Konflik Laut China Selatan merupakan konflik yang terjadi dan melibatkan negara yang berada pada kawasan Asia Tenggara dan anggota atau berada dibawah naungan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Serta negara hegemoni yang berada pada wilayah Laut China Selatan yaitu Amerika Serikat dan negara -- negara yang tidak bersifat hegemony seperti Jepang, Korea Selatan serta negara lainnya.Â
Pada Negara yang menjadi anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sekaligus berada pada kawasan Asia Tenggara merupakan, Taiwan, Malaysia, Thailnad, Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia dan China sebagai negara -- negara yang mengklaim mayoritas negara tersebut.
Konflik wilayah ini merupakan konflik pada sengketa perairan Laut China Selatan yang mulai terasa mengkeruh sejak awal abad ke -- 21 pada tahun 1992 sampai pada tahun 2016 yang juga memberikan dampak yaitu terganggunya kestabilan dalam bidang politik di Asia Tenggara.Â
Perebutan wilayah ini berawal disaat China mulai mengatakan bahwa wilayah Nine Dash Lines yang sudah termasuk didalamnya yaitu kepulauan Spratly serta Paracel pada akhir Perang Dunia kedua dengan keadaan yaitu Jepang menyatakan menyerah pada kedua kepulauan tersebut yang dimasukkan kedalam provinsi Guandong yang dimiliki oleh China.Â
Dengan pembelaan atas hak milik yang didasarkan oleh Sejarah China, dimana para nelayan China semenjak tahun 200 sudah aktif menggunakan perairan tersebut sebagai wilayah untuk mencari kehidupan pada Kepalauan Paracel.
Dengan tujuan agar Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dapat bergerak dengan leluasa, maka Indonesia diperlukan dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dengan bentuk kepemimpinan dan menggunakan strategi Hedging.Â
Strategi Hedging merupakan strategi yang dimana suatu negara akan memposisikan dirinya untuk memiliki pilihan -- pilihan yang bersifat strategis dengan memposisikan diri berada di tengah -- tengah. Strategi hedging mempunyai peluang untuk memberikan keuntungan pada Indonesia serta negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) lainnya dalam menghadapi negara China.Â
Hal ini disebabkan karena dalam strateginya tidak memerlukan biaya yang banyak untuk melakukan balancing atau adanya praktek penguatan negara secara mandiri agar dapat melawan negara yang lebih besar serta membuat suatu negara tidak terlihat lemah saat melakukan bandwagoning yaitu negara kecil yang ikut bersaing dengan para negara besar dan mengikuti persaingan antara negara besar.Â
Dengan begitu tujuan untuk meredakan persilisihan terkait Laut China dapat terselesaikan dan tujuan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai pencipta perdamaian dapat terealisasikan.
Namun menurut pendapat Permanent Court of Arbitration (PCA) yang mewakili Filipina telah mengatakan bahwa pembelaan China terhadap Laut China tidak dapat dianggap sebagai fakta dan resmi, Peran Indonesia dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) membuat Indonesia menanggapi respon tersebut.Â
Proses pengadilan yang berjalan diabaikan oleh para penjabat China dilihat dari tindakan yang diberikan oleh para pemerintahan China, PCA sendiri memiliki kekuatan ataupun pengaruh yang berdampak sangat kecil bagi de-eskalasi konflik namun pada hasil keputusan PCA dengan sebaik -- baiknya dilupakan saja. Tidak berhenti disitu, Indonesia menggunakan hal tersebut untuk menciptakan pemikiran atau pandangan multilateral pada China.
Upaya yang diusahakan dalam konflik laut china sangatlah banyak, diskusi secara multileteral ataupun adanya pengajuan kepada mahkamah internasional Den Haag ataupun patroli bersama dengan begitu sebagai bentuk penyelesaian dalam tindakan.Â
Maka dari itu akan melakukan diskusi -- diskusi yang berupa penuh akan forum kerjasama internasional dengan tujuan agar stabilitas dalam kawasan dapat terbentuk serta ketegangan yang ada dapat diredakan secara sementara dengan begitu konflik by nature pasti akan muncul kembali, sesuai dengan pemikiran realisme.
Dalam melakukan sesuatu atau menjalankan sebuah tugas, bukan tidak mungkin jika menemukan suatu tantangan atas tugas yang diembannya. Demikian halnya dengan pemerintah Indonesia, Indonesia dalam kepemimpinannya di ASEAN juga mempunyai tantangan-tantangan yang harus dihadapi demi terselesaikannya Konflik Laut China Selatan.Â
Dalam meredakan Konflik Laut China Selatan, Indonesia menghadapi beberapa tantangan salah satunya adalah tantangan yang berasal dari luar, kata luar di sini dimaksudkan yang berasal dari luar ASEAN.Â
Tantangan yang berasal dari luar tersebut antara lain sikap China yang ingin menyelesaikan konflik secara bilateral. Pemerintah China sendiri enggan untuk berdiplomasi bersama ASEAN secara keseluruhan.Â
Hal tersebut dapat menghambat upaya-upaya penyelesaian masalah dalam forum ARF. Dalam pertemuan ARF yang ke-12, disebutkan sebuah konsep penyelesaian masalah yaitu "at the pace comfortable to all" yang mana penyelesaian masalah harus disertai dengan kenyamanan dari masing-masing pihak yang terlibat.
Tantangan lainnya yang berasal dari luar ASEAN adalah bahwa adanya keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik tersebut. Keterlibatan Amerika Serikat dianggap sebagai tantangan yang dapat menghambat proses de-eskalasi konflik dikarenakan kehadirannya yang sangat kontra dengan sikap pemerintah China dan juga sebagai pemegang status quo dari kekuatan maritim.15 Kehadiran Amerika Serikat di dalam konflik Laut China Selatan ini juga terlihat ketika Presiden Amerika Serikat Barrack Obama berkunjung ke negara Vietnam pada tanggal 23 Mei 2016 lalu untuk mengangkat embargo senjata Amerika Serikat kepada Vietnam.Â
Bagi Indonesia sendiri, tantangan yang harus dihadapi adalah mengenai pelanggaran - pelanggaran yang terjadi di kawasan Natuna oleh nelayan-nelayan China. Sikap dari pemerintah China yang tidak menghormati wilayah kedaulatan Indonesia tersebut dapat memperburuk hubungan diplomatis antara China dengan Indonesia.Â
Sehingga, hal tersebut dapat membuat terhambatnya proses diplomasi antara Indonesia beserta ASEAN dengan China untuk meredakan konflik di Laut China Selatan. Dalam tantangan tersebut, pemerintah Indonesia dalam menjadi mediator juga harus memperjuangkan kedaulatannya di wilayah perairan Natuna.Â
Menurut Penulis, tantangan lainnya bagi pemerintah Indonesia dalam penyelesaian permasalahan di Laut China Selatan adalah kurangnya kolektifitas yang berjalan diantara sesama anggota ASEAN. Hal tersebut terlihat bahwa dalam meredakan masalah, beberapa negara seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar tidak ingin terlibat di dalam konflik tersebut. Ketiga negara tersebut notabene adalah negara-negara yang memiliki hubungan yang dekat dengan China sehingga memiliki ketidak-tertarikan atas penyelesaian masalah yang cepat.Â
Selain itu, tantangan bagi Indonesia atas kepemimpinannya di ASEAN dalam upayanya untuk meredakan konflik adalah berkaitan dengan Code of Conduct (COC) ASEAN mengenai Laut China Selatan, dan implementasi DOC yang masih dapat dianggap kurang efektif.Â
Pemerintah Indonesia sangat mendorong negosiasi mengenai COC tersebut agar ketegangan yang terjadi di kawasan Laut China Selatan ini bisa mereda. Negosiasi mengenai COC tersebut berjalan dikarenakan gagalnya DOC mengenai Laut China Selatan yang ditandatangani pada tahun 2002 yang lalu.Â
Gagalnya implementasi dari DOC bisa dilihat dari sikap China yang agresif dan masih sama mengenai penerapan nine dash lines sebagai klaimnya di Laut China Selatan, yang dimana hal tersebut tidak didasari pada konvensi UNCLOS 1982 dan menyalahi DOC poin pertama.Â
Sehingga, pemerintah Indonesia dalam hal ini berharap dengan adanya COC, setiap tindakan dari pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik tersebut bisa diatur. Di saat yang sama, pemerintah Indonesia juga masih berusaha untuk mengimplementasikan poin-poin aturan yang terdapat di dalam DOC.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H