maupun secara manual. 

              Sampai pada hari yang dijanjikan oleh Budiono minggu lalu, Edo tepati janji sobatnya itu. Di kantor Budiono, kenyataan ini yang ia dapatkan.

              “Aku menyesal sekali, Ed. Jangan kau kecewa. Aku telah berusaha maksimal, tapi gagal membantumu,” demikian jelas dan teratur susunan kosa kata Budiono, yang membuat raut wajah Edo mendadak lesu. Hatinya ngilu. Degup jantungnya melemah.

              “Terimakasih atas usahamu itu.  . . permisi!” Edo tak lagi menyalami sobat kentalnya  sejak masa kuliah dulu. Bergegas ia meninggalkan kantor Budiono. Posisi Budiono memang  amat sulit. Tak mungkin baginya menyingkirkan stafnya hanya karena temannya butuh pekerjaan. Tanpa sadar Budiono memukul ujung mejanya dengan kepalan tinjunya. Hanya ia yang tahu persis maknanya. Ia kesal dan bahkan merasa bersalah karena tidak mampu menolong teman akrabnya itu. Tadi, ia sudah menyediakan sebuah amplop yang berisi uang sekedar untuk transport Edo, tapi rupanya Edo sudah keduluan emosi, dan tanpa pamit meninggalkan kantornya. Budiono menyumpah-nyerapahi dirinya sendiri, sambil membenturkan kepala sendiri ke dinding tembok ruang kantornya.

              Betapa hancurnya hati Edo. Ternyata Hesty bukan cuma berandai-andai. Tapi nyata sekarang, bahwa ia gagal mendapatkan pekerjaan. Kemana lagi, pikirnya, sebab sudah tujuh perusahaan dalam tempo seminggu ini didatanginya. Untuk kembali ke perusahaan dulu, tidak mungkin. Edo sudah terlalu banyak mendapatkan kesan buruk, yang bahkan membuatnya masuk penjara, sekali pun belakangan ia tidak terbukti melakukan kesalahan. Edo sudah kadung bersumpah untuk selama-lamanya tidak akan pernah lagi berhubungan dengan kotraktornya itu.

              Ia masih berjalan dengan langkah kaki yang gontai di antara kerumunan manusia lalau .lalang di trotoar di bilangan Jakarta Barat. Manusia-manusia kota sebagian besar cuma mementingkan dirinya sendiri. Mereka berjuang sepenuh tenaga agar hidupnya tetap survive.  Wajar pula, pikirnya.

              Edo mampir di warung kopi. Hari beranjak sore. Tampak sekali ia bingung. Kata-kata apa yang harus diucapkannya nanti, jika Hesty membrondongnya dengan berbagai pertanyaan. Perasaannya ciut. Ia merasa dirinya tak berarti. Tidak kurang dari dua jam, ia baru meninggalkan warung kopi itu, dengan raut muka yang runyam. Ia membayangkan kata-kata yang menusuk perasaannya akan segera didapatnya sesampainya di rumah.

              Namun, kenyataannya tidak demikian. Hesty penuh kesabaran, yang memang sudah teruji selama ini. Hesty dapat memahami Edo seratus persen.

              “Sudahlah Mas, nggak usah terlalu banyak pikiran, siapa tahu besok atau lusa kita akan dapat  kesempatan lagi,” ujar Hesty ketika Edo selesai mandi menjelang maghrib.

              “Aku akan mencobanya lagi, Hes. Percayalah akan kulakukan sebisaku,” deseis Edo dengan sorot mata penuh keyakinan. Agak lama ia memandangi langit-langit kamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun