Limaratus ribu ditambah limaratus ribu sama dengan satuju... SATUJUUUU (setuju)
Jadi beda kan?
Ada pelajaran menulis di papan tulis juga. Setiap siswa dijatah papan tulis hitam untuk ditulisi dengan kapur tulis. Tulisan bebas yang penting tegak bersambung. Jadi betul juga kata orang lulusan SPG Swasta saya itu tulisannya sama semua, bulet-bulet, katanya. Bagi kita yang mengalami sih bisa melihat perbedaannya.
Gurunya juga asyik. Galak tapi asyik dan berkesan. Ada guru seni musik yang bisa meraba nada adzan dengan not doremi. Ada guru senirupa sekaligus Fisika yang bisa menulis dan menggambar sekaligus pakai tangan kiri dan kanan. Ada guru olah raga yang keren dan ganteng, tapi kekurangannya cuma satu: Celananya cutbray! hehe sudah lewat musimnya tapi si Bapak itu masih saja pakai celana model bell bottom.
Kelas 2 sudah belajar menyusun Satuan Pelajaran. Saya ingat bolak balik ke Ibu Betty guru SD yang sekomplek dengan SPG saya untuk merevisi Satpel yang sudah ditulis. Tiga kali satpel di coret2 oleh bu Betty demi dapat hasil yang baik. Satpel yang kedua lumayan cuma sekali revisi. Kedua satpel itu dipakai praktik mengajar di SD itu. Grogi juga dipanggil Ibu Guru pertama kali.
Mau tampil di kelas masih dibekali tips oleh guru. Supaya efektif dan tidak kelebihan atau kekurangan waktu yang akan menyebabkan nilai berkurang, kita diberitahu untuk memakai jam tangan di kanan. Sambil menulis di papan tulis terlirik oleh kita jam tangan kita. Tips ini jadi kebiasaan saya sekarang: pakai jam tangan di tangan kanan.
PPL dialami di kelas 3 selama satu semester. Ingat dulu penilaian praktek mengajar menggunakan IPKM Instrumen Penilaian Kegiatan Mengajar. Skalanya jelas 4-3-2-1 (eh atau mulai dari 5 ya, lupa). Misalnya Satpel kalau jelek banget ya nilanya 1, naik dikit 2, lumayan 3 dan seterusnya. Alat peraga juga begitu, dst. Jadi kita paham dan merasa kalau kita memang layak diberi nilai segitu. Begitu lulus sudah siap pakai untuk jadi guru dengan segala tugasnya, padahal umur baru 17-19th.
Sayang juga ya kenapa pola itu tidak dilanjutkan di perguruan tinggi pabrik guru. Beberapa kali ketamuan anak PPL bekalnya tidak sepepak itu. Terkesan malah seperti terjun bebas. Semua diserahkan ke guru SD. Sepanjang PPL tidak pernah ditengok dosen mereka. Bahkan berangkatnya juga tidak diantar dosen. Kalah dengan perguruan tinggi perhotelan di seberangnya yang mengantarkan mahasiswanya PKL termasuk menunggui mahasiswanya di lapangan.
Ah jadi kangen SPG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H