ADR sebagai suatu sistem dipandang sebagai model penyelesaian suatu konflik/konflik yang dapat disesuaikan dengan keinginan para pihak (tailor made system). Di dalamnya, ADR menawarkan beberapa bentuk proses penyelesaian konflik yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang berkonflik dalam rangka menuju kepada penyelesaian yang final dan mengikat (final and binding), serta saling menguntungkan. Tentu hal ini sangat cocok dengan budaya dan suasana kebatinan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang telah memiliki asas musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian konflik. Oleh Prof. Priyatna Abdurrasyid, ADR dapat mencapai hasil yang lebih baik daripada sistem pengadilan. Hal itu dikarenakan pertama, jenis perselisihan membutuhkan cara pendekatan yang berlainan dan para pihak yang berkonflik merancang tata cara/prosedur khusus untuk menyelesaikannya berdasarkan musyawarah. Kedua, mediasi dan bentuk ADR lainnya melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dalam usaha penyelesaian dari semua pihak dan akibatnya dikatakan bahwa ADR merupakan suatu cara penyelesaian perselisihan yang bukan lagi alternatif.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). APS diartikan sebagai lembaga penyelesaian konflik atau beda pendapat melaluji prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsolidasi,atau penilaian ahli (Ps. 1 angka 10) atau dilibatkan dalam penyelesaian konflik tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral.
Beberapa bentuk alternatif penyelesaian konflik (ADR) antara lain adalah negosiasi. Negosiasi adalah proses untuk mewujudkan kesepakatan dalam penyelesaian konflik antara para pihak. Negosiasi dalam sektor hukum berbeda dengan jenis negosisasi  lainnya karena dalam negosisasi hukum melibatkan lawyer atau penesehat hukum sebagai wakil para pihak yang berkonflik. Dalam negosiasi para pihak yang berkonflik itu sendiri menetapkan konsensus (kesepakatan) dalam penyelesaiqan konflik antara mareka tersebut peranan panasehat hukum adalah hanya membantu pihak yang berkonflik menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang menjadi tujuan pihak yangt berkonflik tersebut.
Negosiasi dilakukan karena telah ada konflik yang muncul diantara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat yang disebabkan karena belum ada pembicaraan tentang hal tersebut. Negosiasi mensyaratkan bahwa para pihak yangt berkonflik atau konsultan hukumnya mampu mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dan memberikan jalan keluar pemecahannya. Kesepakatan poenyelesaian konflik para pihak harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. (lihat juga pasal 1864 Bab XVIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ).
Kedua, Mediasi. Pengertian mediasi adalah proses penyelesaian konflik dengan dibantui oleh pihak ketiga (mediator)yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian konflik untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh para pihak yang berkonflik. Mediasi biasanya merupakan pilihan penyelesaian  konflik lanjutan oleh pihak yang berkonflik setelah cara negosiasi tidak menemukan titik temu. Secara teoritis, bentuk mediasi memerlukan beberapa persyaratan agar prosesnya dapat berhasil, seperti misalnya para pihak yang berkonflik memiliki bargaining power  yang seimbang, dan para pihak masih mengharapkan hubungan baik pada masa yang akan datang.
Ketiga, Konsiliasi. Penyelesaian konflik melalui konsiliasi adalah penyelesaian konflik alternatif yang juga melibatkan pihak ketiga, baik sendiri maupun beberapa orang. Konsiliator biasanya seorang yang diakui kompetensi dan pengelamannya yang secara profesional telah diakui kemampuannya sebagai penengah. Konsiliatior memberikan pendapatnya dan membantu pihak berkonflik dengandaftar alternatif-alternatif yang dapat dipilih dalam menyelesaikan konflik. Jika para pihak sepakat makan para pihak itu sendiri yang akan menetapkan pilihan penyelesaian konflik antara mareka yang akan dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan pengertian yang lengkap tentang konsiliasi, dan kata konsiliasi hanya terdapat dalam ketentuan umum dan penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut.
Keempat, Arbitrasi. Â Arbitrase sebagai pranata hukum merupakan bentuk ADR yang paling populer dan banyak dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan konflik diantara mareka diantara bentuk bentuk ADR yang lain. Arbitrase telah memiliki pedoman yang lengkap baik arbitrase nasional maupun internasional, dan dianggap mempunyai banyak kelebihan dari bentuk ADR yang lain. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, dinyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu konflik perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berkonflik. Dalam arbitrase, konflik yang diperiksa dan dinilai oleh orang yang ahli dalam bidang/pokok permasalahan yang dikonflikan. Arbitrase adalah bentuk penyelesaian konflik alternatif yang dibuat berdasarkan perjanjian antara para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui hakim arbiter. Arbiter yang harus selalu dalam jumlah yang ganjil, merupakan pihak yang netral yang tidak memihak dan secara aktif serta profesional memiliki kewenangan memutuskan dalam penyelesaian konflik. Arbiter merupakan hakim swasta yang independen bagi para pihak yang berkonflik. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter, pilihan hukum yang mereka inginkan sehingga akan dirasakan bahwa arbitrase merupakan bentuk penyelesaian konflik yang sesuai dengan keinginan para pihak yang berkonflik tersebut. Arbitrase merupakan bentuk ADR yang lebih cepat, informal, murah dan tertutup dari perhatian publik.
Keempat bentuk penyelesaian konflik (ADR) di atas dilakukan di luar Pengadilan, hal mana memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung yang mana lebih disukai atau dianggap cocok dengan sifat dan bentuk konflik oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mareka hadapi. Pilihan ADR oleh pihak yang berkonflik merupakan hal yang didasari oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik antara mareka itu diluar proses penyelesaian konflik melalui Pengadilan (litigasi). Para pihak yang berkonflik terutama dari lingkungan bisnis telah menyadari bahwa penyelesaian konflik bisnis harus diselesaikan dengan cara dan sesuai dengan paradigma bisnis, yaitu,cepat, adil, bebas/fleksibel dan murah.
Kesemua alternatif penyelesaian sengketa di atas, lebih menyasar ke ranah perdata, yaitu terkait kepentingan orang per orang. Hukum perdata sebagai aturan hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan privat atau orang per orang, memang sangatlah cocok dengan ADR tersebut. Namun, di lain pihak, terdapat pula hukum publik, yaitu hukum pidana, yang secara jelas melarang dan mementukan sesuatu perbuatan itu sebagai tindak pidana, dan kepada pelaku pidanaya, akan diberi sanksi pidana. Dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya dua tata cara penegakan hukum, yaitu Criminal Justice System (sistem peradilan pidana) dan Restorative Justice System(sistem keadilan restoratif).
Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) mengharuskan setiap konflik sebagai akibat dari tindak pidana diselesaikan melalui jalur pengadilan. Disini, pelaku pidana yang menimbulkan konflik di tengah masyarakat, akan diproses oleh aparat hukum (kepolisian dan kejaksaan), dan kemudian diperhadapkan kepada hakim, untuk diadili dan dijatuhi putusan. Sebaliknya, dalam sistem keadilan restoratif (Restorative Justice System), terdapat beberapa tindak pidana, yang mana pelaku pidana tersebut, justru tidak diproses secara hukum melalui jalur pengadilan, melainkan dilakukan diversi, oleh pihak kepolisian dan/atau pihak kejaksaan, Di dalamnya, korban dan pelaku dipertemukan dan dicari titik temunya. Disini, sistem keadilan restoratif sebanding dengan proses ADR, yaitu melalui negosiasi dan mediasi. Dalam proses negosiasi dan mediasi ini, suara korban didengarkan, dan hak-haknya yang hilang dikembalikan oleh pelaku, disertai ganti rugi kepada korban. Sedangkan pelaku pidana yang menimbulkan konflik meminta maaf kepada korban, dan bersedia membayar ganti rugi kepada korban. Misalnya, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam peraturan tersebut, para jaksa tampil sebagai mediator di antara pelaku dan korban serta keluarga besar masing-masing, yang melakukan diversi agar pelaku tidak menempun proses peradilan, namun dengan kesepakatan damai dan pemberian ganti rugi kepada korban, maka pelaku tersebut, dapat dilepaskan (lepas demi hukum).
D. KESIMPULAN