Pertama, kekerasan karena konflik biologis, yang berasumsi bahwa manusia memiliki naluri agresif dalam struktur genetiknya. Hal ini yang mendorong manusia untuk menaklukan yang lain untuk mempertahankan dirinya. Latar belakangnya dapat didasari pada konsep genetis Charles Darwin bahwa manusia yang agresif yang dapat mempertahankan dirinya sehingga dapat bertahan hidup (survival of the fittest).
Kedua, kekerasan karena konflik psikologis, yang berasumsi bahwa kekerasa bermula dari konflik psikologis manusia. Oleh Sigmund Freud, konflik yang berujung pada kekerasan terjadi olehg karena kekuasaan insting manusia yang dipenuhi oleh kebencian, dendam, dan agresi. Disini, konflik bermula dari insting agresif manusia karena tuntutan-tuntutan instingnya untuk menguasai orang lain.
Ketiga, kekerasan karena konflik sosiologis, yang berasumsi bahwa kekerasan terjadi sebagai akibat dari adanya respon sosial terhadap struktur ataupun peristiwa sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Konflik terjadi karena control sosial yang berlebihan dalam masyarakat, ataupun karena ketiadaan control sosial, yang menimbulkan rasa frustasi, ataupun kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, konflik dan kekerasan dapat menyebabkan tujuan bernegara tidak terwujud. Dalam mukadimah UUD Tahun 1945, telah ditegaskan tujuan bernegara seperti melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat tujuan bernegara ini tentu sulit untuk dicapai jika negara Indonesia mengalami konflik dan kekerasan, apalagi sampai pada tahap terciptanya budaya kekerasan (culture of violence). Oleh, Dr. Rofinus Neto Wuli, Indonesia pasca kemerdekaan Tahun 1945, telah mengalami sejumlah konflik dan kekerasan yang mengancam kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara, yaitu, konflik dan kekerasan di tingkat lokal, maupun konflik dan kekerasan di tingkat nasional.
Konflik dan kekerasan di tingkal lokal berupa konflik-konflik lokal atas nama SARA., dan konflik agraria atau perebutan tanah/lahan. Konflik lokal akibat SARA ini antara lain konflik Suku Dayak dan Madura di Kalimantan (1999-2006), yang diperkirakan menelan korban jiwa 10.000 orang, dan menyebabkan terusirnya ribuan orang Madura dari Pulau Kalimantan. Di Maluku terjadi konflik agama (1999-2002), hal mana bermula dari perselisihamn antar individu, sehingga disebut sebagai instrumentalisasi agama demi kepentingan pribadi atau golongan, yang menelan korban jiwa sebanyak 9.000 orang.
Sedangkan Konflik agraria dipandang sebagai konflik yang berhubungan dengan tanah, yang dipengaruhi oleh adanya penguasaan atas tanah serta perebutan sumber daya alam. Konflik agrarian ini terbagi atas konflik agrarian structural dan konflik agrarian kultural. Konflik agrarian structural terjadi sebagai akibat dari adanya perselisihan  penguasaan atau kepemilikan lahan antara individu, masyarakat atau kelompok dengan pemerintah atau korporasi. Sebaliknya, konflik agrarian kultural lebih kepada perselisihan antara individu atau sesama anggota masyarakat terhadap penguasaan hak ulayat atas tanah.
Konflik dan kekerasan di tingkat nasonal, terbagi atas; pertama, konflik dan kekerasan karena alasan separatisme. Seperti Pemberontakan Pemeintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan PERMESTA, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM). Konflik dan kekerasan karena separatisme biasanya lahir akibat adanya ketidakadilan baik dibidang ekonomi, budaya dan politis, sehingga menimbukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menjadi suatu negara baru yang merdeka. Kedua, konflik dan kekerasan karena alasan ideologis, sebagaimana yang nampak pada usaha kelompok-kelompok tertentu untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua kelompok pertama besar tersebut diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). PKI memaksakan idelogi komunis, sedangkan DI/TII ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Khusus yang terakhir, dewasa ini pemerintah dan masyarakat Indonesia cukup disibukkan dengan adanya gerakan radikalisme dan fundamentalisme yang berujung pada terorisme.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial, terdapat proses mengindentifikasi potensi konflik melalui langkah inventarisasi, penelitian, dan penentuan priotitas penanganan. Khusus terkait inventarisasi potensi konflik, dimana hal itu merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengumpulkan, mendatakan, dan mengelompokan berbagai potensi konflik yang dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Tercakup di dalamnya adalah perselisihan dalam pelaksanaan pemilu Legislatif, pemilu Presiden/Wapres, dan/atau Pilkada; konflik inter/ antar partai politik, dan organisasi masa yang berafilisiasi/sayap; kebijakan pemerintah antara lain atas kenaikan harga BBM dan/atau Sembako; Peraturan perundang-undangan yang menimbulkan reaksi penolakan dari masyarakat, seperti pemekaran wilayah; Perselisian perburuan dan hubungan industrial; Permasalahan transport; Masalah irigasi atau perebutan sumber air; Penggusuran tempat tinggal atau tempat usaha(relokasi); Kesenjangan antar kelompok atau kecemburuan sosial.
Selanjutnya potensi konflik terkait Perseteruan antar umat atau intra umat beragama, antar suku, dan antar etnik. Tercakup di dalamnya berupa reaksi atas pendirian rumah ibadah atau bangunan yang dijadikan tempat ibadah; Perbedaan aliran intraumat dan/atau antar umat beragama; Penistaan agama; Konflik antar suku/etnik, ras dan golongan; Perkelahian antar warga/kelompok/pelajar; Â Konflik batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan propinsi seperti pemekaran wilayah, klaim atas wilayah tertentu dan batas wilayah yang tidak jelas. Ketika konflik itu berujung pada kekerasan dan menghasilkan budaya kekerasan dalam masyarakat, dan bahkan negara, maka masyarakat dan negara mengalami kerugiaan yang besar. Tidak saja menyangkut korban jiwa, namun juga kerugian di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik. Contohnya dalam Kasus Bom Bali I dan kasus Bom Bali II, terdapat ratusan jiwa yang meregang nyawa. Ekonomi Indonesia dan Pulau Bali tergoncang dikarenakan para wisatawan takut untuk berkunjung yang berakibat pada kasus PHK massal. Kondisi demikian menandaskan pentingnya manajemen konflik, yaitu bagaimana mengelolah dan mengambil hikmah dari konflik. Manajemen konflik hadir untuk melakukan kegiatan penanganan yang positif dan konstruktif terhadap konflik, agar melalui pengelolaan konflik, maka konflik tidak lagi bermuara pada kekerasan, tetapi sebaliknya berakhir pada perdamaian dan rekonsiliasi.
C. ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK
Umumnya dikenal bahwa penyelesaian konflik dilakukan melalalui jalur pengadilan. Akan tetapi, dewasa ini juga mulai sering ditempuh penyelesaian konflik di luar jalur pengadilan (non yudisial), yang dikenal dengan nama penyelesaian konflik alternatif (Alternative dispute Resolution/ADR). Terlebih di kalangan dunia usaha, ADR menjadi suatu alternatif karena bercirikan win-win solution, penyelesaian konflik secara tuntas, sederhana, cepat, tidak birokratis, praktis dan murah (Marwah M. Diah, 2008:112). Di Indonesia, secara formal, ADR dikenal melalui Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbtrase dan Alternatif penyelesaian konflik. Undang-undang ini menjadi pedoman bagi penyelesaian konflik di luar forum pengadilan.