Aku dan Rudi duduk di teras rumah untuk sarapan. Kali ini, mulutku melahap pecel lele meski sudah lima tahun selalu menghindarinya. Namun hari ini berbeda. Kesehatan lebih penting daripada apapun, karena kami akan pergi ke toko cabang lima. Tempat Niken dan Aurel bekerja yang sangat jauh dari sini. Lagipula tidak ada toko sarapan yang buka di subuh buta.
"Menurutmu, kita harus berangkat sepagi ini?"
"Ya," balasku tanpa ragu. "Jangan mengulur-ulur waktu," tambahku.Â
Perjalanan panjang yang membosankan pun terasa sangat lama. Hampir dua jam aku hanya berdiam diri dibonceng Rudi. Pemandangan yang ada hanyalah pohon-pohon cemara dan beberapa perumahan. Aurel juga sama sekali tidak menjawab teleponku. Sejauh ini, hanya gelisah yang aku rasakan.
Ingin rasanya segera sampai dan menemui Aurel di sana. Menanyakan kabarnya, dan menanyakan penyebab kematian Niken.
Tiga kilometer lagi kami akan sampai di cabang lima. Penyelidikan yang dilakukan masih belum menghasilkan kesimpulan. Namun yang jelas, Niken berpulang dan Aurel hilang.
Tubuhku menekan Rudi lumayan hebat. Aku membiarkannya daripada kehilangan keseimbangan. Lagipula, kenapa tiba-tiba Rudi berhenti?
"Hei-"
"Tasya, kamu baik-baik saja?" Rudi memotong ucapanku. Lalu menambah perkataannya "Pegang tubuhku erat-erat! Kita dapat masalah."
Nada suaranya membuatku takut. Buru-buru mataku menyapu situasi. Di depan kami, terlihat tiga orang dengan parang yang tajam di tangan mereka.