Melompat ke lantai satu langsung bisa membuat kakiku patah. Namun aku tetap melakukannya tanpa pikir panjang. Karena jika diam saja, nyawaku pasti melayang. Aku akan mati. Tak ada pilihan lain!
"Kejar dia Tom! Sakit! Mataku sakit! Perempuan sialan! Aku tidak bisa melihatnya."
"Dasar bodoh! Kamu melepaskannya!"
Namun kali ini aku berani melompat karena yakin tidak akan terluka parah.
Bug!
Tepat! Berada di atas sofa ruang tamu. Kakiku sedikit tergelincir. Pisau di tanganku sempat terjatuh. Namun aku jauh lebih baik. Segera aku raih dan acungkan pisau yang ada di tanganku ke atas. "Jika kau melompat, pisau ini akan mengenaimu!" ucapku mengancam.
Pria itu terlihat bimbang beberapa waktu. Lalu saat dia memutuskan berlari ke arah tangga. Dengan sigap, aku lari ke luar rumah untuk meloloskan diri.
Kakiku melewati ruang tamu dengan gelas pecah yang berserak. Juga melewati tiga mayat yang terlihat mengenaskan. Genangan darah terlihat begitu jelas. Segar, dan bergelimang bergerak perlahan. Sedikit membuatku lakut lagi, dan sedikit memberiku nyali untuk meloloskan diri dari orang-orang pembunuh di sini.
Bagaimana ini, bagaimana ini?! Kunci motorku berada di lantai atas. Jelas tidak ada waktu untuk mengambilnya. Apa aku harus lari sekuat tenaga hingga pria-pria itu tidak menemukanku?! Aku bingung.
Motor lain? Kunci? Sial. Tidak ada waktu untuk mencarinya! Kakiku sambil terus berlari menjauh. Aku hampir mencapai pintu depan rumah ini.
Sambil berlari otakku berpikir keras agar bisa meloloskan diri. Mereka pasti tidak membiarkanku kabur karena telah melihat keganasannya. Aku harus? Tuhan! Tolong!
Lari lari lari lari ....!
"Dasar perempuan sialan!"
Sebuah suara mengejutkanku. Saat aku hampir melewati pintu rumah yang terbuat dari kayu. Tinggal satu meter lagi! Namun gagal. Sebuah pisau mengarah ke tubuhku dengan cepat. Seorang lelaki lain menghadang di depanku.
"Pintar kau bisa menghindarinya." suaranya marah, saat reflek tubuhku menyelamatku dari kematian.
Tangan kiriku dengan cepat menghalau pisau lelaki itu. Sakit! Darah keluar dari lenganku. Seandainya aku menyadari keberadaannya, aku tidak akan terluka. Hanya saja dia tiba-tiba muncul dari balik pintu keluar tepat di hadapanku.
Tak ada waktu berpikir. Selanjutnya adalah gerakan penuh reflek yang aku lakukan untuk bertahan hidup. Penuh konsentrasi di saat-saat penuh resiko.
Buru-buru tangan kanan yang dari tadi memegang pisau kuarahkan ke tubuhnya. Secepat kilat dengan tenaga penuh, tanganku mengincar perutnya yang memiliki sisi lebih lebar daripada bagian tubuh lain.
"Pintar juga kamu gadis kecil," suaranya meremehkanku saat berhasil menghindar dari tebasanku.
"Aku jauh lebih siap," ucapnya setelah tubuhnya yang lincah berhasil menghindari seranganku. Posisinya yang tadi di depanku, tiba-tiba sudah berada di belakang tubuhku. "Sialan!" ucapnya lagi, sambil berusaha menusuk punggungku.
Aku menoleh ke arahnya. Hanya saja terlambat, tubuhku tak mampu banyak bergerak. Kini tangan kananku harus menahan serangannya.
Sakit! Darah keluar lagi dari lenganku. Sakit. Perih kurasakan. Pisau di tanganku terjatuh.
"Rasakan ini kakiku!"
Mengetahui serangannya terhalau, pria itu langsung menendang perutku dengan keras. Membuatku goyah dan hampir ambruk total. Kepalaku hampir menghantam pintu, tubuhku berbenturan pintu, sakit, tanganku terlambat menahan.
Jalan keluar! Hantamannya membuatku tersadar jika dekat dengan jalan keluar saat mataku tanpa sengaja melihat pelataran.
Tanpa kusangka, serangannya membuatku semakin dekat dengan area luar, buru-buru tanganku meraih sisi pintu yang lain dan secepat kilat sebelum pria bernama Tom membantu kawannya, aku berusaha menutup paksa pintu rumah ini.
"Sialan, terima ini!"
"Tidak! Tidak!"
Brak!
Sebuah pisau dengan sisi tajam penuh darah berada tepat di hadapanku. Hampir. Aku hampir terkena lagi. Kali ini akhirnya aku berhasil menghindarinya. Aku cukup cepat untuk menutup pintu sehingga serangannya tertahan.Â
"Rasakan ini!" ucapku seraya menekan pintu dengan tubuhku membuat tangannya semakin terhimpit, dan menghajar satu tangan penjahat itu yang berhasil keluar dari pintu. Hanya tangannya saja. Dia berteriak kesakitan dan menarik tangannya lagi.
Merinding, jantungku berdegup dengan kencang. Napasku tak beraturan. Kunci-kunci-kunci?! Mana kunci rumahnya? Sial tidak ada. Aku hanya bisa menahannya dengan tubuhku agar pintu ini tidak terbuka.
"Buka pintunya!"
"Tidak!"
Brakk! Mereka berdua telah berada di dekat pintu. Mendobrak paksa pintu yang kutahan dengan tubuhnya. Sedikit terbuka, namun aku masih kuat!
"Tolong! Tolong! Tolong!"
Aku berteriak sejadi-jadinya meminta pertolongan. Begitu pula penjahat yang ada di dalam rumah berteriak mengancam agar pintu rumah ini segera dibuka. Kami sama-sama berisik.
Mataku menyapu keadaan. Adam! Adam datang!Â
"Adam! Tolong aku! Mereka telah membunuh pemilik rumah dan berusaha membunuhku!"
Adam berlari mendekatiku dan langsung membantu menahan pintu. "Kamu tidak apa-apa? Tanganmu! Ya ampun! Maaf aku terlambat!"
Brag!
"Kita harus lari dari sini."
"Di mana kendaraanmu?"
"Aku menaruhnya agak jauh," ucapnya. Kami berbicara sambil menahan dobrakan dari dalam rumah. "Aku sempat melihat seorang tamu yang dihajar lalu diseret ke dalam rumah. Lalu aku memutuskan mencari lokasi aman untuk mengawasi terlebih dulu."
"Oke cukup! bagaimana kita bisa lari dari sini?! Aku sudah tidak kuat!"
Adam terlihat berpikir keras. Sedangkan tubuhku hampir tidak dapat menahan sakit.
"Aku ada ide!" ucapku lalu membisikinya.
Setelah itu situasi yang terjadi, kami berusaha kabur namun tidak langsung melarikan diri. Kami berdua berusaha mencari pola penjahat itu mendobrak pintu. Beberapa waktu, dan di saat situasi yang kami butuhkan siap. Kami sengaja membiarkan kedua penjahat itu mendobrak pintu hingga terbuka.
Tubuh mereka terlihat kuat beriringan dengan pintu yang dengan cepat terbuka lebar. Kami tidak menahannya, tentu. Karena kami telah ambil posisi dengan kursi yang siap untuk menghantam kepala mereka. Dengan cepat, aku dan Adam menyerang di saat mereka kaget jika pintunya sangat mudah dibuka.Â
Pria bernama Tom yang dihantam kepalanya dengan kursi Adam terlihat kesakitan. Tubuhnya melemas. Sedangkan pria yang kuhadapi seperti tidak kesakitan. Pria itu hampir balas memukulku.
Tanganku melemah, sakit, dan berdarah. Aku tak cukup kuat untuk menghantam kursi yang lumayan berat ini. Namun sebelum pria itu menyerang, Adam telah melayangkan kursi di tangannya ke arah kepala pria di depanku.
Tanpa menunggu mereka bangkit. Aku dan Adam langsung berlari sekuat tenaga ke arah motor terparkir. Dengan penuh harap, semangat, dan harapan hiduo. Kami berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak minta tolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H