Judul: Sadness: Teman Bersedih
Penulis: Wafi Hakim Al-Shidqy
Penerbit: Republika Penerbit
Cetakan: Pertama, Oktober 2020
Tebal: xvi + 226 hal. ; 13x20.5 cm
ISBN: 978-623-279-087-2
"Bagi saya, membaca buku-buku dari Republika Penerbit adalah membaca buku-buku kanan."
Dalam otak saya, masih ada semacam sekat-sekat yang membedakan antara buku satu dengan yang lain. Namun tak apa, hal ini akan memudahkan saya dalam memilah, memilih, dan memahami isi dari buku yang terbaca. Karena setiap kategori memiliki ciri khasnya masing-masing. Termasuk buku pertama Wafi Hakim Al-Shidqy (penulis) kali ini.
Penulis buku ini saya kenal dengan dua cara: lewat biografi singkat yang tertera pada buku dan lewat media sosial Instagramnya. Sosok terlihat santun dan lumayan muda, sedikit sepantaran lah dengan saya. Salah satu generasi penerus bangsa karena umurnya masih 21 tahun. Dan dalam umur sekian penulia sudah menerbitkan dua buku di penerbit mayor: Sadness terbit pada Oktober 2020 (buku ini) dan Insecure terbit pada tahun ini 2021 (masih saya simpan dan baca).
Buku apa ini? Sadness?
Pada awal memilih buku ini, sebenarnya ada rasa ogah-ogahan di dalam hati. Kenapa harus tema sedih buku yang akan saya baca? Padahal apa yang kita baca akan membekas di dalam pikiran. Selanjutnya pikiran akan mempengaruhi tingkah laku pemiliknya. Apakah membaca hal-hal sedih itu bagus? Saya bertanya pada diri sendiri (dan jawaban hati adalah tidak). Tapi selanjutnya saya tetap saja mengambilnya dengan beberapa alasan.
Namun setelah membaca buku ini, ternyata isinya tidak seperti yang saya bayangkan di awal. Paginanya tidak mengajak sedih dalam artian negatif seperti dugaan saya. Sebaliknya, ia mengajak bersedih dalam artian positif. Membuat saya langsung,
 "Oke, tidak apa-apa. Ternyata bagus sudut pandang yang penulis gunakan."
Namun sebelum lebih jauh ke pembahasan. Saya ingin memberikan gambaran tentang buku ini. Pertama, mengenai isi dari buku ini. Kedua, Sudut pandang yang penulis gunakan, dan ketiga, gaya kepenulisan. Sedangkan mengenai sampul, agaknya kita memiliki selera masing-masing bagaimana desain yang bagus.
Mengenai isi dalam buku ini, penulis memberikan narasi-narasi dengan tema utama bersedih. Tentu saja, sesuai dengan judul yang tertera pada buku. Namun jika dilihat lebih mendalam lagi. Penulis membuat buku ini menjadi lima bagian: Aku dan kamu, pahamilah, bersedih, dengarkanlah, dan pintaku.Â
"Saya sedikit kesulitan menjelaskannya, namun dalam bahasa saya, buku ini semacam mengajak pembaca untuk bersedih karena kita diperbolehkan untuk bersedih. Selain itu penulis menjelaskan jika bersedih bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Karena bersedih sudah menjadi siklus kehidupan yang pasti akan kita lalui."
Penulis mengangkat tema-tema tentang kehidupan sehari-hari dan mempopulerkan ulang. Misalnya tentang perjuangan, rasa sakit, kematian, dihina, dibentak, dikecewakan, dan lain-lain. Kebanyakannya adalah tentang hubungan antara satu orang dengan yang lain disertai harapan yang tidak sesuai kenyataan. Misalnya, tentang perasaan insecure yang melanda kita.
Sudut pandang yang penulis gunakan, adalah sudut pandangnya sendiri. Buku ini berupa non fiksi namun penulis menggunakan kata "aku" dalam setiap narasi yang digunakan. Ia mengingatkan pada pembaca dengan banyak mengutip kata-kata islami dan menyemangati. Misalnya kata-kata yang digunakan tentang hadis-hadis yang telah diriwayatkan.
Lebih jauh daripada itu, sebenarnya sudut pandang yang penulis gunakan terasa unik. Ia menyemangati orang dengan cara menyuruh untuk bersedih. Lalu memberitahu apabila "Kamu itu kuat, bersedih itu tidak apa-apa. Bersedihlah dan selanjutnya kamu harus bangkit". Barangkali seperti buku La Tahzan (Penerbit Qhisti Press) dengan sudut pandang Sebua Seni Untuk Bersifat Bodo Amat (Penerbit Grasindo).
Sedangkan gaya kepenulisan yang penulis gunakan dalam buku ini seperti pada umumnya. Pada setiap bab yang disuguhkan, mula-mula penulis memberikan kutipan dari kitab suci Al-Qur'an dan hadis. Lalu memberikan pemaparannya yang memotivasi pembaca untuk "tidak apa-apa bersedih". Lalu ditutup dengan dua kutipan.
Dalam memberikan narasinya, penulis selalu mengingatkan pembaca akan kekuasaan Allah SWT. Sehingga hal ini diharapkan bisa membuat pembaca merasa tenang dan lebih percaya diri. Meskipun pembaca sedang mengalami masalah yang membuatnya sedih.
Dalam membaca buku ini, pembaca juga tidak diharuskan memulai dari halaman pertama lalu urut ke halaman selanjutnya hingga selesai. Melainkan kita bebas memilih mana dulu yang perlu dibaca, lalu memilih mana lagi yang cocok dengan kita.
Kesan dalam hidup saya, setelah membaca buku ini
Buku ini mengesankan menurut saya? Tentu! Karena saya membacanya berlembar-lembar dan membayarnya dengan banyak waktu. Namun perlu diketahui juga apabila kesan dibagi menjadi dua: positif dan negatif. Dan saya akan memulainya dengan yang baik-baik untuk dibagikan.
Kesan-kesan positif buku ini bagi saya pertama kali datang justru dari penulisnya. Bayangkan saja, di umurnya yang belum genap seperempat abad telah menerbitkan dua buku di penerbit mayor. Pada titik ini, saya mulai merasa rendah diri. Di usia-usia yang biasanya menjadi quarter life crisis dia telah melangkah ke depan. Menggunakan waktu hidupnya untuk terus berkarya dan belajar.
Saya bisa membayangkan saat nanti di tahun 2045 Indonesia mendapatkan bonus demografi. Dia pasti sudah semakin siap untuk beradaptasi. Tantangan zaman ke depannya semakin berat dan penuh dinamika. Namun penulis telah mempersiapkan dirinya.
Sedangkan kesan negatifnya, dan sebenarnya ini semacam "tinta yang menetes pada segelas susu, lalu membuat warnanya memburuk". Sebagai buku motivasi yang populer, tema yang diangkat penulis bagi saya pribadi kurang aktual dan riset. Tema dalam artian topik-topik yang banyak diangkat di dalam buku. Serta gaya penulisannya kekurangan data. Membuat tulisan yang ia tampilkan sedikit kering. Mengingat, leluhur orang-orang islam pernah mencapai kejayaannya dan banyak ilmu yang bisa lebih didalami.
Itulah pendapat saya tentang buku ini, buku yang akhirnya bisa saya tutup untuk melanjutkan buku keduanya. Selain apa yang saya sampaikan, banyak sekali sebenarnya pendapat yang belum saya utarakan karena keterbatasan. Jika ingin berdiskusi, bisa juga kita bertukar sapa dan pendapat pada kolom komentar.Â
Sekian, selamat membaca dan jangan lupa memberikan "reaksi" setelah baca ulasan ini, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H