Di depan kami, terlihat lima orang menghadang jalan. Beberapa di antaranya membawa alat pukul kayu, besi, dan perkakas keras untuk menjadi senjata. Hanya satu orang saja yang terlihat berdiri dengan tangan kosong, namun dengan tatapan mata yang nyalang dan menantang.
Sorak-sorai terdengar dari mereka menyambut kedatangan kami. Ada yang melambai, ada yang memaki, dan ada yang terlihat tenang. Namun aku paham kalau mereka ingin menghajar kami. Membunuh kami, atau menyiksa kami hingga mati beberapa detik lagi.
"Bagaimana ini Reez? Aku takut," tanya Silvi dengan tubuh yang terlihat gemetar.
"Kita harus melewati mereka."
"Tapi tidak ada jalan lain. di kanan kiri kita hutan dan jurang. Jalanan tidak rata dan penuh batu dan kayu berserakan."
"Kembali hanya akan membuat kita disiksa seperti Aery. Aku akan berbicara pada mereka. kamu jaga Aery. Tidak ada pilihan lain." Reezky berjalan menemui lima lelaki yang ada di depan kami. Meski yang dilakukan bukan pilihan bagus namun dia tetap maju.
Aku merasa malu dengan diriku karena tidak berdaya untuk bergerak lincah. Meski sudah bisa bicara, berjalan saja masih sempoyongan dan tidak kuat seimbang dalam waktu lama. tidak bisa membantu. Sedangkan Reezky mempertaruhkan nyawanya menemui para lelaki itu agar diberi jalan.
Andai saja aku bisa berlari. Kami bisa menghindari mereka dengan berlari lewat hutan.
Sial.
Alih-alih dipersilahkan lewat, Reezky justru terlihat sedang adu pukul dengan satu orang musuh. Empat lelaki lainnya bersorak gembira seolah sedang melakukan adu ayam. Mengambil posisi sebagai penonton melingkari Reezky yang sedang baku hantam sambil menyemangati perkelahian.