Mohon tunggu...
Emanuel Natalis
Emanuel Natalis Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STPM ST.Ursula Ende

Pengajar dan Advokat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Konflik dan Alternatif Penyelesaian Konflik

14 Februari 2024   13:41 Diperbarui: 14 Februari 2024   13:42 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memahami Jeni-Jenis Konflik dan Penyelesaian Konflik di Dalam dan di Luar Pengadilan"

A. PENDAHULUAN

Manusia sebagai mahkluk sosial memang tidak dapat hidup sendirian, dan membutuhkan sesamanya. Aristoteles misalnya menyebut manusia itu zoon politicon, artinya bahwa manusia pada dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya (J.B. Daliyo,1992:12). Kehadirannya di tengah masyarakat, membuat manusia dapat bertumbuh dan berkembang, serta mampu mengaktualisasikan dirinya, sesuai dengan cita-cita dan tujuan hidupnya. Disini, kehadiran masyarakat ibarat sebuah kolam air, di dalamnya ikan dapat hidup, dan berenang. Manusia akan menjadi jauh lebih maju dan berkembang karena diterima dan dihargai oleh sesamanya di dalam masyarakat.

Sebaliknya, Thomas Hobbes memandang manusia sebagai mesin yang anti sosial (Rofinus Neto Wuli,2019:191). Menurut Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lain. Manusia akan bertarung dengan sesamanya untuk memperebutkan atau mempertahankan sesuatu, dan bahkan untuk berjuang menaklukan orang lain. Pada titik ini, manusia lalu hadir sebagai suatu entitas yang akan berkonflik, yaitu ketika terjadi ketidakselarasan tujuan, kepentingan dan kebutuhan di antara mereka.

Konflik sering terjadi di dalam hidup manusia.Sebagai contoh konflik individu, konflik sosial, konflik antar suku, konflik antar agama, konflik antar negara, dsb. Kesemua konflik tersebut memang bukan suatu condition sine qua non, namun hampir pasti terjadi di dalam interaksi di antara manusia. Tentu menjadi hal yang positif dan membangun apabila konflik itu dengan segara dapat diatasi. Namun ketika konflik tidak dapat dikelolah dan berakhir pada kekerasan, maka hal itu sudah pasti mendatangan kerugian yang tidak sedikit pada diri manusia dan masyarakat, bahkan negara dan bangsa.

Tulisan ini dibuat dengan maksud agar manusia menyadari konflik yang terjadi di sekitarnya, dan perlunya konflik tersebut diselesaikan agar tidak berujung pada kekerasan. Termasuk mengetengahkan alternative penyelesaian konflik, baik melalui jalur hukum (litigasi/yudisial) dan jalur non hukum (non litigasi/non-yudisial).

B. ANATOMI KONFLIK DAN KEKERASAN

Konflik berasal dari kata Bahasa Latin "Confiktus"  yang  berarti saling serang, saling pukul. Menurut KBBI, Konflik sinonim dengan percekcokan; perselisihan; pertentangan. Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang/pihak atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan orang lain dengan membuatnya tidak berdaya (Lestari Viktoria Sinaga, 2019:202). Pada dasarnya, konflik dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu konflik horizontal dan konflik vertical. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam satu komunitas di wilayah suatu negara (Fendi F.F. Lengkey,2019:4). Sedangkan konflik vertical merupakan perselisihan atau pertentangan antara kelompok yang berkuasa terhadap kelompok yang dikuasai, kelompok yang memerintah dengan kelompok yang diperintah, serta pertentangan antara kelas yang ada dalam masyarakat.

Konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Konflik bisa saja melahirkan kekerasan, namun bisa juga tidak. Artinya konflik tidak selalu berakhir pada kekerasan, atau kekerasan muncul akibat dari konflik yang tidak dapat diselesaikan. Karena itu pendekatan dalam manajemen konflik biasanya menenkankan bahwa konflik tidak boleh dihindari, sebaliknya dihadapi. Dalam arti bagaimana manusia mengelolah dan dan mengambil hikmah dari pengalaman konflik agar konflik tidak berujung pada kekerasan.

Konflik yang berujung pada kekerasan dapat dikategorikan sebagai berikut (Rofinus Neto Wuli, 2020:190) :

Pertama, kekerasan karena konflik biologis, yang berasumsi bahwa manusia memiliki naluri agresif dalam struktur genetiknya. Hal ini yang mendorong manusia untuk menaklukan yang lain untuk mempertahankan dirinya. Latar belakangnya dapat didasari pada konsep genetis Charles Darwin bahwa manusia yang agresif yang dapat mempertahankan dirinya sehingga dapat bertahan hidup (survival of the fittest).

Kedua, kekerasan karena konflik psikologis, yang berasumsi bahwa kekerasa bermula dari konflik psikologis manusia. Oleh Sigmund Freud, konflik yang berujung pada kekerasan terjadi olehg karena kekuasaan insting manusia yang dipenuhi oleh kebencian, dendam, dan agresi. Disini, konflik bermula dari insting agresif manusia karena tuntutan-tuntutan instingnya untuk menguasai orang lain.

Ketiga, kekerasan karena konflik sosiologis, yang berasumsi bahwa kekerasan terjadi sebagai akibat dari adanya respon sosial terhadap struktur ataupun peristiwa sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Konflik terjadi karena control sosial yang berlebihan dalam masyarakat, ataupun karena ketiadaan control sosial, yang menimbulkan rasa frustasi, ataupun kekerasan.

Dalam konteks Indonesia, konflik dan kekerasan dapat menyebabkan tujuan bernegara tidak terwujud. Dalam mukadimah UUD Tahun 1945, telah ditegaskan tujuan bernegara seperti melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat tujuan bernegara ini tentu sulit untuk dicapai jika negara Indonesia mengalami konflik dan kekerasan, apalagi sampai pada tahap terciptanya budaya kekerasan (culture of violence). Oleh, Dr. Rofinus Neto Wuli, Indonesia pasca kemerdekaan Tahun 1945, telah mengalami sejumlah konflik dan kekerasan yang mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara, yaitu, konflik dan kekerasan di tingkat lokal, maupun konflik dan kekerasan di tingkat nasional.

Konflik dan kekerasan di tingkal lokal berupa konflik-konflik lokal atas nama SARA., dan konflik agraria atau perebutan tanah/lahan. Konflik lokal akibat SARA ini antara lain konflik Suku Dayak dan Madura di Kalimantan (1999-2006), yang diperkirakan menelan korban jiwa 10.000 orang, dan menyebabkan terusirnya ribuan orang Madura dari Pulau Kalimantan. Di Maluku terjadi konflik agama (1999-2002), hal mana bermula dari perselisihamn antar individu, sehingga disebut sebagai instrumentalisasi agama demi kepentingan pribadi atau golongan, yang menelan korban jiwa sebanyak 9.000 orang.

Sedangkan Konflik agraria dipandang sebagai konflik yang berhubungan dengan tanah, yang dipengaruhi oleh adanya penguasaan atas tanah serta perebutan sumber daya alam. Konflik agrarian ini terbagi atas konflik agrarian structural dan konflik agrarian kultural. Konflik agrarian structural terjadi sebagai akibat dari adanya perselisihan  penguasaan atau kepemilikan lahan antara individu, masyarakat atau kelompok dengan pemerintah atau korporasi. Sebaliknya, konflik agrarian kultural lebih kepada perselisihan antara individu atau sesama anggota masyarakat terhadap penguasaan hak ulayat atas tanah.

Konflik dan kekerasan di tingkat nasonal, terbagi atas; pertama, konflik dan kekerasan karena alasan separatisme. Seperti Pemberontakan Pemeintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan PERMESTA, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM). Konflik dan kekerasan karena separatisme biasanya lahir akibat adanya ketidakadilan baik dibidang ekonomi, budaya dan politis, sehingga menimbukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menjadi suatu negara baru yang merdeka. Kedua, konflik dan kekerasan karena alasan ideologis, sebagaimana yang nampak pada usaha kelompok-kelompok tertentu untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua kelompok pertama besar tersebut diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). PKI memaksakan idelogi komunis, sedangkan DI/TII ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Khusus yang terakhir, dewasa ini pemerintah dan masyarakat Indonesia cukup disibukkan dengan adanya gerakan radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada terorisme.

Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial, terdapat proses mengindentifikasi potensi konflik melalui langkah inventarisasi, penelitian, dan penentuan priotitas penanganan. Khusus terkait inventarisasi potensi konflik, dimana hal itu merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengumpulkan, mendatakan, dan mengelompokan berbagai potensi konflik yang dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Tercakup di dalamnya adalah perselisihan dalam pelaksanaan pemilu Legislatif, pemilu Presiden/Wapres, dan/atau Pilkada; konflik inter/ antar partai politik, dan organisasi masa yang berafilisiasi/sayap; kebijakan pemerintah antara lain atas kenaikan harga BBM dan/atau Sembako; Peraturan perundang-undangan yang menimbulkan reaksi penolakan dari masyarakat, seperti pemekaran wilayah; Perselisian perburuan dan hubungan industrial; Permasalahan transport; Masalah irigasi atau perebutan sumber air; Penggusuran tempat tinggal atau tempat usaha(relokasi); Kesenjangan antar kelompok atau kecemburuan sosial.

Selanjutnya potensi konflik terkait Perseteruan antar umat atau intra umat beragama, antar suku, dan antar etnik. Tercakup di dalamnya berupa reaksi atas pendirian rumah ibadah atau bangunan yang dijadikan tempat ibadah; Perbedaan aliran intraumat dan/atau antar umat beragama; Penistaan agama; Konflik antar suku/etnik, ras dan golongan; Perkelahian antar warga/kelompok/pelajar;  Konflik batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan propinsi seperti pemekaran wilayah, klaim atas wilayah tertentu dan batas wilayah yang tidak jelas. Ketika konflik itu berujung pada kekerasan dan menghasilkan budaya kekerasan dalam masyarakat, dan bahkan negara, maka masyarakat dan negara mengalami kerugiaan yang besar. Tidak saja menyangkut korban jiwa, namun juga kerugian di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik. Contohnya dalam Kasus Bom Bali I dan kasus Bom Bali II, terdapat ratusan jiwa yang meregang nyawa. Ekonomi Indonesia dan Pulau Bali tergoncang dikarenakan para wisatawan takut untuk berkunjung yang berakibat pada kasus PHK massal. Kondisi demikian menandaskan pentingnya manajemen konflik, yaitu bagaimana mengelolah dan mengambil hikmah dari konflik. Manajemen konflik hadir untuk melakukan kegiatan penanganan yang positif dan konstruktif terhadap konflik, agar melalui pengelolaan konflik, maka konflik tidak lagi bermuara pada kekerasan, tetapi sebaliknya berakhir pada perdamaian dan rekonsiliasi.

C. ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK

Umumnya dikenal bahwa penyelesaian konflik dilakukan melalalui jalur pengadilan. Akan tetapi, dewasa ini juga mulai sering ditempuh penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan (non yudisial), yang dikenal dengan nama penyelesaian konflik alternatif (Alternative dispute Resolution/ADR). Terlebih di kalangan dunia usaha, ADR menjadi suatu alternatif karena bercirikan win-win solution, penyelesaian konflik secara tuntas, sederhana, cepat, tidak birokratis, praktis dan murah (Marwah M. Diah, 2008:112). Di Indonesia, secara formal, ADR dikenal melalui Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbtrase dan Alternatif penyelesaian konflik. Undang-undang ini menjadi pedoman bagi penyelesaian konflik di luar forum pengadilan.

ADR sebagai suatu sistem dipandang sebagai model penyelesaian suatu konflik/konflik yang dapat disesuaikan dengan keinginan para pihak (tailor made system). Di dalamnya, ADR menawarkan beberapa bentuk proses penyelesaian konflik yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang berkonflik dalam rangka menuju kepada penyelesaian yang final dan mengikat (final and binding), serta saling menguntungkan. Tentu hal ini sangat cocok dengan budaya dan suasana kebatinan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang telah memiliki asas musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian konflik. Oleh Prof. Priyatna Abdurrasyid, ADR dapat mencapai hasil yang lebih baik daripada sistem pengadilan. Hal itu dikarenakan pertama, jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang berkonflik merancang tata cara/prosedur khusus untuk menyelesaikannya berdasarkan musyawarah. Kedua, mediasi dan bentuk ADR lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan akibatnya dikatakan bahwa ADR merupakan suatu cara penyelesaian perselisihan yang bukan lagi alternatif.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). APS diartikan sebagai lembaga penyelesaian konflik atau beda pendapat melaluji prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsolidasi,atau penilaian ahli (Ps. 1 angka 10) atau dilibatkan dalam penyelesaian konflik tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral.

Beberapa bentuk alternatif penyelesaian konflik (ADR) antara lain adalah negosiasi. Negosiasi adalah proses untuk mewujudkan kesepakatan dalam penyelesaian konflik antara para pihak. Negosiasi dalam sektor hukum berbeda dengan jenis negosisasi  lainnya karena dalam negosisasi hukum melibatkan lawyer atau penesehat hukum sebagai wakil para pihak yang berkonflik. Dalam negosiasi para pihak yang berkonflik itu sendiri menetapkan konsensus (kesepakatan) dalam penyelesaiqan konflik antara mareka tersebut peranan panasehat hukum adalah hanya membantu pihak yang berkonflik menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang menjadi tujuan pihak yangt berkonflik tersebut.

Negosiasi dilakukan karena telah ada konflik yang muncul diantara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat yang disebabkan karena belum ada pembicaraan tentang hal tersebut. Negosiasi mensyaratkan bahwa para pihak yangt berkonflik atau konsultan hukumnya mampu mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dan memberikan jalan keluar pemecahannya. Kesepakatan poenyelesaian konflik para pihak harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. (lihat juga pasal 1864 Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ).

Kedua, Mediasi. Pengertian mediasi adalah proses penyelesaian konflik dengan dibantui oleh pihak ketiga (mediator)yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian konflik untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh para pihak yang berkonflik. Mediasi biasanya merupakan pilihan penyelesaian  konflik lanjutan oleh pihak yang berkonflik setelah cara negosiasi tidak menemukan titik temu. Secara teoritis, bentuk mediasi memerlukan beberapa persyaratan agar prosesnya dapat berhasil, seperti misalnya para pihak yang berkonflik memiliki bargaining power  yang seimbang, dan para pihak masih mengharapkan hubungan baik pada masa yang akan datang.

Ketiga, Konsiliasi. Penyelesaian konflik melalui konsiliasi adalah penyelesaian konflik alternatif yang juga melibatkan pihak ketiga, baik sendiri maupun beberapa orang. Konsiliator biasanya seorang yang diakui kompetensi dan pengelamannya yang secara profesional telah diakui kemampuannya sebagai penengah. Konsiliatior memberikan pendapatnya dan membantu pihak berkonflik dengandaftar alternatif-alternatif yang dapat dipilih dalam menyelesaikan konflik. Jika para pihak sepakat makan para pihak itu sendiri yang akan menetapkan pilihan penyelesaian konflik antara mareka yang akan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian yang lengkap tentang konsiliasi, dan kata konsiliasi hanya terdapat dalam ketentuan umum dan penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut.

Keempat, Arbitrasi.  Arbitrase sebagai pranata hukum merupakan bentuk ADR yang paling populer dan banyak dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan konflik diantara mareka diantara bentuk bentuk ADR yang lain. Arbitrase telah memiliki pedoman yang lengkap baik arbitrase nasional maupun internasional, dan dianggap mempunyai banyak kelebihan dari bentuk ADR yang lain. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, dinyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu konflik perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berkonflik. Dalam arbitrase, konflik yang diperiksa dan dinilai oleh orang yang ahli dalam bidang/pokok permasalahan yang dikonflikan. Arbitrase adalah bentuk penyelesaian konflik alternatif yang dibuat berdasarkan perjanjian antara para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui hakim arbiter. Arbiter yang harus selalu dalam jumlah yang ganjil, merupakan pihak yang netral yang tidak memihak dan secara aktif serta profesional memiliki kewenangan memutuskan dalam penyelesaian konflik. Arbiter merupakan hakim swasta yang independen bagi para pihak yang berkonflik. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter, pilihan hukum yang mereka inginkan sehingga akan dirasakan bahwa arbitrase merupakan bentuk penyelesaian konflik yang sesuai dengan keinginan para pihak yang berkonflik tersebut. Arbitrase merupakan bentuk ADR yang lebih cepat, informal, murah dan tertutup dari perhatian publik.

Keempat bentuk penyelesaian konflik (ADR) di atas dilakukan di luar Pengadilan, hal mana memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana lebih disukai atau dianggap cocok dengan sifat dan bentuk konflik oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mareka hadapi. Pilihan ADR oleh pihak yang berkonflik merupakan hal yang didasari oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik antara mareka itu diluar proses penyelesaian konflik melalui Pengadilan (litigasi). Para pihak yang berkonflik terutama dari lingkungan bisnis telah menyadari bahwa penyelesaian konflik bisnis harus diselesaikan dengan cara dan sesuai dengan paradigma bisnis, yaitu,cepat, adil, bebas/fleksibel dan murah.

Kesemua alternatif penyelesaian sengketa di atas, lebih menyasar ke ranah perdata, yaitu terkait kepentingan orang per orang. Hukum perdata sebagai aturan hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan privat atau orang per orang, memang sangatlah cocok dengan ADR tersebut. Namun, di lain pihak, terdapat pula hukum publik, yaitu hukum pidana, yang secara jelas melarang dan mementukan sesuatu perbuatan itu sebagai tindak pidana, dan kepada pelaku pidanaya, akan diberi sanksi pidana. Dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya dua tata cara penegakan hukum, yaitu Criminal Justice System (sistem peradilan pidana) dan Restorative Justice System(sistem keadilan restoratif).

Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) mengharuskan setiap konflik sebagai akibat dari tindak pidana diselesaikan melalui jalur pengadilan. Disini, pelaku pidana yang menimbulkan konflik di tengah masyarakat, akan diproses oleh aparat hukum (kepolisian dan kejaksaan), dan kemudian diperhadapkan kepada hakim, untuk diadili dan dijatuhi putusan. Sebaliknya, dalam sistem keadilan restoratif (Restorative Justice System), terdapat beberapa tindak pidana, yang mana pelaku pidana tersebut, justru tidak diproses secara hukum melalui jalur pengadilan, melainkan dilakukan diversi, oleh pihak kepolisian dan/atau pihak kejaksaan, Di dalamnya, korban dan pelaku dipertemukan dan dicari titik temunya. Disini, sistem keadilan restoratif sebanding dengan proses ADR, yaitu melalui negosiasi dan mediasi. Dalam proses negosiasi dan mediasi ini, suara korban didengarkan, dan hak-haknya yang hilang dikembalikan oleh pelaku, disertai ganti rugi kepada korban. Sedangkan pelaku pidana yang menimbulkan konflik meminta maaf kepada korban, dan bersedia membayar ganti rugi kepada korban. Misalnya, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam peraturan tersebut, para jaksa tampil sebagai mediator di antara pelaku dan korban serta keluarga besar masing-masing, yang melakukan diversi agar pelaku tidak menempun proses peradilan, namun dengan kesepakatan damai dan pemberian ganti rugi kepada korban, maka pelaku tersebut, dapat dilepaskan (lepas demi hukum).

D. KESIMPULAN

Perkembangan masyarakat dan kemajuannya tidak jarang menimbulkan konflik yang berujung pada kekerasan. Konflik dan kekerasan tersebut perlu untuk dikelolah dan diselesaikan agar tidak terjadi siklus kekerasan yang tidak berujung. Bentuk penyelesaiannya yang paling umum adalah melalui lembaga pengadilan (yudisial/litigasi). Namun ternyata, penyelesaian konflik melalui pengadilan dianggap tidak lagi sesuai perkembangan zaman. Banyak perkara menumpuk, dan ketidakpuasan akibat sistemnya yang tertutup menjadi titik lemahnya. Oleh karena itu, alterative penyelesaian konflik di luar pengadilan (non yudisial/non litigasi) lalu menjadi keniscayaan pada saat ini.

Dalam bidang hukum perdata yang menyangkut hubungan orang per orang, terdapat beberapa jenis penyelesaian konflik, yaitu dengan cara konsultasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral. Jenis-jenis penyelesaian konflik konflik tersebut cocok dan serupa dengan budaya dan suasana kebatinan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang telah memiliki asas musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian konflik. Sedangkan, dalam bidang hukum pidana, dimana negara hadir mewakili korban, dikenal pula jenis penyelesaian konflik berupa negosiasi dan mediasi, yaiu melalui sistem keadilan restorative. Tentu saja tidak semua tindak pidana sumber konfliknya, dapat diselesaikan, namun dengan mempertemukan korban dan pelaku, maka suara dan hak-hak korban dapat diperjuangkan dan dipertahankan, sehingga melahirkan rekonsiliasi dan perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun