Tadi pagi baca tweetnya GM @gm_gm yang bunyinya "SPG kapan lulusan terakhirnya?" membuat saya melayang ke 29 tahun yang lalu saat baru lulus SMP dan mau melanjutkan ke SLTA.
Pikiran sederhana saya waktu itu, saya harus masuk SPG. Masuk SMA nanti pasti harus melanjutkan kuliah. Saya tidak akan tega membebani orang tua dengan minta dikuliahkan. Kalaupun lulus SMA, dan tidak kuliah paling2 saya akan menjadi pramuniaga. Orang judes begini mana mungkin harus melayani orang dengan beramah-ramah? Begitu juga SMEA (sekarang SMK). Lalu terpikir hobi saya waktu kecil main guru-guruan. Sekolah Pendidikan Guru. Biar kata gajinya kecil tapi kan jadi bos meski di kelas hehe ini pertimbangan anak SMP lho ya. Dan panggilannya juga keren: Ibu Guru.
Pendaftaran masuk SPG dulu lumayan serius. Dibandingkan dengan sekarang masuk Perguruan Tinggi Pabrik Guru yang lewat SNMPTN semata atau yang lebih 'enak' lagi lewat jalur PMDK cuma mengumpulkan nilai rapot beberapa semester bila beruntung bisa langsung 'ganti status' jadi mahasiswa PGSD maka tes masuk SPG sungguh berat.
Ada beragam tes mulai dari pengukuran tinggi dan berat badan, tes menulis di papan tulis, tes buta warna, menggambar di papan tulis, wawancara, membaca teks, tes tertulis, semua dilakukan dalam 2 hari. Sehari untuk tes yang macam-macam itu dan sehari lagi khusus tes tertulis.
Katanya ada tinggi minimal untuk jadi guru SD. Tidak boleh buta warna. Tidak boleh cadel. Harus bisa menulis tegak bersambung dll. Singkat kata saya berhak diterima di SPG Negeri, tapi saya ingin masuk ke SPG swasta saja, banyak yang bilang ngapain cape-cape testing diterima tapi tidak diteruskan. Biar saja buat pengalaman. Dan ternyata di SPG Swasta itu ada yang pendek badannya ada yang cadel ada yang tulisannya jelek diterima semua hahaha. Tapi lulus juga dengan bagus kok. Lebih bagus dari saya yang tadinya bisa masuk ke SPGN tadi
Sekolah di SPG rupanya benar-benar disiapkan untuk jadi guru. Sikap kita harus baik. Tidak boleh makan sambil jalan. Siap2 ada guru yang menyabet kita pakai ranting daun bila berani membantah. Di sekitar kantin sekolah ada bangku (boek) semen, tidak pakai meja seperti kantin jaman sekarang tapi boek itu banyak dan lebar2 cukup untuk 5-10 orang duduk berpunggungan.
Kita juga dilatih untuk TIDAK memotong kata dalam kalimat. Katanya itu hanya akan membuat guru tidak berwibawa. "Sekarang kita akan belajar Matemati..............." Anak tinggal menjawab Ka.. begitu.. itu sangat diharamkan.
Seperti ada di lawak-lawak itu. Seorang guru mengajar matematika
Seratus ribu ditambah seratus ribu jadi duaratus riii... BUUU...
Dua ratus ribu ditambah duaratus ribu jadi empat ratus riii... BUU...
Masih benar ya... Tapi kalau...
Limaratus ribu ditambah limaratus ribu sama dengan satuju... SATUJUUUU (setuju)
Jadi beda kan?
Ada pelajaran menulis di papan tulis juga. Setiap siswa dijatah papan tulis hitam untuk ditulisi dengan kapur tulis. Tulisan bebas yang penting tegak bersambung. Jadi betul juga kata orang lulusan SPG Swasta saya itu tulisannya sama semua, bulet-bulet, katanya. Bagi kita yang mengalami sih bisa melihat perbedaannya.
Gurunya juga asyik. Galak tapi asyik dan berkesan. Ada guru seni musik yang bisa meraba nada adzan dengan not doremi. Ada guru senirupa sekaligus Fisika yang bisa menulis dan menggambar sekaligus pakai tangan kiri dan kanan. Ada guru olah raga yang keren dan ganteng, tapi kekurangannya cuma satu: Celananya cutbray! hehe sudah lewat musimnya tapi si Bapak itu masih saja pakai celana model bell bottom.
Kelas 2 sudah belajar menyusun Satuan Pelajaran. Saya ingat bolak balik ke Ibu Betty guru SD yang sekomplek dengan SPG saya untuk merevisi Satpel yang sudah ditulis. Tiga kali satpel di coret2 oleh bu Betty demi dapat hasil yang baik. Satpel yang kedua lumayan cuma sekali revisi. Kedua satpel itu dipakai praktik mengajar di SD itu. Grogi juga dipanggil Ibu Guru pertama kali.
Mau tampil di kelas masih dibekali tips oleh guru. Supaya efektif dan tidak kelebihan atau kekurangan waktu yang akan menyebabkan nilai berkurang, kita diberitahu untuk memakai jam tangan di kanan. Sambil menulis di papan tulis terlirik oleh kita jam tangan kita. Tips ini jadi kebiasaan saya sekarang: pakai jam tangan di tangan kanan.
PPL dialami di kelas 3 selama satu semester. Ingat dulu penilaian praktek mengajar menggunakan IPKM Instrumen Penilaian Kegiatan Mengajar. Skalanya jelas 4-3-2-1 (eh atau mulai dari 5 ya, lupa). Misalnya Satpel kalau jelek banget ya nilanya 1, naik dikit 2, lumayan 3 dan seterusnya. Alat peraga juga begitu, dst. Jadi kita paham dan merasa kalau kita memang layak diberi nilai segitu. Begitu lulus sudah siap pakai untuk jadi guru dengan segala tugasnya, padahal umur baru 17-19th.
Sayang juga ya kenapa pola itu tidak dilanjutkan di perguruan tinggi pabrik guru. Beberapa kali ketamuan anak PPL bekalnya tidak sepepak itu. Terkesan malah seperti terjun bebas. Semua diserahkan ke guru SD. Sepanjang PPL tidak pernah ditengok dosen mereka. Bahkan berangkatnya juga tidak diantar dosen. Kalah dengan perguruan tinggi perhotelan di seberangnya yang mengantarkan mahasiswanya PKL termasuk menunggui mahasiswanya di lapangan.
Ah jadi kangen SPG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H