"Syukurlah, kamu bisa sampai dengan selamat dan juga tepat waktu."
"Apa maksudmu, Aery? Kamu kira aku tidak bisa membaca GPS yang kamu kirimkan?"
"Haha, sudah-sudah lupakan. Habis ini aku akan pergi ke acara wisuda pacarku. Kamu bisa istirahat dulu di kamar kos, Silvi. Kalau mau keluar, di dalam ada satu motor lagi bisa kamu pakai."
"Hmmm, pantas saja kamu menyuruhku buru-buru dari stasiun. Oh, jadi ada yang mau kencan dengan pacarnya. Padahal aku tadi ingin bersantai-santai sebentar stasiun. Tapi, temanku yang dulunya sangat ceroboh itu tiba-tiba marah-marah dan memaksaku untuk segera ke tempat kos miliknya."
"Eh, tidak-tidak. Bukan maksudku seperti itu."
"Ah, tidak apa-apa. Kamu bisa menemui pacarmu setelah ini. Aku tidak apa-apa."
"heeeh...." Spontan, tanganku menutupi wajah. Aku yakin, wajahku sedang berwarna merah.
Sudah pukul Sembilan saat aku melihat jam di ponsel. Buru-buru kukendalikan motor untuk pergi ke kampus Reezky. Tempatnya yang jauh membuatku sedikit was-was bila nanti terlambat. Maafkan aku tidak bisa menemanimu Silvi. Nanti akan kubayar sebagai permintaan maaf. Pikirku dalam hati.
Dalam perjalanan ke kampus. Aku mengandai-andai beberapa gaya yang bagus untuk kami nanti foto bersama. Mungkin aku akan berada di bagian pinggir? Tidak. Aku akan berada di tengah bersama Reezky dan di sisi kanan dan kiri kami adalah ayah dan ibu Reezky? Seperti foto pernikahan? Ya ampun, pikiran macam apa ini. Aku menjadi malu sendiri rasanya. Ini sesuatu yang wajar bukan, Tuhan? Mengandai-andai sebelum nanti benar-benar foto bersama keluarga Reezky?
Mungkin nanti aku harus menolak foto bersama keluarga Reezky? Ah, tidak. Tidak sopan. Tapi sebenarnya aku juga malu kalau foto bersama orang tua Reezky. Tapi aku juga ingin segera direstui keluarganya. Aduh, pikiranku. Mendadak aku salah tingkah sendiri. Bahkan aku menjadi sedikit khawatir dan tegang untuk bertemu mereka.
Tapi, sudah tidak bisa mundur lagi karena janji dengan Reezky. Aduh, entahlah nanti.
Tiiin ...! tiiin ...!
Suara klakson mobil mendengung keras di sebelahku. Tepat! Tidak ada satu meter jarak mobil itu denganku. Kaget dan ngeri membuatku hampir terjatuh. Namun aku masih bisa mengendalikan keseimbangan sehingga baik-baik saja.
"Kalau jalan hati-hati pak! Matanya dipakai buat nyetir! Bagaimana kalau kecelakaan?! Sial!" aku berteriak lantang. Tidak hanya membuyarkan lamunan, tapi sudah mengancam nyawaku.
Mobil itu berhenti tepat di depanku. Aku turun dan berjalan mendekatinya sambil bersumpah serapah.
"Keluar kalian!" teriakku sambil menggedor-gedor sisi kiri mobil.
Pintunya terbuka. Tiga orang lelaki dengan tubuh besar dan kekar keluar dalam waktu bersamaan. Sedikit membuat nyaliku ciut. Namun aku masih marah dan tidak terima karena perilaku mereka yang seenaknya sendiri.
Masih memasang wajah yang garang dan berani. Aku memarahi mereka bertiga.
"Maafkan kami nona muda, kami sedang buru-buru dan tidak tahu jika ada pengendara di sisi kiri mobil," ucap salah seorang di antara mereka yang mengenakan topi hitam. Kulihat ia meminta maaf dengan raut wajah yang sombong seolah tidak bersalah.
"Seti-" perkataanku terputus.
"Kami tidak akan mengulanginya!" Kata lelaki yang berada di belakangku menambahkan. Lelaki itu berkata perlahan namun terdengar bersemangat, dengan tangannya yang entah sejak kapan menempel di sisi kiri kepalaku, lalu menghantamkannya ke sisi kiri mobil dengan keras. Tak terelakkan lagi, kesadaranku hampir hilang gara-gara benturan.
Bag!
"Mampus!"
Tubuhku rubuh seketika, tidak kuat menahan pusing dan perih, dan ngilu yang terjadi mendadak. Bahkan aku tidak kuat untuk memalingkan wajah melihat sisi mobil yang terhantam kepalaku. Berwarna merah karena darah dari kepala yang bocor atau tidak. Bahkan tanganku tak mampu bergerak melindungi kepalaku dari orang-orang biadab ini lagi.
Hanya mampu mengerang kesakitan. Jantungku berdegub dengan kencang dan merasakan sakit kepala ta tertahankan.
Dan kepalan tangan, dan hantaman kaki, silih berganti menyiksaku setelahnya. Tak mampu mengerang kesakitan lagi. Tak mampu berteriak meminta tolong. Bahkan tak mampu untuk sekadar menangis.
Sakit. Pusing. Tak berkutik.
Seolah tubuhku terasa melayang ke suatu tempat.
Di tengah-tengan antara sadar dan ketidaksadaran. Aku bertanya pada diriku: "beginikah rasanya mati?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI