"Memahami Jeni-Jenis Konflik dan Penyelesaian Konflik di Dalam dan di Luar Pengadilan"
A. PENDAHULUAN
Manusia sebagai mahkluk sosial memang tidak dapat hidup sendirian, dan membutuhkan sesamanya. Aristoteles misalnya menyebut manusia itu zoon politicon, artinya bahwa manusia pada dasarnya ingin selalu berkumpul dengan sesamanya (J.B. Daliyo,1992:12). Kehadirannya di tengah masyarakat, membuat manusia dapat bertumbuh dan berkembang, serta mampu mengaktualisasikan dirinya, sesuai dengan cita-cita dan tujuan hidupnya. Disini, kehadiran masyarakat ibarat sebuah kolam air, di dalamnya ikan dapat hidup, dan berenang. Manusia akan menjadi jauh lebih maju dan berkembang karena diterima dan dihargai oleh sesamanya di dalam masyarakat.
Sebaliknya, Thomas Hobbes memandang manusia sebagai mesin yang anti sosial (Rofinus Neto Wuli,2019:191). Menurut Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lain. Manusia akan bertarung dengan sesamanya untuk memperebutkan atau mempertahankan sesuatu, dan bahkan untuk berjuang menaklukan orang lain. Pada titik ini, manusia lalu hadir sebagai suatu entitas yang akan berkonflik, yaitu ketika terjadi ketidakselarasan tujuan, kepentingan dan kebutuhan di antara mereka.
Konflik sering terjadi di dalam hidup manusia.Sebagai contoh konflik individu, konflik sosial, konflik antar suku, konflik antar agama, konflik antar negara, dsb. Kesemua konflik tersebut memang bukan suatu condition sine qua non, namun hampir pasti terjadi di dalam interaksi di antara manusia. Tentu menjadi hal yang positif dan membangun apabila konflik itu dengan segara dapat diatasi. Namun ketika konflik tidak dapat dikelolah dan berakhir pada kekerasan, maka hal itu sudah pasti mendatangan kerugian yang tidak sedikit pada diri manusia dan masyarakat, bahkan negara dan bangsa.
Tulisan ini dibuat dengan maksud agar manusia menyadari konflik yang terjadi di sekitarnya, dan perlunya konflik tersebut diselesaikan agar tidak berujung pada kekerasan. Termasuk mengetengahkan alternative penyelesaian konflik, baik melalui jalur hukum (litigasi/yudisial) dan jalur non hukum (non litigasi/non-yudisial).
B. ANATOMI KONFLIK DAN KEKERASAN
Konflik berasal dari kata Bahasa Latin "Confiktus"  yang  berarti saling serang, saling pukul. Menurut KBBI, Konflik sinonim dengan percekcokan; perselisihan; pertentangan. Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang/pihak atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan orang lain dengan membuatnya tidak berdaya (Lestari Viktoria Sinaga, 2019:202). Pada dasarnya, konflik dalam kehidupan masyarakat dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu konflik horizontal dan konflik vertical. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, dalam satu komunitas di wilayah suatu negara (Fendi F.F. Lengkey,2019:4). Sedangkan konflik vertical merupakan perselisihan atau pertentangan antara kelompok yang berkuasa terhadap kelompok yang dikuasai, kelompok yang memerintah dengan kelompok yang diperintah, serta pertentangan antara kelas yang ada dalam masyarakat.
Konflik dan kekerasan adalah dua hal yang berbeda. Konflik bisa saja melahirkan kekerasan, namun bisa juga tidak. Artinya konflik tidak selalu berakhir pada kekerasan, atau kekerasan muncul akibat dari konflik yang tidak dapat diselesaikan. Karena itu pendekatan dalam manajemen konflik biasanya menenkankan bahwa konflik tidak boleh dihindari, sebaliknya dihadapi. Dalam arti bagaimana manusia mengelolah dan dan mengambil hikmah dari pengalaman konflik agar konflik tidak berujung pada kekerasan.
Konflik yang berujung pada kekerasan dapat dikategorikan sebagai berikut (Rofinus Neto Wuli, 2020:190) :