Aku memeluk tubuh Silvi sangat erat setelah benar-benar sadar apabila dia dan Reezky telah menyelamatkan hidupku. Dengan napas terengah-engah, dan dengan rasa memar dan perih yang masih menjalar di sekujur tubuh. Rasa syukur tak henti-hentinya aku panjatkan. Terima kasih, terima kasih Tuhan. Engkau masih memberi kesempatan bagiku untuk hidup.
"Silvi, sudah kamu hubungi Pak Alex?"
"Sudah," balas Silvi. "Kamu tidak apa-apa Aery?"
"Minumlah dulu, sayang," ucap Reezky sambil menyodorkan botol minuman. "Kita harus buru-buru sebelum dua penculik itu kembali," ucap Reezky lagi, sambil membantuku berdiri dan berjalan.
Mereka ada tiga orang. Bukan hanya dua orang!
"Kamu bicara apa? Aery?" balas Silvi.
Ya Tuhan. Suaraku masih belum pulih utuh karena terlalu lama dibungkam. Sangat sulit untuk sekadar berbicara. Kalimat panjang yang berusaha aku katakana pada mereka hanya terdengar seperti bunyi tak beraturan. Seperti tangis bayi yang menginginkan susu pada ibunya: rengekan.
Silvi terus penasaran dengan maksud yang aku katakana. Dia bertanya berulang-ulang untuk memahami maksudku. Hanya saja, aku tetap gagal berbicara.
"Makan?"
"Am-am-am-am-am-ama," suaraku.
"Apa Aery? Kamu bisa berkata pelan-pelan agar kami paham?"
Menyebalkan. Kenapa kalian tidak bisa memahamiku. Terlalu lama disumpal kain membuat mulut dan tenggorokan terasa sakit dan kaku. Kini air mataku bercucuran lagi.
"Tenangkan dirimu sayang, atur napasmu dulu dan buat tubuhmu pulih. Kami nanti pasti mendengarkan perkataanmu. Maaf, saat ini kami akan lebih fokus untuk hati-hati dari dua penculik yang lain sambil menunggumu pulih," kata Reezky terdengar lembut.
Apa yang dikatakan Reezky tidak salah. Lebih baik aku menenangkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Silvi dan Reezky. Dalam bopongan mereka berdua, tubuhku masih terasa lemas meski sudah minum beberapa teguk air.
Di samping pintu rumah pada bagian dalam, terlihat seorang laki-laki dengan topi hitam tergeletak tidak berdaya. Syukurlah, ketakutanku sudah terjawab. Seperti yang dikatakan mereka berdua apabila tersisa dua penjahat saja. Kupercayakan semuanya pada kalian. Silvi, Reezky.
Masih dengan keadaan yang lemas, mereka memboncengku dengan motor. Reezky mengambil kemudi dan Silvi memegangiku dari belakang. Dalam perjalanan dengan rute yang banyak tikungan, Silvi bercerita kalau menemukan lokasiku dengan bantuan GPS yang sempat aku sambungkan dengan ponselnya. Saat itu kami menggunakannya untuk mencari lokasi tempat kos.
"Mobil! Ada suara mobil dari arah depan! Ada cahaya! Aku yakin mereka adalah dua penculik yang lain," suara Reezky terdengar panik.
"Apa yang harus kita lakukan! Di jalanan kaki gunung ini semua sisi jalan adalah hutan dan jurang yang tidak bisa diterjang."
"Tinggalkan Aery sebentar di balik pohon! Cepat! Nanti kita bantu lagi setelah penculik itu pergi! Kita menyamar menjadi warga daerah sini yang kebetulan lewat," suara Reezky tergesa-gesa.
Sedikit kasar, Silvi dan Reezky menyembunyikan tubuhku di balik pohon di pinggir jalan. "Kamu tenang saja, Aery," kata mereka sebelum meninggalkanku.
Semoga mereka baik-baik saja dan bisa membantuku keluar dari hutan terkutuk ini. Di depanku, terlihat beberapa serangga dan ulat yang membuatku semakin ngeri. Sedangkan suara motor Reezky dan Silvi semakin lama semakin jauh. Menjauh? Tunggu, bukankah suara motor mereka berbalik arah ke rumah kosong tadi?
Tuhan. Semoga mereka bisa menyelamatkan diri.
Aku sadar jika kami bertiga berpapasan dengan mobil penculik itu, musuh akan langsung mengenaliku dan langsung tidak terima. Bisa-bisa nyawa kami bertiga terancam. Reezky dan Silvi hanya mengendarai motor, tidak mungkin menyembunyikanku kecuali meninggalkanku di jalan sementara waktu.
Namun mereka berbalik arah menuju rumah kosong, dan sekarang jalur perjalanan mereka sama seperti yang dilakukan penculik itu. Eh! Tunggu! Haha. Reezky yang cerdas! Jangan-jangan dia memang berencana berputar arah menuju rumah kosong, namun berbalik arah lagi ke sini setelah penculik itu melewati mereka berdua tanpa curiga? Hahaha. Seolah olah mereka mencariku padahal Reezky dan Silvi telah menghajar satu penculik yang lain dan membawaku ke sini.
"Ayo! Ayo! Ayo! Cepat! Kita keluar dari sini sekarang juga!" Suara Reezky dan Silvi terdengar mendekat lagi. Mereka seperti sedang panik.
"Aery, kamu tidak apa-apa? Ayo aku bantu berdiri, kita segera keluar dari sini," kata Silvi sambil membantuku berdiri.
"Ayo Aery, sini, pegang bahuku, aku bantu naik motor lagi," kata Reezky.
Tidak lama kemudian setelah kami bertiga berhasil menaiki motor, Reezky mengemudi dengan cepat keluar dari hutan terkutuk ini. Sedangkan  Silvi memegangi tubuhku yang sudah mulai pulih namun masih kurang bertenaga agar tidak jatuh. Semakin lama, kami bertiga semakin jauh dengan rumah kosong tempat tubuhku diguyur air dan disiksa.
Meski rasa sakit masih terasa di seluruh tubuh, namun kini akhirnya aku bisa tersenyum bahagia. Aku sudah bisa bernapas lega. Kami akan segera pulang, dan kami akan terbebas dari hal-hal mengerikan ini dengan bantuan pihak berwajib.
Tikungan demi tikungan kami lalui secepat kilat. Tidak terlihat orang dari arah belakang. Tidak ada yang bisa mengejar perjalanan kami bertiga, sekalipun mereka menggunakan mobil ataupun motor.
"Bedebah!"
Reezky tiba-tiba terdengar berteriak. Marah! Kata-kata dari mulutnya bahkan mengalahkan deru motor yang kami naiki. Lantang dan terdengar jelas. Setelah itu, motor kami seolah terpaksa untuk berhenti. Saat mataku berusaha memahami keadaan, terlihat beberapa orang sudah menutup satu-satunya jalan keluar kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H